Bab 2 Ciuman Pertama
Anton terbangun saat merasakan hangatnya sinar matahari pagi menyirami wajahnya yang tampan. Dia langsung mengecek ponselnya yang tergeletak di atas meja samping tempat tidurnya.
Selain untuk melihat sudah jam berapa sekarang. Dia juga mau melihat notifikasi di ponselnya. Notifikasi ponsel Anton yang selalu saja penuh. Chat Whatsapp yang terus menumpuk. Maklum, Anton memang orang yang terkenal.
Siapa yang tak mau jadi pacar seorang Anton Wiranata? Secara fisik, Anton memang nyaris sangat sempurna. Rambut tebal yang berwarna hitam seindah malam, hidung mancung, serta mata yang indah itu, mampu menghipnotis perempuan mana pun akan langsung jatuh hati dengan dirinya.
Belum lagi ditambah tubuh Anton yang menjulang tinggi, setinggi 186 cm, pasti enak dipeluk Anton. Pasti akan terasa hangat dan nyaman!
Ah, jangan lupakan kalau status Anton juga sebagai anak laki-laki kesayangan Angga Wiranata, seorang dokter ahli bedah jantung yang terkenal seantero negri. Sudah tampan, kaya pula! Makanya, cewek-cewek selalu mengantri mau jadi pacar Anton.
Karena papanya seorang dokter yang harus kerja dinas ke luar kota, makanya Anton tinggal bertiga dengan mama dan adik perempuannya, Yeni.
Karena papa mereka sedang bekerja, mau tak mau mama mereka harus bekerja ekstra mengurus kedua anaknya sendirian. Seperti pagi ini, karena mama sudah sibuk belanja ke pasar, jadi Yeni yang bertugas membangunkan kakaknya itu.
“Kak, bangun, kak!” Kata Yeni yang sedang berdiri di luar kamar Anton.
“Apalagi sih?! Hari ini kan hari Sabtu.” Kata Anton yang sudah menutup matanya lagi. Dia siap-siap mau masuk ke alam mimpinya lagi.
“Bangun dulu, sini! Kak Dini lagi nunggu tuh di ruang tamu. Katanya dia mau minta tolong.” Kata Yeni.
Deg! Seketika Anton membuka matanya lagi saat mendengar nama Dini disebut-sebut. Tanpa basa-basi, Anton langsung bangun dari tempat tidurnya. Dia segera merapikan rambutnya yang acak-acakan dan langsung menemui Dini yang sedang duduk di sofa ruang tamu.
Dini langsung tersenyum saat melihat Anton. “Selamat pagi.” Sapanya.
“Selamat pagi juga. Tumben kamu pagi-pagi udah ke sini?” Tanya Anton.
“Kamu mau temanin aku, nggak?” Tanya Dini.
Anton mengernyitkan keningnya. “Emangnya kamu mau kemana?”
“Aku mau cari buku untuk bahan skripsi.”
“Harus sekarang juga ya?”
“Please…….”
“Emangnya buku apaan?”
Dini langsung menunjukkan foto sebuah cover buku dari ponselnya. “Ini.”
“Oh, kalo buku ini aku ada. Cuman versi fotocopy-nya. Nggak original.”
Dini langsung bertambah semangat. “Ah, yang bener? Kalo gitu, aku boleh pinjem nggak?”
“Iya, boleh.”
Karena terlalu bahagia, Dini langsung reflek memeluk Anton. “Makasih banget ya, Ton.”
Yang dipeluk malah menyeringai. Mungkin karena keenakan dipeluk. Sadar akan perbuatannya, Dini langsung melepas pelukannya.
“Maaf, aku reflek.” Kata Dini malu-malu.
“Tapi, bukunya ada di kamar. Sebentar aku cariin dulu ya! Kamu tunggu di sini dulu.” Kata Anton.
“Apa mau aku bantuin? Biar cepet ketemu.”
Anton menyeringai. “Yakin kamu mau masuk ke kamar aku? Kamar aku berantakan benget.”
“Iya, nggak apa-apa. Biar cepet ketemu.”
Akhirnya Dini masuk ke kamar tidur Anton untuk bantu Anton cari buku yang diinginkan Dini. Untung saja mama sedang pergi ke pasar. Kalau ada mama, bisa-bisa Anton kena marah, karena membawa perempuan masuk ke dalam kamarnya.
“Kamar kamu berantakan banget!” Kata Dini.
“Bukannya udah aku bilang tadi. Ngomong-ngomong kamu mau minum apa? Biar aku suruh Yeni buatin.”
Dini menggeleng. “Nggak usah. Makasih.”
“Seinget aku ada di tumpukkan sini. Udah lama aku nggak beres-beres buku soalnya.” Kata Anton sibuk menggeledah tumpukan buku-bukunya yang sudah mulai berdebu.
Paling-paling sebentar lagi kamar tidur Anton dipenuhi oleh sarang laba-laba. Dia paling tidak suka membaca. Kalau ada ujian saja baru Anton baca buku. Itupun bacanya pakai sistem SKS, alias Sistem Kebut Semalam.
Karena penasaran, akhirnya Dini membantu Anton mencari buku yang dia mau. Saat sedang sibuk mencari buku, tanpa sengaja Dini menemukan sebuah buku yang aneh. Bagaimana tidak, Dini belum pernah menemukan orang yang membaca buku itu sebelumnya. Dia juga belum pernah mendengar nama pengarang buku itu.
Dan lagi cover buku itu terlihat sangat seksi dan menggoda. Cover itu bergambar seorang perempuan yang hanaya memakai bikini, sementara laki-lakinya memeluknya dari belakang dan mencium leher perempuan itu.
Ah, ini buku apa ya? Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, akhirnya Dini membaca buku itu. Dini sangat kaget saat tahu apa yang baru saja di abaca. Cerita erotis alias cerita dewasa. Jadi, Anton suka baca buku seperti ini?
“Anton, buku ini punya kamu?” Tanya Dini polos.
Mata Anton membulat sempurna karena kaget. “Eh, kamu jangan baca buku itu!”
Dini terdiam sejenak sebelum bicara kembali. Pipinya langsung merona merah. “Ih, Anton mesum!”
Apa kamu udah baca?”
Dini menggigit bibir bawahnya. Dia malu dan tak berani menatap mata Anton. “Udah, tapi dikit.”
Anton tak bisa menahan dirinya saat melihat Dini terus menggigit bibir bawahnya. Dini terlihat sangat polos, tapi terlihat sangat menggairahkan di saat yang bersamaan. Bibir Dini yang ranum dan merona alami itu sangat menantang untuk dicium.
Anton memegang dagu Dini. Kini mata keduanya bertemu.
“Kamu mau baca lagi? Hm?” Goda Anton.
“Anton……” Bisik Dini.
Anton akhirnya menyerah. Dia tak lagi bisa menahan keinginannya mencium bibir Dini. Dini yang awalnya kaget karena Anton yang tiba-tiba mencium bibirnya, akhirnya dia jadi terbuai. Bahkan, kini tangan Dini sudah mengalungi leher Anton. Sementara tangan Anton sibuk membelai punggung dan rambut Dini yang terasa sehalus sutra.
Anton menggigit bibir bawah Dini, membuat Dini membuka mulutnya, memberikan akses bagi lidah Anton untuk mengekspor mulut Dini yang terasa hangat.
Dini mendesah saat Anton mencium dan menggelitiki lehernya. Ada rasa tak biasa, yang belum pernah Dini rasakan sebelumnya. Sekujur tubuhnya jadi kegelian nikmat, seperti tersengat lebah saat Anton mencium leher mulusnya.
“Anton, stop!” Desah Dini.
Bibir Dini berkata jangan, namun tubuhnya berkata lain. Dini ingin lebih. Dini ingin agar Anton menciumnya dan membelainya lagi.
Untungnya, belum sempat Anton dan Dini bermain lebih jauh lagi, mama sudah keburu pulang.
“Kak, mama udah pulang! Sini, makan dulu!” Teriak Yeni dari depan kamar.
Dini langsung melepas pelukan Anton, kemudian merapikan rambut dan bajunya. Begitu juga dengan Anton. Keduanya malah menjadi canggung.
“Maaf, kalo aku udah kelewatan.” Kata Anton.
Bukannya marah, Dini malah tersenyum. “Nggak apa-apa.”
Setelah fokus mencari, ternyata buku yang dicari-cari mereka ada di atas meja samping tempat tidur Anton.
“Ini dia bukunya!” Seru Anton sambil memberikan buku itu pada Dini.
“Besok aku kembaliin.”
“Nggak usah. Kamu kan perlu, balikkinnya kapan-kapan juga nggak apa-apa.” Kata Anton. “Ayok, kita keluar, mama udah nunggu.”
Mama sedang ada di ruang makan bersama dengan Yeni. Dia mengeluarkan belanjaan dari dalam kantong plastik, kemudian menyiapkan sarapan.
Mama sangat terkejut saat melihat Dini. “Lho, ternyata ada Dini di sini? Tumben kamu datang pagi-pagi begini?”
Dini tersenyum. “Iya, tante. Saya mau pinjem buku Anton.”
“Kamu udah makan? Kamu mau makan bereng kita nggak, Din?” Tanya mama.
“Nggak, tante. Makasih. Nggak usah. Saya mau pulang aja. Permisi, tante.”
Malamnya, baik Anton maupun Dini, mereka sama-sama tidak bisa melupakan apa yang sudah terjadi pagi tadi. Ciuman itu terasa sangat nikmat. Sangat menggairahkan!
Anton masih bisa merasakan bagaimana rasanya bibir Dini. Sementara Dini, masih bisa merasakan bagaimana rasanya bibir Anton saat menyentuh kulit lehernya. Ah, membayangkan saja langsung membuat sekujur tubuh Dini bergetar.
Arga masih merasa tak enak hati, kemudian dia menelpon Dini. Padahal mereka tetanggan. Tak perlu menelpon segala, langsung bertemu juga bisa.
“Hallo?” Kata Dini.
“Kamu belom tidur?” Tanya Anton.
“Belom. Masih kerjain revisi. Ada apa?”
“Nggak ada apa-apa. Cuman pengen denger suara kamu aja.” Goda Anton.
Meskipun lewat telepon, Anton bisa membayangkan merahnya pipi Dini karena malu.
“Ih, Anton, apaan sih?!” Kata Dini malu-malu.
Anton menghela napasnya. “Aku minta maaf ya, soal yang tadi itu. Aku nggak bermaksud berbuat macem-macem sama kamu.”
“Iya, Anton. Aku tau kok.”
“Kamu nggak marah kan sama aku?”
“Nggak.”
“Serius?”
“Iya.”
“Beneran?”
“Iya, Ton. Udah selesai? Kamu mau ngomong apalagi?”
“Hm….. Kamu jangan tidur malem-malem ya. Nanti kamu sakit. Kalo kamu sakit, siapa nanti yang aku bonceng?”
Dini tersenyum. “Kan masih ada adik kamu. Kamu bisa boncngan ama dia.”
“Ah, kalo Yeni sih tugasnya pak supir.”
*****
Esok hari Seninnya, Anton jadi semakin bersemangat untuk kuliah. Selain karena semangat untuk bertemu dengan dosen pembimbing yang sudah siap mencorat-coret skripsinya, Anton juga tak sabar ingin bertemu dengan Dini. Dia akan ajak Dini pulang bersama setelah selesai kuliah.
“Dini!” Panggil Anton.
Dini sedang berada di kantin bersama dengan beberapa mahasiswa lainnya. Dia sedang mengurus perlengkapan dan hiasan untuk dekorasi.
“Anton? Kamu belom pulang?” Tanya Dini.
“Sebagai permintaan maaf aku, abis ini aku anterin kamu pulang. Gratis, kamu nggak perlu bayar.” Kata Anton.
“Jangan, kamu pulang duluan aja. Hari ini aku mungkin pulang malem. Aku mau bantuin anak-anak dekor ruangan, buat acara pensi.”
Anton mengernyitkan keningnya. “Terus kamu pulangnya gimana?” Tanyanya.
Dini tersenyum. “Gampanglah. Aku bisa numpang sama yang lain. Kamu pulang duluan aja. Nggak apa-apa.”
Dengan berat hati, akhirnya Anton mengiyakan keinginan Dini itu. “Ya udah kalo begitu. Hati-hati ya!"
Meskipun Dini menyuruh Anton supaya langsung pulang saja, tapi, kenyataannya Anton malah tidak pulang.
Diam-diam dengan setianya, Anton memperhatikan Dini dari kejauhan tentunya, supaya Dini tidak mengetahuinya. Siapa tahu ada teman Dini yang mendadak tidak bisa diajak pulang bersama nanti. Apalagi Dini anak perempuan. Dia takut kalau Dini kenapa-kenapa.
Entah mengapa, Anton selalu saja ingin memastikan agar Dini selalu dalam keadaan aman. Dan Dini benar. Dia baru selesai saat jam sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Padahal Anton sudah menguap, tapi demi Dini, dia rela menunggu.
Untung saja ada Revan, teman sekaligus kembaran Devan, yang setia menemani Anton. Mereka sampai digigit nyamuk segala. Pulang-pulang pasti badan mereka pada bentol-bentol semua.
“Dini masih lama nggak sih?” Tanya Revan sambil menggaruk-garuk tangannya, yang baru saja menjadi santapan lezat seekor nyamuk.
“Lo duluan aja. Itu udah pada beres-beres. Paling bentar lagi selesai. Lo pulang aja duluan. Nggak apa-apa.” Kata Anton.
“Jangan begitu. Kita kan sahabat sehidup semati.” Kata Revan.
Anton cuma menghela napasnya. Baru saja Anton berjalan beberapa langkah, menghampiri Dini hendak mengajaknya pulang, saat melihat Dini sudah selesai merapikan tasnya, tiba-tiba saja ada seorang laki-laki berpostur tubuh tinggi dan berwajah tak kalah tampannya dengan Anton, sudah menghampiri Dini duluan.
Ternyata laki-laki itu teman Dini yang dimaksud, yang kata Dini mau pulang bersama. Ah, sepertinya dia itu laki-laki yang selalu sibuk mencari perhatian Dini, kan?
“Tuh cowok kenapa sih nempel-nempel terus sama Dini?” Tanya Anton geram.
“Lha, apa lo nggak tau? Dia kan emang dari dulu suka sama Dini.” Jawab Revan yang masih sibuk menggaruk-garuk tangannya sedari tadi.
“Siapa dia? Perasaan gue sering liat mukanya, tapi nggak tau namanya.”
“Nama laki-laki itu Martin Darmawan. Dia itu senior kita, cuman beda jurusan sama kita. Makanya, lo jarang ketemu sama dia. Kayaknya dia udah lulus. Kemaren baru wisuda. Anaknya pinter banget. Gue denger, katanya sih IPK-nya 4.” Jelas Revan.
Anton cuma menyeringai dengar penjelasan dari Revan. Oh, laki-laki ini yang akan jadi saingan Anton.
Bersambung………
