Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 3: Kitab yang Terkunci

Langit masih memerah ketika Akasa melangkah kembali ke kuil, ditemani suara angin yang lirih seperti nyanyian masa lalu. Simbol di tangannya terasa berdenyut, menyatu dengan degup jantungnya sendiri. Ia tahu ada sesuatu yang harus ditemui. Bukan di luar, tapi jauh di dalam kuil yang tak banyak orang datangi.

Langkah kakinya menggema pelan di lantai batu yang dingin. Dinding-dinding kuil berbisik seolah mengenalinya, mengalirkan energi yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Cahaya lilin menari lembut, menciptakan bayangan yang menyerupai makhluk langit dalam mitos lama.

Bhargava berdiri menunggunya di depan altar. Tatapan mata sang pendeta tajam namun penuh rasa iba.

“Sudah saatnya kau melihat apa yang telah ditinggalkan untukmu,” katanya tenang.

Akasa menelan ludah. “Apa maksudnya, Guru?” tanyanya pelan, tak berani memecah kesunyian.

Bhargava menunjuk ke arah belakang altar, di mana sebuah batu besar berdiri tegak. “Di balik batu itu ada ruang rahasia. Hanya mereka yang membawa tanda di tubuhnya yang bisa masuk.”

Akasa melangkah mendekat, tubuhnya setengah gemetar. Batu itu tampak biasa, tapi udara di sekitarnya berdenyut seperti napas. Ia menyentuhkan tangannya ke permukaan batu, dan seketika itu pula, batu itu bergeser perlahan, membuka jalan menuju ruangan gelap di baliknya.

Udara di dalam terasa berbeda yang sejuk tapi berat, seperti memikul kenangan berabad-abad. Di tengah ruangan berdiri sebuah mimbar batu yang menopang benda paling aneh yang pernah ia lihat. Sebuah kitab, tak terlalu besar, tapi bersinar dari dalam seperti bara.

“Sentuhlah,” ucap Bhargava dari ambang pintu. “Kitab itu tidak akan membuka diri jika bukan kamu yang menyentuhnya.”

Akasa mengangkat tangannya perlahan. Saat jarinya menyentuh sampul kitab, kilatan cahaya membungkusnya sejenak. Lalu, satu per satu halaman kitab terbuka sendiri, menampilkan tulisan yang bukan berupa huruf, tapi bentuk-bentuk yang menari dan menyatu dengan lagu lembut yang hanya bisa didengar oleh hati.

Di halaman pertama, tertulis satu nama. Namanya sendiri. Akasa. Ia terdiam, seolah seluruh isi tubuhnya membeku oleh kenyataan itu.

“Mengapa namaku tertulis di sini?” bisiknya nyaris tak terdengar.

Bhargava melangkah masuk. “Karena kau adalah penjaga terakhir, yang telah diramalkan sejak langit pertama bernapas. Ini bukan pilihanmu, Akasa. Ini warisan yang memilihmu.”

Akasa memandang halaman-halaman berikutnya. Simbol, peta, dan kisah-kisah tentang langit, makhluk bersayap, dan pintu yang hanya bisa dibuka oleh darah tertentu. Semuanya seperti teka-teki yang belum ia pahami.

“Ini terlalu besar untukku,” gumamnya lirih.

“Tapi kau tidak sendiri,” jawab Bhargava lembut. “Kitab ini akan membimbingmu. Dan aku akan mengajarimu apa yang perlu kau ketahui.”

Cahaya dari kitab itu perlahan meredup, tapi tulisan-tulisan itu tetap terpatri dalam pikirannya. Ia menutup kitab itu dengan hati-hati, lalu duduk bersila di depan mimbar.

“Kapan aku mulai?” tanya Akasa.

“Malam ini juga,” jawab Bhargava. “Karena tanda di langit telah muncul. Dan waktu tak akan menunggu.”

Akasa menarik napas panjang. Ia tahu malam ini bukan sekadar malam. Ini adalah pintu masuk menuju takdir yang tak bisa ia hindari.

***

Bhargava duduk di sampingnya, lalu membuka jubah dalamnya dan mengeluarkan sebuah benda kecil berbentuk kunci dari tali leher. Kunci itu terbuat dari logam langit yang bercahaya biru samar, seperti tetesan air dari bintang yang mencair.

“Ini adalah kunci untuk memahami kitab itu sepenuhnya,” ujarnya sambil menyerahkannya kepada Akasa.

Akasa memegang kunci itu dengan hati-hati. Ia merasakan suhu hangat yang berbeda dari benda logam biasa.

“Apa yang bisa dibuka oleh kunci ini?” tanyanya, suara lirih tapi bergetar oleh rasa ingin tahu.

Bhargava menatapnya dalam-dalam. “Bukan pintu biasa. Tapi kunci ini akan membuka bagian tersembunyi dalam dirimu sendiri. Ingatan lama, kekuatan yang tertidur, dan suara yang akan menuntunmu ke langit ketujuh.”

Kuil menjadi lebih sunyi dari biasanya, seolah seluruh bangunannya sedang menahan napas. Nyala lilin tak bergoyang, dan angin pun enggan masuk. Akasa menggenggam kunci itu, lalu menyentuh kembali kitab yang kini tertutup.

Seketika, suara lirih terdengar dari dalam kitab, seperti doa dalam bahasa yang tak dikenalnya. Tapi entah mengapa, hatinya mengerti. Kata-kata itu bukan untuk telinga, tapi untuk jiwa.

“Bolehkah aku membacanya keras-keras?” tanya Akasa, ragu tapi terpanggil.

“Jika kau merasa siap,” jawab Bhargava, suaranya nyaris seperti desah angin.

Akasa membuka kembali halaman pertama, dan mulai melafalkan bunyi-bunyi yang asing namun mengalir lancar dari lidahnya. Suara-suara itu membentuk nada yang lembut, lalu naik seperti gelombang ke dinding-dinding batu. Kitab pun terbuka lebih lebar, memperlihatkan lingkaran cahaya yang naik dari halamannya.

Dari cahaya itu, muncul bayangan sosok bersayap, tinggi dan tak tersentuh. Sosok itu tak berbicara, hanya menatap Akasa sejenak, lalu mengangguk perlahan dan lenyap ke dalam cahaya.

“Apa itu?” tanya Akasa, dengan suaranya yang tercekat.

“Itu adalah pelindung langit pertama,” jawab Bhargava. “Jika dia muncul, artinya jalanmu telah disetujui oleh para Śura. Kau diterima.”

Perasaan lega dan takut bercampur di dada Akasa. Ia tahu ini bukan sekadar perjalanan biasa.

“Apakah aku harus meninggalkan desa ini?” tanyanya kemudian.

“Tidak malam ini,” Bhargava menggeleng. “Tapi waktumu di sini takkan lama. Kau harus bersiap, karena langit akan memanggilmu dengan cara yang tak terduga.”

Akasa memandang kembali ke kitab, mencoba memahami semua yang baru saja terjadi. Simbol-simbol di dalamnya seakan hidup, berdenyut perlahan, menunggu disentuh kembali. Ia menutup kitab itu dengan khidmat, lalu meletakkannya kembali di atas mimbar batu.

“Apakah aku boleh kembali ke sini kapan saja?” tanyanya pelan.

“Kuil ini adalah milikmu sekarang,” ujar Bhargava sambil tersenyum samar. “Dan kitab itu hanya akan merespons padamu. Gunakanlah dengan bijak, dan jangan biarkan suara langit dipadamkan oleh keraguan.”

Angin akhirnya masuk, sejuk dan tenang, seakan membenarkan semua yang telah dikatakan. Malam di luar kembali bernapas, membawa harum bunga liar dan nyanyian jangkrik yang perlahan pulang. Tapi di dalam kuil, sebuah takdir telah dibuka dan tak bisa ditutup lagi.

Akasa berdiri perlahan, menggenggam kunci di satu tangan dan simbol di tangan lainnya mulai bersinar pelan. Langkahnya ringan, tapi jiwanya mengerti bahwa ini adalah langkah pertama menuju dunia yang belum pernah ia bayangkan. Di luar, bulan menggantung rendah seperti saksi bisu dari kebangkitan seorang penjaga terakhir.

***

Langit malam mulai berubah perlahan, seakan memahami apa yang baru saja terjadi di dalam kuil. Bintang-bintang membentuk pola yang aneh, membingkai cahaya bulan yang kini bersinar lebih lembut. Angin membawa aroma dupa dari dalam altar, menyelimuti langkah Akasa yang berjalan keluar dengan tenang.

Ia memandang tangannya sendiri, melihat bagaimana cahaya dari simbol itu tetap hidup meski tubuhnya telah menjauh dari kitab. Simbol itu tidak menyakitkan, justru terasa seperti bagian dari dirinya yang selama ini tertidur.

“Seperti luka yang berubah jadi cahaya,” gumamnya lirih.

Dari kejauhan, Bhargava memandangnya dari pintu kuil. “Tidurlah malam ini,” katanya lembut. “Besok, kau harus belajar membaca langit dengan cara yang berbeda.”

“Apakah aku akan belajar sihir?” tanya Akasa setengah bercanda.

Bhargava tersenyum kecil. “Kau akan belajar mendengar yang tak terdengar, melihat yang tak kasat mata. Sihir bukan tentang mengubah dunia, tapi memahami jalinannya.”

Akasa mengangguk pelan dan melangkah turun dari tangga batu kuil. Di tengah jalan, ia menoleh sebentar. Kuil itu tampak seperti tubuh yang hidup: bernapas, menyimpan rahasia, dan kini menjadikannya bagian dari dirinya. Hatinya hangat oleh rasa takut yang baru: bukan takut pada kegelapan, tapi takut mengecewakan cahaya yang telah mempercayainya.

Ia kembali ke rumah kecilnya di tepi desa. Pintu kayu yang reot menyambutnya seperti biasa, tapi malam ini, keheningannya tak lagi sama. Semua benda di dalam rumah, tikar tua, lentera minyak, kendi air, tampak seperti menyimpan tanya.

“Apakah aku masih Akasa yang sama?” bisiknya pada dirinya sendiri.

Ia menyalakan lentera dan duduk bersila. Di hadapannya, kunci dari Bhargava dan gulungan peta langit yang pernah ia terima diletakkan berdampingan. Ia belum tahu cara membacanya, tapi jantungnya tahu: waktunya akan tiba, dan ia akan siap.

Sebelum memejamkan mata, Akasa berdoa tanpa kata. Ia hanya membiarkan hatinya berbicara pada malam. Dan di kejauhan, terdengar suara halus seperti bisikan langit menjawabnya kembali.

Hari esok belum datang, tapi malam ini telah mengukir garis yang tak bisa dihapus. Garis itu menghubungkan tanah, langit, dan dirinya sendiri. Kali ini Akasa tahu ke mana arah langkahnya akan membawanya, meskipun jalannya masih tertutup kabut.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel