Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 Cemburu (2)

Deg! Tiba-tiba senyum memudar dari wajahnya Dini. “Bukan. Cewek tadi itu mantannya Anton. Namanya Rani. Rani dari jurusan bisnis. Mungkin mereka sudah CBLK lagi sekarang.” Lirih Dini.

Dini melanjutkan bicara, “Apa kamu udah selesai makannya? Aku mau balik ke kampus lagi. Aku masih ada kelas soalnya.”

Martin tersenyum. “Udah. Kapan-kapan kita makan bareng lagi ya. Nggak harus di tempat ini kok. Yang penting kamu suka.”

Dini membalas senyum Martin. “Boleh-boleh aja.”

*****

Esok harinya, Anton malah tidak pergi ke kampus. Dengan alasan sedang tak enak badan, ditambah dosen Anton memang tidak hadir hari ini.

Dan lagi, Anton merasa sangat kesal, terutama pada Dini. Lebih tepat lagi kalau dikatakan, Anton sedang cemburu.

“Hari ini kamu nggak pergi ke kampus?” Tanya Mama Anton.

“Nggak, ma. Dosen pembimbingku lagi ikut rapat. Jadi, nggak ada kelas hari ini.” Jawab Anton.

Mama terdiam sejenak, memperhatikan wajah putra satu-satunya itu. Anton tidak pucat. Dia terlihat baik-baik saja. Tapi, dia terlihat sangat lesu sekali.

“Apa kamu lagi sakit?” Tanya Mama Anton.

“Aku lagi nggak enak badan aja, ma. Kalau tidur bentar, pasti udah sembuh.”

Mama menghela napas. “Ya udah kalo gitu. Kamu jaga rumah dulu aja ya bentar. Mama sama Yeni mau pergi dulu.”

“Mau kemana?”

“Biasa. Kami mau belanja bulanan.”

“Jangan lama-lama ya.”

Sementara itu, Dini malah sedang sibuk dan cepat-cepat pergi ke kampus. Hari ini Dini ada jadwal untuk maju presentasi dengan teman satu kelasnya, Joana . Jadwal presentasi itu dimulai jam sepuluh pagi ini, tapi Dini baru sampai di kampus jam sepuluh lewat lima belas menit.

“Permisi.” Kata Dini saat masuk kelas. Semua mata mahasiswa dan sang dosen yang rambutnya sudah hampir putih semua itu, langsung menuju ke Dini.

“Dini, sini!” Kata Joana.

Dini duduk di samping Joana. “Gimana? Apa lo udah baca power point-nya? Bagus nggak?”

“Bagus kok, Jo. Bentar aku pindahin dulu file-nya. Masih di flashdisk soalnya.”

Sialnya, flashdisk kecil berkapasitas 16 GB itu tidak ada di dalam tas Dini. Deg! Habislah! Padahal hari ini mereka harus maju untuk mempresentasikan.

“Ah, iya! Ya ampun, flashdisk-nya masih ada di Anton!” Kata Dini.

“Apa?! Kok bisa flaskdish-nya ada di Anton?!” Tanya Joana yang mulai panik.

“Iya, kemaren Anton pinjem buat copy tugasnya. Terus belom dibalikkin sampe sekarang.”

Untungnya, Dewi Fortuna sedang memihak pada Dini hari ini. Sang dosen baru dapat kabar, kalau anak perempuannya mau melahirkan. Karena sedang senang dan sudah tak sabar mau menyambut kelahiran cucunya itu, presentasi pun dihentikan. Dini dan Joana tak kebagian presentasi pada hari ini. Presentasi mereka diundur sampai besok.

Joana menghela napas lega. “Duh, untungnya kita nggak maju presentasi hari ini. Kalo sampe jadi, bisa-bisa kita nggak bisa dapet nilai. Ya udahlah. Selesai dari kampus, lo harus cepet-cepet minta flashdisk itu sama Anton, Din. Jangan sampe lupa lagi lo, Din.”

“Iya, iya. Entar skalian aku edit deh. Sorry ya!”

“Iya. Tapi, lo jangan sampe lupa lagi ya. Kalo perlu lo kirim email-nya juga skalian ya.

Selesai kelas, Dini langsung menghampiri Revan. Karena dimana ada Revan, pasti di situ ada Anton dan Devan. Tapi, kali ini dugaan Dini salah besar. Di sana cuma ada Revan seorang.

“Revan!” Panggil Dini.

“Ya?”

“Hari ini Anton nggak masuk kuliah ya?” Tanya Dini.

“Nggak, Din. Katanya Anton lagi sakit. Terus dosen pembimbingnya lagi nggak masuk hari ini. Kenapa emangnya, Din? Apa lo kangen sama Anton?” Goda Revan.

“Ih, lo ini apa-apaan sih?” Kata Dini malu-malu.

“Emangnya lo ada perlu apa sama Anton?”

“Flashdisk aku masih di Anton. Kalo orangnya masuk, aku mau minta flashdisk aku itu. Tapi, dia malah nggak masuk hari ini……”

“Soal kecil itu mah, Din. Lo samperin aja si Anton ke rumahnya.” Kata Revan memberi saran pada Dini.

“Iya, kata lo bener juga, Van. Makasih ya.” Ucap Dini senang.

“Iya, sama-sama, Din.”

*****

Sorenya sepulang dari kampus, Dini langsung mampir ke rumah Anton. Sekali, dua kali, tiga kali, sampai empat kalinya Dini memencet bel rumah Anton, tak seorang pun membukakan pintu untuk Dini. Dini mencoba mengintip lewat jendela. Rumah Anton gelap gulita. Rumah itu kosong. Sepertinya pemilik rumah itu sedang tidak ada di tempat.

Akhirnya, Dini menelpon Anton. Untungnya, Anton langsung mengangkat telepon Dini itu.

“Hallo?”

“Anton, kamu lagi nggak di rumah ya?” Tanya Dini.

Anton mengernyitkan keningnya. “Aku lagi di rumah kok. Ada apa emangnya?”

“Aku lagi di depan rumah kamu sekarang. Tolong bukakan pintu, boleh?”

Deg! Deg! Jantung Anton berdegup kencang seketika. Tak lama kemudian, Anton keluar dari dalam kamarnya dan menghampiri Dini.

Anton membukakan pintu untuk Dini. “Sorry, aku nggak denger suara bel. Tadi aku lagi denger musik pake headset soalnya.” Kata Anton.

Sikap Anton masih sama. Sikapnya masih dingin terhadap Dini. Bahkan, lebih dingin dari es di kutub utara yang mulai mencair.

“Flashdisk aku masih ada sama kamu ya?”

“Flashdisk apaan?”

“Flashdisk aku yang warnanya putih.”

“Oh, flashdisk yang itu ya? Sebentar aku ambilin. Kamu tunggu di sini dulu ya.”

“Rumah kamu lagi nggak ada orang?”

“Keliatannya gimana?” Tanya Anton sinis.

“Kosong. Lagi nggak ada orang-orang.”

“Nah, itu kamu tau. Ya udah.”

Dini terdiam sejenak sebelum kembali bertanya. “Mama kamu sama Yeni lagi pergi kemana?”

“Mereka lagi belanja bulanan.” Jawab Anton. Masih sama, dingin.

Tak lama kemudian, Anton kembali membawa flashdisk milik Dini. “Nih flashdisk-nya. Udah kan? Kamu nggak perl apa-apa lagi, kan? Aku mau lanjut tidur.”

“Thanks ya.”

Baru Anton mau kembali ke kamarnya, tapi Dini sudah bicara lagi. “Anton, tunggu dulu!”

“Ada apa lagi?”

“Apa kamu lagi ada masalah?”

“Nggak ada.”

“Terus….. Kenapa kamu marah sama aku?” Tanya Dini penasaran.

Deg! Anton tertegun seketika. “Nggak. Aku nggak marah sama kamu. Lagian ngapain aku marah sama kamu.” Anton tidak marah sama Dini. Dia sedang cemburu.

“Abisnya sikap kamu berubah sama aku. Nggak kayak biasanya.” Lirih Dini.

Melihat Dini terlihat sedih, hati Anton malah jadi tambah teriris.

“Aku nggak marah sama kamu, Dini.” Kata Anton.

“Kamu bohong sama aku.” Dini menggigit bibir bawahnya. Wajahnya sudah memerah. Dini bahkan tak sanggup memandang wajah Anton.

Anton tak mampu lagi menahan gejolak yang berkecamu di dalam dadanya. Akhirnya dia memeluk tubuh mungil milik Dini.

“Aku nggak marah sama kamu. Aku cuman nggak suka liat kamu dekat-dekat sama Martin.” Bisik Anton.

“Kenapa emangnya?”

“Soalnya aku cemburu. Aku nggak suka kalo ada cowok lain yang deketin kamu.”

“Apa kamu cemburu?”

Anton menangkup wajah Dini. “Aku suka sama kamu.”

Deg! Jantung Dini berdegup kencang seketika. Pipinya pasti sudah memerah seperti tomat sekarang.

Bersambung………

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel