Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Cemburu (1)

Anton berjalan lemas. Kakinya jadi lemas seketika. Otaknya tak bisa berhenti memikirkan Dini. Apalagi dia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri, Dini diantar pulang Martin.

Jangan-jangan, selama ini Dini sudah pacaran sama senior yang sudah lulus dengan IPK sempurna itu. Kalau benar, Anton pasti akan menganggap dirinya bodoh. Bagaimana bisa dia tidak tahu kalau selama ini Dini sudah punya pacar.

Mama yang melihat Anton sudah pulang kuliah dengan wajah sangat kusam menjadi heran. “Kamu kenapa, Ton?” Tanya mama heran.

Anton tersenyum tipis. Dia tidak mau kalau mamanya sampai tahu masalahnya itu, hingga membuat mamanya jadi khawatir. “Nggak ada apa-apa, ma. Aku cuman capek aja. Mama masak nggak?”

“Masak. Kamu makan dulu, sana.”

*****

Esok paginya, Anton masih terlihat sama seperti kemarin. Dia masih terasa lemas dan lemah. Seperti tak punya gairah hidup. Padahal kalau Anton mau, dia bisa punya pacar siapa saja dan kapan pun dia mau. Dia punya segalanya.

Cewek-cewek selalu mengantri. Antriannya panjang, malah bisa melebihi antrian sembako. Anton tak hanya tampan, isi dompetnya juga menggiurkan.

Anton memang terkenal playboy. Dia suka bergonta-ganti pacar. Paling tak bisa kalau sebulan pacaran. Dia juga terkenal, apalagi di kalangan mahasiswi. Gosipnya, Anton sudah memacari hampir semua cewek satu jurusannya.

Tapi dari sekian banyak cewek yang pernah jadi pacar Anton, tak satu pun yang benar-benar tulus. Paling hanya menginginkan isi dompet Anton saja. Atau yang paling lucu, supaya ada bahan pamer di media sosial saja. Karena Anton sangat tampan. Cewek pasti akan sangat bangga memamerkan kekasihnya yang tampan atau cantik jelita.

Mungkin Anton belum sepenuhnya sadar, kalau hanya Dini yang bisa membuat dirinya benar-benar merasakan yang namanya cinta.

Atau mungkin Anton sudah sadar, tapi dia masih malu manyatakan perasaannya pada Dini. Seperti saat ini, jantung Anton berdegup kencang saat melihat Dini. Si kembar Revan dan Devan yang tahu kalau Anton sedang menaruh hati pada Dini. Mereka hanya bisa menggoda temannya.

“Dini datang tuh, Ton.” Kata Revan.

“Gue berani taruhan, yang pertama kali disapa sama Dini, pasti Anton.” Kata Devan.

“Let’s see!” Tambah Revan.

Dini bertemu dengan Anton dan si kembar di kanton. Bukan untuk ngobrol bersama atau karena janjian, tapi Dini memang sedang lapar. Dia butuh makan saat ini. Kebetulan Dini bertemu dengan Anton dan si kembar di kantin.

“Anton!” Sapa Dini.

“Tuh kan bener!” Bisik Devan.

Anton tak membalas sapaan dari Dini barusan. Tersenyum pun dia tidak mau. Tapi naas, bukannya kesal pada Anton, Dini malah bersikap biasa saja.

"Mungkin Anton sedang banyak masalah.” Pikir Dini.

Anton tak berhasil membuat Dini kesal. Padahal itu yang dia mau, supaya Dini jadi kesal padanya.

“Mau gabung?” Tanya Revan pada Dini.

Dini tersenyum. “Nggak. Aku duduk di sini saja.”

Akhirnya Dini duduk di meja depan Anton. Posisi Dini duduk membelakangi Anton. Melihat cara Dini duduk, Anton jadi kesal sendiri.

“Kok lo nggak sapa Dini sih?” Tanya Devan kesal.

“Nggak usah. Ngapain!” Jawab Anton ketus.

Tiba-tiba saja, “Eh, Ton! Mantan lo datang tuh!” Kata Revan.

“Rani!”

Ah, Rani! Seorang mahasiswi jurusan bisnis yang juga mantan pacar Anton. Rani, entah mantan yang ke berapa. Anton sendiri lupa untuk menghitung berapa jumlah mantan pacarnya. Sangking terlalu banyaknya mantannya.

Melihat kedatangan Rani, Anton punya ide terselubung. “Rani, sini sebentar!” Panggil Anton. Dia sengaja berteriak, supaya suaranya didengar Dini juga.

Wajah Rani langsung berseri-seri saat dipanggil Anton. Rani memang sering mengajak Anton untuk balikan. Tapi, Anton tidak pernah mencintai Rani atau mantan-mantannya yang lain.

“Tumben manggil aku. Ada apa?” Tanya Rani yang tak henti-hentinya senyam-senyum sendiri.

“Gak ada apa-apa. Kamu duduk sini saja. Temani gue di sini.” Sahut Anton.

Revan dan Devan langsung permisi meninggalkan Anton dan mantannya itu berduaan saja. Mereka tidak suka jadi obat nyamuk melihat Anton berduaan dengan Rani.

“Kamu entar sore ada acara, nggak?” Tanya Anton.

“Nggak ada. Emangnya ada apa?”

“Kita nonton yuk. Gue yang bayarin deh deh.”

“Kamu serius?”

“Iya. Gue serius.”

Meskipun membelakangi Anton, Dini tahu persis apa yang sedang diobrolkan Anton saat ini. Bagaimana tidak, suara Anton yang besar dan menggelegar itu mungkin bisa didengar oleh ibu kantin dari dapurnya.

Tapi, Dini tidak mau berbuat apa-apa. Untuk apa dia ikut campur urusan orang lain. Anton cuma sahabatnya saja.

Setelah hampir sepuluh menit mendengarkan ocehan Anton dan Rani, Dini jadi tambah panas sendiri. Baru saja dia mau berdiri meninggalkan kantin, seseorang keburu datang menghampirinya.

Siapa lagi kalau bukan Martin Darmawan. Si senior dengan wajah tampan, idaman para mahasiswi di kampusnya. Ya, meskipun secara ekonomi kalah telah di bawah Anton, tapi kalau soal otak, Martin taka da tandingannya.

“Dini!” Panggil Martin.

Dini tersenyum saat melihat Martin datang menghampirinya. “Martin? Tumben kamu ke sini.”

“Iya, aku ada urusan sebentar sama kampus. Abis ini paling aku mau langsung pulang.”

“Oh!”

Martin terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Kamu lagi istirahat, kan? Masih lama, nggak?”

“Masih lama kok. Masih satu setengah jam lagi. Ada apa emangnya?”

“Makan batagor, yuk. Di deket kampus ada yang jual batagor yang enak banget, Din. Eh, tapi kamu udah makan ya?”

“Belum kok. Aku baru aja pesen es teh manis doang. Emang beneran ada? Di sebelah mana? Kok aku nggak tau ya?”

Martin tersenyum. “Udah, ayok kamu ikut aku aja.”

Akhirnya Dini pergi meninggalkan kantin bersama dengan sang senior ganteng. Anton yang melihat kejadian ini, malah bertambah geram. Bahkan, Dini tak pamit dulu pada Anton. Atau sekedar basa-basi pun tidak. Lagi-lagi, Anton gagal membuat Dini marah padanya.

Melihat Dini sudah pergi, Anton jadi tidak mood lagi. Rasa laparnya sudah hilang. Anton langsung siap-siap angkat kaki dari kantin itu.

“Lho, Anton! Katanya mau ditemanin aku, sekarang kok malah mau pergi?” Tanya Rani yang merasa heran sekaligus kesal.

“Gue nggak jadi makan. Laper gue udah hilang sekarang!” Jawab Anton dingin.

“Lalu acara nonton kita, gimana?”

“Nggak jadi juga. Lo nonton aja sendiri!”

“Ah, dasar Anton!”

*****

Sementara itu, Dini dan Martin malah sedang asyik berduaan menikmati sepiring batagor. Rasa batagornnya memang sangat enak dan murah. Penjualnya juga sangat ramah. Tapi, Martin perhatikan, sepertinya Dini kurang menikmati makanannya.

“Dini!” Panggil Martin.

“Hm?”

“Apa aku boleh tanya sesuatu?”

Dini tersenyum. “Tentu aja boleh.”

“Kamu lagi pacaran sama Anton?”

Deg! Pipi Dini memerah seketika. Jantungnya berdegup kencang. “Nggak. Kita cuman berteman aja.”

“Soalnya aku ngerasa nggak enak. Tapi, pas aku dateng nyamperin kamu, wajah Anton langsung berubah jadi sinis gitu. Kayak nggak suka gitu sama aku. Jadi, aku pikir kalian lagi pacaran.” Kata Martin.

Dini tersenyum. “Kalo Anton bersikap sinis itu mah sudah biasa. Dia emang gitu orangnya. Kadang sikapnya dingin. Tapi, kalao lagi baik, pasti dia berubah jadi baik banget.”

“Apa kamu udah kenal lama sama Anton?”

“Udah. Dari kecil malah. Waktu kecil dulu, kita suka main bareng-bareng.”

Martin terdiam sejenak sebelum kembali bicara. “Jadi, cewek yang tadi itu siapanya Anton? Apa dia itu pacarnya Anton?”

Bersambung……..

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel