Bab 6 Cintai Aku Seperti Aku Mencintaimu (1)
Hujan rintik-rintik turun saat Anton mengantar Dini pulang. Setelah pertemuannya yang tak disengaja dengan Brenda, Anton berubah menjadi diam. Anton tak banyak bicara. Meninggalkan Dini dengan sejuta tanda tanya.
“Ton, kamu nggak apa-apa?” Tanya Dini pada Anton yang sedang fokus menyetir mobil sport merahnya.
Anton menghela napas. “Aku lagi nyetir. Ngomongnya nanti aja.”
Deg! Sikap Anton tiba-tiba berubah menjadi dingin. Sama dinginnya seperti udara yang menjadi lebih dingin karena turunnya hujan.
Tiga puluh menit kemudian, Anton berhenti. Padahal mereka belum sampai ke tempat tujuan. Rumah Dini masih dua kilometer lagi. Tapi, Anton sudah tidak tahan lagi ingin angkat bicara. Dia mau mengeluarkan semua isi hatinya pada Dini.
“Kenapa berhenti?” Tanya Dini bingung.
Anton diam sejenak sebelum kembali bicara. “Cewek yang tadi itu namanya Brenda. Dia mantan aku dulu.”
Dini mengerutkan keningnya. “Yang tadi ketemu sama kita di KFC itu?”
Anton mengangguk.
“Oh, jadi itu mantan kamu?” Tanya Dini.
Anton mengangguk lagi.
“Terus? Kenapa dia bisa bersama dengan Martin? Emang cewek itu satu kampus juga sama kita? Tapi, aku nggak pernah liat dia sebelumnya.” Kata Dini.
“Pertama aku nggak tau dan aku juga nggak mau tau gimana caranya dia bisa bersama dengan Martin. Kedua, nggak. Dia dari kampus lain. Ketiga, aku udah nggak mau kepikiran soal dia lagi. Karna bagi aku, dia cuman masa lalu yang nggak mau aku inget-inget lagi.” Jawab Anton.
“Ada masalah apa kamu sama dia?”
Deg! Kali ini Anton bingung harus jawab apa. Bukan cuma bingung, tapi dia enggan menjawab pertanyaan Dini. Anton tidak mau menggali masa lalu yang bias membuatnya jadi sakit hati.
Melihat Anton yang tak kunjung menjawab pertanyaannya, akhirnya Dini angkat bicara lagi. “Nggak apa-apa kalo kamu belum mau terbuka sama aku. Tapi please, tolong ingatkan diri kamu sendiri, Ton, kalau aku sekarang adalah pacar kamu. Kamu bisa cerita semua masalah kamu sama aku. Itu pun kalo kamu mau. Aku nggak akan maksa kamu.” Kata Dini.
Anton menatap kedua mata Dini. Pandangan mereka bertemu. Anton menangkup wajah Dini dengan kedua tangannya dan mencium bibir Dini. Tak ada napsu sama sekali. Yang ada hanyalah cinta yang tulus. Setelah puas mencium bibir Dini, Anton beralih mencium kening Dini.
Anton tersenyum . “Aku akan ceritain ke kamu semuanya. Tapi, nggak sekarang.”
“Kenapa emangnya?”
“Sekarang udah malem, Din. Kalo mama kamu tau kamu pergi sama aku sampe semalem ini, bisa-bisa aku didamprat mama kamu.”
Dini tersenyum. “Yah, padahal aku penasaran banget.”
“Gimana kalo besok aja aku ceritain?”
Dini mengangguk. “Ok deh kalo gitu.”
*****
Keesokan harinya setelah selesai kuliah, Anton menunggu Dini di tempat parkir. Dini selalu pulang lebih lama dari Arwan. Maklum saja, Dini adalah ketua salah satu organisasi mahasiswa di kampusnya.
Saat asyik menunggu sendirian, si kembar Devan dan Revan menghampiri Anton. Mereka memang hampir selalu bersama-sama berduaan. Selalu nempel terus. Sudah wajahnya sama, kemana-mana selalu saja bersama. Orang jadi semakin susah membedakan mereka berdua.
“Tumben kamu nggak bawa mobil lagi?” Tanya Devan.
“Lagi males aja. Capek kalo harus nyetir terus.” Jawab Anton.
Devan menyeringai. “Gimana kalo mobil lo itu buat gue aja.”
“Boleh-boleh aja. Asalkan cicilannya 12 bulan, pake bunga 50%.”
“Itu sih namanya untung di elo.” Canda Devan.
“Lo lagi nunggu siapa di sini?” Tanya Revan.
“Dini.” Jawab Anton.
“Hah?! Apa?! Jadi, beneran kalo kalian udah jadian?!” Kata Revan kaget.
“Sudah kuduga dari awal…..” Tambah Devan.
“Iya. Baru seminggu ini. Jadiannya sih emang baru seumur jagung. Tapi, rasa sukanya udah lama banget. Sejak gue masih SD atau SMP kayaknya.” Jelas Anton.
“Wih, itu mah udah lama banget. Kalo lo suka sama Dini udah dari dulu, kenapa lo nggak nembak Dini dari awal aja?” Tanya Devan.
“Entahlah. Gue nggak berani. Entah kenapa gue selalu aja gugup kalo deket-deket sama Dini.” Jawab Anton.
“Untung aja jadian. Lo tau kan saingan lo siapa? Si Martin Darmawan, coy. Dia itu senior cumlaude. Emang kalo jodoh nggak lari kemana-mana.”
Revan terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Ngomong-ngomong, soal Martin, lo tau nggak, tadi siang gue liat dia sama Brenda ke kampus. Tapi, cuman bentar aja sih, abis itu mereka pergi lagi. Gue heran aja, kok Brenda bisa kenal sama Martin ya?”
Anton memanas seketika. “Mana gue tau. Gue nggak peduli. Mau sama Martin kek, sama tukang siomay yang jualan di depan kampus juga, gue nggak peduli. Bodo amat!”
Tak lama kemudian, akhirnya Dini yang ditungg-tunggu Anton datang juga. Revan dan Devan langsung pamit.
Dini tersenyum, “Kamu udah lama nunggu aku?”
Anton membalas senyum Dini. “Nggak kok. Kamu setaon di kampus nggak keluar-keluar juga pasti aku tungguin. Aku rela nunggu kamu berapa pun lamanya.”
“Ih, dasar Anton!” Kata Dini malu-malu.
“Besok kan hari Sabtu, kamu mau nonton bareng aku, nggak?” Tanya Anton.
“Hari ini atau besok?”
“Hari ini.”
“Boleh-boleh aja. Kamu mau nonton dimana?”
“Di rumah aja, gimana? Sekalian kamu bantuin aku revisi skripsi aku, gimana?”
“Ih, nggak mau, ah! Masa cuman berduaan aja?”
Anton tersenyum. “Nggak. Kan ada mama sama Yeni.”
“Tapi, ada syaratnya.” Kata Dini.
“Tapi, kamu harus janji mau cerita ke aku soal kemaren itu.”
“Iya, aku janji.”
*****
Satu jam kemudian, Anton dan Dini sudah sampai di rumah Anton. Ternyata rumah Anton kosong. Gelap. Mama dan Yeni sedang pergi.
Anton menemukan sebuah notes kecil berwarna pink yang ditempel di kulkas. ‘Mama lagi pergi keluar sebentar sama teman lama mama. Yeni pulang malam. Katanya dia ada les tambahan. Kalau kamu mau makan, di dalam kulkas ada makanan, tinggal kamu hangatkan saja pake microwave.’ Kata tulisan dalam notes itu.
Deg! Deg! Seketika jantung Anton berdegup dengan kencang.
“Mama sama Yeni sedang kemana?” Tanya Dini.
Anton tak menjawab, tapi dia memberikan selembar notes kecil yang sedang dia pegang itu.
“Oh, mereka lagi pergi.” Kata Dini setelah selesai membaca notes itu.
Anton mengangguk. “Kalo kamu ngerasa nggak enak dan mau pulang, nggak apa-apa kok. Pulang aja. Aku nggak marah.”
“Nggak. Aku nggak mau. Kalo aku pulang, ujung-ujungnya kamu nggak akan mau cerita lagi sama aku.”
Anton menyeringai. “Kamu segitu penasarannya sama Brenda?”
Dini langsung cemberut. “Iya. Soalnya aku nggak suka.”
Anton langsung memeluk Dini. “Kenapa emangnya? Hm? Kenapa kamu jadi penasaran sama dia? Kenapa nggak sama Rani? Mereka kan sama-sama pernah jadi pacar aku.”
“Soalnya beda aja rasanya. Kalo sama yang lain, aku ngerasa kalo kamu emang nggak pernah cinta sama mereka. Tapi beda sama Brenda. Entah kenapa, aku ngerasa kalo ada sesuatu yang beda antara dia sama yang lainnya.” Jelas Dini.
“Sesuatu yang beda, gimana? Apa karena dia kebule-bulean?” Goda Anton.
Bersambung………
