Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5: Hutan Tak Bernama

Langkah Akasa membawanya ke bibir hutan yang belum pernah dilihat oleh siapa pun dari desanya. Pohon-pohon menjulang tanpa batas, menyisakan celah tipis bagi cahaya senja yang mulai padam.

Udara di sana terasa lebih tebal, seperti mengandung sisa-sisa cerita yang enggan dilupakan. Ia menatap kerimbunan di depannya.

“Kalau jalan ke langit harus dimulai dari akar, mungkin akar itu tersembunyi di balik semak,” gumamnya lirih.

Kakinya melangkah masuk, menyibak semak berduri yang tak bersuara saat disentuh. Daun-daun berkilau samar, mengeluarkan sinar biru kehijauan yang menyala sesekali seakan merespons sentuhannya. Tak ada suara burung, tak ada gemerisik binatang; hanya bisikan samar yang melintas seperti angin berlidah.

"Siapa... yang ada di sana?" tanya Akasa, dengan suara lirihnya bercampur gentar.

Tak ada jawaban, hanya daun-daun yang bergetar pelan tanpa sebab. Tanah di bawah kakinya seperti jantung yang berdetak lambat, mengiringi langkahnya yang penuh tanya. Pohon-pohon membentuk pola melingkar saat ia berjalan semakin jauh ke dalam.

Di tengah hutan, ia menjumpai kolam kecil yang airnya sebening kaca. Saat ia mendekat dan menatap bayangannya, sosok dirinya di permukaan kolam tersenyum padanya, padahal wajahnya sendiri datar. Ia terhenyak, mundur dua langkah, lalu duduk kelelahan.

"Apa hutan ini membaca pikiranku?" bisiknya.

Tiba-tiba suara lembut terdengar dari balik semak, “Hutan ini tak membaca, hanya mengingat.”

Akasa berdiri cepat, matanya menyapu sekitar. Dari balik batang pohon, muncul seorang perempuan tua dengan rambut seperti awan kelabu dan mata yang menyala tenang. Jubahnya terbuat dari sulur-sulur daun yang bergerak perlahan, seolah hidup.

"Siapa engkau?" tanya Akasa, napasnya memburu.

"Namaku telah lama dilupakan, tapi aku penjaga pintu akar," jawabnya, tenang. "Kau membawa tanda, dan hutan ini telah membisikkan tentangmu sejak daun pertama gugur."

Akasa menatapnya ragu. “Apakah aku harus melewati ini semua seorang diri?”

"Segala yang besar lahir dalam sepi," ujar si perempuan, dengan matanya yang menatap jauh ke dalam dirinya. "Dan kau adalah pelupa yang sedang belajar mengingat siapa dirimu sebenarnya."

Angin tiba-tiba bertiup pelan, membawa aroma tanah basah dan bunga yang tak dikenal. Akasa pun menunduk.

“Aku belum tahu ke mana harus melangkah,” katanya pelan.

Perempuan itu mengangguk pelan. “Karena kau belum menyapa dirimu sendiri. Hutan ini bukan untuk mencari jalan, tapi untuk bertemu dengan suara yang selama ini kau tutup.”

Ia mendekat, lalu menyentuhkan tangannya ke dada Akasa. Dari sentuhan itu, tubuh Akasa terasa hangat, seakan ada nyala kecil yang hidup dalam rongga jiwanya. Perempuan itu tersenyum, lalu mundur kembali ke dalam kabut, meninggalkan jejak sinar tipis di udara.

Akasa kembali berjalan, menyusuri jalur samar yang terbentuk dari cahaya redup di antara akar-akar pohon. Sesekali ia merasa disentuh oleh sesuatu yang tak terlihat, seperti kenangan yang belum lahir. Setiap langkah terasa seperti menembus lapisan waktu yang lupa bagaimana menjadi masa kini.

Tiba-tiba kakinya terantuk batu. Ia jatuh tersungkur, telapak tangannya berdarah, tapi saat ia menoleh ke tanah, darahnya menyerap ke akar pohon yang mendadak bersinar. Cahaya itu menjalar cepat membentuk pola seperti lingkaran mantra.

"Kenapa semuanya terasa hidup di sini?" gumamnya sambil bangkit.

Langit yang tak terlihat perlahan menggelap, menyisakan semacam malam pekat yang menelan suara. Tapi anehnya, Akasa tidak merasa takut seperti biasanya. Ia merasa seperti sedang diawasi, bukan oleh makhluk buas, tapi oleh ingatan dari langit.

Saat malam benar-benar turun, cahaya dari tanah mulai redup. Ia mulai meraba-raba jalan dengan tangan, berjalan perlahan di antara akar pohon yang seolah bergerak membentuk dinding. Lalu, di kejauhan, ia melihat sesuatu yang tidak biasa.

Sebuah pintu batu berdiri sendiri di antara rimbun pepohonan, tidak dihubungkan dengan tembok atau dinding. Pintu itu memancarkan cahaya lembut, berpendar seperti nafas. Akasa berdiri terpaku, matanya lekat pada ukiran simbol yang sama dengan tanda di tangannya.

“Kenapa simbol ini terus muncul di mana-mana?” gumam Akasa, dengan suaranya yang lirih dibungkus rasa takut dan penasaran.

Ia mengangkat tangannya, menyamakan tanda itu dengan ukiran di pintu. Sebuah denyut halus terasa, seolah keduanya saling mengenali dan menyatu. Dalam diam, hutan menahan napas. Cahaya dari pintu menyambutnya, dan langit di atas seperti mengintip dari celah dedaunan, menunggu langkah berikutnya.

***

Akasa melangkah mendekati pintu batu itu dengan hati-hati, merasa seolah langkah-langkahnya dipandu oleh sesuatu yang lebih tua dari dirinya. Udara di sekitarnya menjadi hangat, berbeda dari hawa dingin hutan sebelumnya. Akar-akar pohon merunduk, membuka jalan yang sempit namun jelas menuju pintu tersebut.

Ia berdiri tepat di hadapan batu tinggi itu, lalu menyentuh simbol yang terukir dengan jari yang masih berdarah. Simbol itu bergetar halus, lalu memancarkan cahaya keemasan yang hangat seperti pelukan. Batu itu kemudian berderak perlahan, membuka celah di tengahnya.

“Ini bukan pintu biasa…” desisnya lirih, kagum dan waspada.

Suara dari balik pintu terdengar seperti gema jauh dari dalam bumi. Cahaya yang mengalir dari celah pintu menyilaukan, tapi tidak menyakitkan. Akasa mengambil satu langkah ke depan, lalu menarik napas dalam.

“Satu langkah lagi, dan semuanya berubah,” bisiknya, mencoba meneguhkan hati.

Saat ia benar-benar melangkah masuk, dunia di balik pintu berubah drastis. Ia tidak lagi berada di hutan, melainkan dalam ruangan luas berisi cahaya dan suara. Dinding ruangan terbuat dari akar bercahaya yang terus berdenyut, seperti nadi bumi yang hidup.

Di tengah ruangan itu, terdapat altar batu yang lebih tua dari waktu, di atasnya terbaring sebuah benda tertutup kain. Akasa mendekat perlahan, lalu menarik kain itu dan menemukan sebuah benda kecil yang tampak seperti kunci namun tak memiliki lubang.

"Apa ini membuka?" tanyanya kepada dirinya sendiri.

Suara lain menjawab, "Itu membuka hati langit, jika kau berani."

Akasa terlonjak kaget. Di sisi ruangan muncul sosok laki-laki berbalut jubah gelap, wajahnya tak terlihat jelas. Tapi suaranya lembut, seperti angin musim gugur yang menghantarkan rahasia.

"Siapa kau?" tanya Akasa waspada.

“Aku bukan siapa-siapa, hanya penjaga dari penjaga,” jawab pria itu. “Sudah lama kami menantimu. Bukan karena ramalan, tapi karena semesta tidak pernah melupakan anak yang ditinggalkan.”

Akasa menggenggam benda itu erat. “Aku hanya seorang anak desa. Kenapa aku?”

“Karena yang paling tak dikenal, seringkali yang paling murni. Dan langit selalu menunggu yang murni untuk membukanya kembali,” balas pria itu sambil berjalan mendekat.

Suasana ruangan menjadi lebih tenang, seperti waktu berhenti untuk mendengarkan percakapan mereka. Akasa mengangguk pelan, lalu menoleh pada pintu yang masih terbuka. Cahaya dari luar mulai memudar, seakan memberi isyarat bahwa waktunya hampir habis.

"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya Akasa.

"Bawa kunci itu ke tempat bernama Tebing Lazuardi. Di sana langit akan menguji keberanianmu, dan tanah akan menilai kebenaranmu."

Akasa menunduk, lalu berkata pelan, “Kalau ini takdirku, aku tak akan bersembunyi.”

Pria berjubah itu mengangguk dan mendekatkan tangannya ke dahi Akasa. Sentuhan itu seperti aliran sungai cahaya yang mengalir dari kepala ke dada, membawa ketenangan yang belum pernah ia rasakan. Pria itu lalu berkata, “Jalanmu penuh gelap, tapi juga cahaya. Jangan biarkan keduanya saling membunuh dalam dirimu.”

Sesaat kemudian, ruangan mulai bergetar pelan. Akar-akar yang menjadi dinding perlahan surut ke dalam tanah, membuat segalanya kembali menjadi hutan. Akasa kini berdiri sendirian, dengan benda aneh dalam genggamannya dan petunjuk samar tentang Tebing Lazuardi.

Ia menoleh ke belakang, tapi pintu batu itu telah lenyap, seolah tak pernah ada. Angin hutan kembali berbisik, namun kali ini lebih hangat dan lebih akrab. Hutan tak lagi tampak mengancam, tapi seperti rumah yang melepaskan anaknya menuju perjalanan lebih jauh.

Akasa menggenggam kunci itu di dada. Ia sadar, kini ia benar-benar tidak bisa kembali. Tapi langkahnya terasa lebih ringan dari sebelumnya, karena kini ia tahu ke mana harus melangkah selanjutnya.

Di kejauhan, bulan perlahan muncul dari balik cabang pohon, memantulkan cahaya pada jalur kecil di antara rerumputan. Akasa tersenyum kecil. Malam tak lagi gelap jika hati telah menyala.

“Aku tak sendiri,” bisik Akasa pada dirinya sendiri, seolah meyakinkan luka-luka yang belum sembuh.

Ia memandang langit yang kini terasa lebih dekat, seakan mengangguk diam. Di balik keheningan, angin membawa harum bunga yang belum pernah ia kenal. Di hadapannya, jalan kecil memanjang ke utara, membelah kegelapan dengan cahaya yang tenang. Dan Akasa pun melangkah, menyatu dengan takdir yang akhirnya menjemputnya.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel