Pustaka
Bahasa Indonesia

Penjaga Batas Langit Terakhir

35.0K · Tamat
Kak Vivi
26
Bab
11
View
9.0
Rating

Ringkasan

Akasa adalah bocah yatim piatu dari desa terpencil. Namanya tiba-tiba muncul dalam kitab langit kuno sebagai harapan terakhir dunia. Saat menginjak remaja, ia harus menjelajahi tujuh lapisan langit, memecahkan teka-teki lama, dan menghadapi para penjaga yang telah tiada. Di setiap langkahnya, ia semakin dekat pada takdir yang tak bisa ia tolak.

Pengembara WaktuZaman KunopendekarpetarungKekuatan SuperPetualanganIdentitas GandaFantasiactionKehidupan Misterius

PROLOG: Nyanyian Tujuh Langit

Langit pertama bernyanyi dalam gema embun. Langit kedua menari bersama desir waktu. Langit ketiga bersujud dalam kesunyian purba. Tak ada yang tahu kapan semuanya mulai retak. Apakah saat matahari lupa terbit, atau saat bayangan menjadi lebih berat dari cahaya.

Dunia bernama Bhuvana dulunya dilingkupi tujuh langit berlapis, masing-masing dijaga oleh para Śura, makhluk abadi yang tidak hidup dan tidak pula mati. Setiap langit membawa hukum sendiri, waktu sendiri, dan suara sendiri.

Namun kini, semua hukum itu mulai hancur. Jam-jam berdetak terbalik. Bayi lahir dengan ingatan akan kematian. Dan di puncak semua kekacauan itu, sebuah Kitab Langit yang selama ribuan tahun tak pernah bicara, mulai membuka dirinya. Halaman demi halaman, hingga pada satu nama yang menggetarkan seluruh cakrawala: Akasa.

Di sebuah desa terpencil yang bahkan tidak dikenali pada peta, seorang bocah lelaki tengah tertidur di bawah langit kelima. Ia tidak tahu namanya akan mengubah segalanya. Ia hanya tahu bahwa mimpinya selalu penuh langit.

Langit malam menggantung seperti kitab tua yang terbuka di halaman terlupa. Bintang-bintang bergetar, seolah sedang membaca nasib yang belum ditulis. Angin berbisik dalam bahasa yang tidak pernah diajarkan di bumi.

Di dalam gubuk dari anyaman jerami dan dedaunan kering, Akasa menggeliat dalam tidurnya yang tak pernah damai. Usianya baru delapan, tapi mimpinya telah menua jauh sebelum tubuhnya. Ia bermimpi tentang langit yang terbakar, suara yang bergema dari lapisan waktu, dan sebuah pintu yang menunggu dibuka.

Ibunya telah tiada sejak ia lahir. Dikatakan, bahwa tubuhnya larut bersama cahaya pagi di atas batu persembahan. Ayahnya, seorang petapa sunyi, lenyap dalam kabut gunung tanpa jejak. Akasa tumbuh diasuh oleh pendeta tua bernama Bhargava, satu-satunya manusia yang tahu bahwa bocah itu bukan manusia biasa.

Bhargava bukan sekadar pendeta, tapi juga penjaga sunyi dari Kuil Nada, tempat di mana nyanyian dunia pertama kali dilantunkan. Ia telah lama menunggu isyarat langit, menunggu lembar kitab itu bergetar, menunggu nama itu muncul. Ketika nama ‘Akasa’ menyala di halaman ke-777, Bhargava tahu bahwa saatnya telah datang.

Namun Akasa belum tahu apa-apa. Ia hanya bocah yang senang menatap langit dan bertanya mengapa bintang tak pernah jatuh mendekat. Dunia baginya hanyalah hamparan misteri yang terlalu indah untuk ditakuti.

***

Fajar menjelma bukan dengan cahaya, tapi dengan warna perunggu yang membelah awan. Suara burung tak terdengar, seolah langit sedang menahan napas. Angin pun enggan bergerak, seperti takut membangunkan sesuatu yang tertidur terlalu lama.

Bhargava berdiri di depan kuil dengan mata terpejam. Di tangannya, lembaran kitab langit itu bersinar redup, berdenyut seakan bernyawa. Ia tahu, dunia telah menggeliat dari tidur panjangnya, dan dunia tidak akan sama lagi.

Di sisi dalam kuil, lonceng yang telah ratusan tahun tak berbunyi tiba-tiba berdenting tiga kali. Suara itu bukan hanya menggema di lembah, tapi juga menembus langit pertama hingga langit ketujuh. Di tempat-tempat suci yang telah lama ditinggalkan, api suci menyala tanpa korek, menandai kebangkitan sesuatu yang kuno.

Akasa terbangun dari tidurnya dengan dada berdegup kencang. Ia bermimpi tentang seorang penjaga bermata tiga, berdiri di gerbang langit keempat, menyerahkan kunci yang terbuat dari nyanyian. Keringat membasahi dahinya, tapi entah kenapa, hatinya terasa ringan. Seolah ada jalan yang terbuka di dalam dirinya.

Ia keluar dari gubuk, menatap cakrawala yang berubah warna menjadi keunguan. Cahaya berbentuk lingkaran menari di ujung langit, seperti matahari kedua yang tidak seharusnya ada. Dalam diamnya, Akasa merasakan bahwa dunia telah memanggil namanya.

Bhargava memanggil Akasa ke ruang utama kuil, tempat di mana waktu dilipat seperti lembaran daun lontar. Dinding-dinding batu menyimpan nyanyian langit pertama, tertulis dalam aksara cahaya yang hanya bisa dibaca oleh mereka yang ‘terpanggil’. Di hadapan altar kuno, sang pendeta menatap Akasa dengan mata yang digenangi harapan dan takut sekaligus.

"Anakku," ucap Bhargava lirih, "kau bukan diciptakan untuk tanah ini." Suaranya seperti serpih embun yang pecah di atas batu. "Kau adalah warisan dari para Śura yang telah hilang, dan langit telah memilihmu sebagai penutup dan pembuka zaman."

Akasa menunduk, tak mengerti sepenuhnya. Tapi dadanya terasa seperti gua kosong yang akhirnya bergema untuk pertama kali. Ia tahu, ini bukan hari biasa.

Bhargava menyerahkan gulungan kecil dari emas tipis. Di dalamnya tergurat peta tujuh langit, bukan dalam garis dan warna, tapi dalam lagu yang hanya bisa dipahami jika hati telah siap.

“Langit tidak bisa ditempuh dengan kaki, tapi dengan keberanian,” kata Bhargava sebelum membungkus tubuh Akasa dengan jubah suci warna abu angkasa.

Di luar, langit mulai pecah menjadi retakan halus seperti porselen tua. Seekor burung Garuda bersayap perak melintasi cakrawala, membawa nyanyian dari langit ketiga yang selama ini sunyi. Tanda-tanda kebangkitan telah lengkap.

Akasa melangkah keluar dari kuil, jubahnya melambai pelan ditiup angin yang beraroma dupa dan bunga cendana. Di kejauhan, lembah-lembah mulai bersinar dengan cahaya lembut, seolah menyambut tapak pertamanya sebagai pengembara langit. Di dadanya, gulungan emas berdetak seperti jantung kedua, menyelaraskan irama dirinya dengan semesta yang menunggu untuk dibuka.

Langit memanggil, bukan sebagai ruang di atas, tapi sebagai kitab yang siap dibaca. Setiap langkah Akasa bukan hanya perjalanan, tapi jawaban. Ia tidak membawa pedang, hanya doa dan keberanian yang belum tahu arah, namun itu sudah cukup.

Di balik awan yang memutih lembut, gema lonceng cahaya berdentang dari arah utara, mengalun pelan dalam lingkaran tak kasatmata. Akasa menengadah, lalu seberkas cahaya turun perlahan dan menyentuh keningnya, meninggalkan jejak halus yang tak bisa dilihat oleh mata biasa. Itu adalah tanda lama—isyarat bahwa langkahnya kini bukan sekadar perjalanan, tapi bagian dari takdir besar yang tak bisa ditolak.

***

Akasa melangkah keluar dari kuil dengan langkah ringan, tapi bumi seakan berguncang tiap kali kakinya menjejak tanah. Angin yang biasanya menggoda rambutnya kini membentuk lorong sunyi yang mengarah ke gunung tertinggi. Di kejauhan, pilar cahaya menjulang dari balik awan, menyentuh langit yang telah mulai berubah warna.

Penduduk desa yang dulu mencibirnya kini hanya bisa berdiri membisu, menyaksikan perubahan yang tak mampu dijelaskan. Di mata mereka, Akasa bukan lagi anak sebatang kara, tapi pertanda akan pecahnya zaman lama. Tak satu pun berani memanggil namanya, seolah nama itu telah menjadi bagian dari legenda yang sedang ditulis.

Langkah demi langkah, Akasa menuju hutan kabut, tempat di mana jalur menuju Langit Pertama tersembunyi dalam ilusi. Di sana ia akan diuji bukan oleh kekuatan, tapi oleh ingatan dan keraguan. Sebab, untuk menjadi Penjaga Langit Terakhir, ia harus lebih dulu kehilangan segalanya, termasuk dirinya sendiri.

Di puncak Gunung Śrāvana, di mana malam tak pernah turun, gerbang langit perlahan merekah. Nyanyian lembut terdengar dari balik cahaya, memanggil nama yang telah tertulis di kitab langit sejak ribuan tahun lalu. Dan Akasa pun melangkah, membawa harapan dunia di pundak kecilnya, menuju perjalanan yang akan menulis ulang takdir tujuh langit.

Langkah Akasa terhenti di sebuah dataran berbatu, tepat sebelum kabut mengambil alih pandangan. Di sana, ia menemukan sebuah batu bersimbol spiral, tertanam setengah di tanah, bergetar pelan. Dari dalamnya, terdengar bisikan yang bukan berasal dari manusia, tapi dari langit itu sendiri.

Suara itu tak berbicara dalam bahasa, tapi dalam rasa yang langsung menggugah dasar jiwa. Ia merasakan panas yang bukan membakar, melainkan membentuk, seperti bara yang menempa besi menjadi pedang. Detik itu juga, hatinya mengerti: perjalanan ini bukan untuk menang, tapi untuk bertahan.

Di balik kabut, bayangan pertama dari penjaga langit menampakkan diri. Bukan sebagai sosok, tapi sebagai cermin. Wajah yang terpantul bukan wajahnya yang biasa, tapi dirinya di masa yang belum pernah ia jalani. Ada senyum samar yang tak memberi ketenangan, hanya peringatan bahwa jalan yang terbentang di depan akan merampas lebih dari yang ia kira.

Akasa memejamkan mata, menerima kata-kata itu seperti menerima luka pertama yang akan jadi teman setia. Kabut menelannya perlahan, menyisakan hanya gema langkah dan pantulan cahaya di matanya. Di atas sana, bintang-bintang yang biasanya diam kini bergerak. Seolah alam semesta pun menyambut kembalinya sang penjaga.

*****