BAB 4: Jalan yang Terbelah
Pagi datang dengan wajah yang asing. Matahari tampak enggan muncul sepenuhnya, seperti malu memperlihatkan dirinya pada dunia yang sedang berubah. Akasa membuka matanya dengan rasa berat, masih menggenggam perasaan semalam yang belum selesai.
Ia mendengar suara-suara dari luar rumah, seperti desiran kaki-kaki tergesa, desah napas cemas, dan tangisan samar yang tak biasanya. Sesuatu telah berubah di Desa Merthayasa. Udara terasa lebih padat, dan tanah di bawah kaki seperti bergerak perlahan, seakan hendak bangun dari tidur panjangnya.
Pintu rumah diketuk dengan keras. Bhargava berdiri di sana, dengan wajahnya yang serius dan matanya tampak lelah.
“Kau harus ikut ke balai desa. Ada yang harus kau dengar!” ucapnya, sambil memandang Akasa.
Akasa langsung mengenakan jubah abu angkasanya dan menyusul Bhargava. Jalanan desa dipenuhi orang-orang yang berkumpul dalam lingkaran bisu. Di tengah mereka, para tetua berdiri dengan raut gelisah yang jarang terlihat.
“Air sungai mengalir ke hulu,” kata salah satu tetua, Ki Rajendra, dengan suara yang berat. “Batu-batu di dasar sumur mengeluarkan suara, seperti denting gamelan yang diputar terbalik.”
Bhargava mengangguk pelan. “Tanah ini memberi tanda bahwa ia akan berubah. Dan perubahan itu akan menelan siapa pun yang tidak siap.”
Tatapan semua orang beralih ke Akasa, seperti mata anak-anak yang memandangi api unggun yang tiba-tiba menyala tinggi. Ia menggigit bibirnya, mencoba menahan gemuruh dalam dadanya.
“Apa maksud kalian?” tanyanya pelan.
“Kau harus pergi!” kata Ki Rajendra datar. “Kau membawa tanda langit. Dan langit sedang mencairkan batasnya dengan bumi!”
Akasa menunduk, hatinya berkecamuk antara ketakutan dan tanggung jawab. Ia baru saja mulai memahami siapa dirinya, dan kini dunia sudah memintanya pergi.
“Pergi ke mana?” tanyanya, dengan suara yang nyaris tak terdengar.
Bhargava menatapnya dengan penuh sayang. “Ke arah timur, tempat di mana tiga bukit bertemu. Di sana, kau akan melihat pintu yang tidak terbuat dari batu.”
“Tapi aku belum siap,” bisik Akasa, hampir seperti protes seorang bocah ingusan yang diminta meninggalkan rumahnya.
“Tak seorang pun pernah benar-benar siap,” jawab Bhargava lembut. “Tapi kesiapan bukan soal waktu. Ia soal keberanian untuk melangkah walau kabut belum terangkat.”
Hari itu, langit tampak seperti genangan air yang hampir tumpah. Akasa kembali ke rumah untuk terakhir kali, merapikan benda-benda kecil yang pernah menemaninya: pecahan batu berbentuk bulan, potongan kain dari Bhargava, dan gulungan peta langit. Ia masukkan semuanya ke dalam tas kecil dari kulit kayu.
Ia berjalan perlahan meninggalkan rumah, tidak menoleh ke belakang. Di ujung jalan, Bhargava menunggunya dengan tatapan yang menggigil oleh restu dan kehilangan.
“Ini jalan yang akan membelah banyak hal, Nak,” katanya dengan suara sendu. “Termasuk hatimu sendiri.”
Akasa mengangguk perlahan dan memeluknya sekali lagi. “Kalau aku tak kembali...”
“Kau akan kembali,” sela Bhargava tegas. “Bukan sebagai anak tanpa nama, tapi sebagai penjaga yang akan terus dikenang.”
Angin berembus lembut, membawa aroma kemarau yang belum sempat datang. Di kejauhan, tiga bukit berdiri seperti penjaga waktu yang sedang menanti. Dan Akasa melangkah ke arah sana, dengan kaki yang masih ragu tapi jiwa yang mulai berani.
***
Langkah-langkah Akasa menuruni lembah kecil yang dipenuhi lumut dan suara belalang malam. Ia melewati sungai yang kini mengalir terbalik, airnya bening namun terasa dingin seperti baru lahir dari mimpi. Di sela gemericik, terdengar bisikan samar yang memanggil namanya dari arah timur.
Perjalanan itu sunyi, hanya ditemani suara jantung dan kenangan. Akasa sesekali berhenti, menyentuh tanah atau memperhatikan cabang pohon yang seolah menyapa. Awan-awan menggulung pelan di atasnya, menciptakan bayangan yang aneh di tanah.
Di antara dua batu besar, ia menemukan jalan sempit yang tertutup semak berduri. Ia menyibaknya dengan tangan telanjang, luka kecil muncul di kulitnya namun tak terasa perih. Di ujung lorong alami itu, terbentang padang luas dengan tiga bukit menjulang.
“Apakah ini tempatnya?” gumam Akasa dengan napas memburu.
Ia berjalan mendekati bukit pertama, menapaki lerengnya dengan langkah hati-hati. Burung-burung aneh beterbangan di atas, seolah mengawasinya dalam diam. Ketika ia tiba di puncak, pemandangan aneh menantinya.
Di antara dua bukit lainnya, terbentang celah besar seperti robekan pada dunia. Kabut naik dari celah itu, menyebar pelan seperti benang-benang kabar yang belum selesai dijahit. Suaranya bukan suara alam biasa, lebih seperti nada-nada dari kitab yang terbuka terlalu dini.
Akasa menuruni bukit menuju celah tersebut. Udara di sekelilingnya menghangat, lalu mendingin secara tiba-tiba. Di depan celah itu, berdiri sebuah gerbang tinggi dari cahaya, tidak terbuat dari bahan apa pun yang dikenalnya.
Ia menatap gerbang itu, hatinya berdegup keras. Di permukaannya, muncul simbol yang sama dengan yang ada di tangannya, seolah keduanya sedang saling memanggil.
“Apakah ini pintu yang dimaksud Bhargava?” tanyanya pada dirinya sendiri.
Saat ia mendekat, gerbang perlahan terbuka, memancarkan kilau hangat yang tidak menyilaukan. Di baliknya, terbentang jalan sempit yang tampak seperti urat cahaya menuju langit. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti melangkah ke antara mimpi dan kenyataan. Tiba-tiba terdengar suara, tidak dari mulut manusia, tapi dari dalam hatinya sendiri.
“Penjaga terakhir… waktumu telah dimulai!” Suara itu dalam dan penuh gema, seperti datang dari tulang bumi.
Akasa berhenti sejenak, lalu menarik napas panjang. “Kalau ini jalannya, maka aku akan menapakinya.”
Langkah demi langkah, ia masuk ke dalam lorong cahaya. Gerbang perlahan menutup di belakangnya, meninggalkan dunia lama yang mulai retak oleh perubahan. Di balik sana, Desa Merthayasa bergetar pelan, seperti melepaskan sesuatu yang telah disimpan terlalu lama.
Langit malam di atas desa mulai berubah warna, bintang-bintang berdansa pelan di pola baru yang belum pernah dilihat manusia. Dan di jantung bumi yang sunyi, sesuatu mulai bergerak mengikuti jejak Akasa.
Perjalanan baru Akasa telah dimulai. Kali ini, bukan sekadar keluar dari desa, tapi menuju nasib yang telah dituliskan sejak langit pertama diciptakan.
***
Akasa menelusuri lorong cahaya dengan langkah pelan, setiap sentuhan telapak kakinya menimbulkan denting lembut seperti menyentuh senar langit. Jalan itu sempit, tapi seolah hidup. Bernapas di bawahnya, merespons ketakutan dan keberaniannya dalam ritme yang tak bisa dijelaskan.
Ia merasa tidak sendirian, meski tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dinding lorong yang semula bersinar mulai menampilkan kilatan bayangan, seperti potongan mimpi yang melintas cepat.
Ia melihat siluet Bhargava, wajah para tetua, dan masa kecilnya yang tak pernah utuh. Lalu muncul bayangan dirinya sendiri, berdiri di puncak menara tinggi dengan mata yang menyala seperti bara.
"Apakah ini masa depanku?" bisiknya lirih, nyaris seperti doa.
Langkahnya terhenti sejenak ketika lorong terbuka menjadi ruangan bundar, melingkar seperti rahim langit yang tak melahirkan siapa-siapa selama seribu tahun. Di tengah ruangan itu, terdapat meja dari batu hitam, di atasnya mengambang sebuah bola cahaya biru. Energinya terasa berat, seperti mengandung nama-nama yang belum dilahirkan ke dunia.
Akasa mendekati bola itu. Begitu jarinya hampir menyentuhnya, bola tersebut meletup perlahan, menyebarkan percikan seperti tetesan hujan yang membeku di udara. Dari percikan itu, muncul peta udara, menampilkan tujuh titik bercahaya yang membentuk jalur naik seperti tangga menuju langit.
Salah satu titik itu berkedip lebih terang dari yang lain. Tepat di bawahnya, tertulis satu kata: “Akar.”
“Akar?” gumam Akasa bingung. “Apa maksudnya?”
Tiba-tiba suara dalam kepalanya terdengar lagi. Suara itu bahkan terdengar lebih jelas dari sebelumnya.
“Segala perjalanan ke atas dimulai dari akar. Kau harus kembali ke tempat kelahiran sebelum memahami tujuan.”
Akasa menunduk, jantungnya berdetak lebih keras. Ia tidak tahu di mana tempat kelahirannya, tapi ia tahu ia harus mencarinya. Peta itu pelan-pelan menyatu kembali ke dalam bola cahaya, lalu menghilang.
Lorong terbuka di sisi lain ruangan, membawa cahaya jingga lembut dari dunia luar. Ia melangkah ke arah cahaya itu, membawa serta tanda di tangannya, nama yang baru ia miliki, dan panggilan yang mulai mengubah jalannya hidup.
Langkah-langkahnya masih ragu, tapi mata Akasa kini penuh arah. Di luar lorong, dunia telah berubah bentuk. Angin menyebut namanya dengan cara yang baru, dan bumi bergetar kecil di bawah jejaknya. Ia bukan lagi anak desa yang tak dikenal. Ia telah menjadi awal dari zaman yang ditunggu-tunggu langit.
*****
