BAB 2: Tanda di Langit
Langit malam itu menggantung rendah, seolah hendak menyentuh puncak-puncak pohon. Bulan tampak lebih besar dari biasanya, memancarkan cahaya putih keperakan yang membanjiri tanah desa. Akasa berdiri di halaman kuil, jubah abu langitnya berkibar pelan tertiup angin lembut.
Bhargava berdiri di sampingnya, diam-diam menatap cakrawala. “Malam ini, sesuatu akan diturunkan dari langit,” gumamnya. “Tapi tidak semua mata bisa melihatnya.”
Akasa memejamkan mata, membiarkan dirinya diselimuti cahaya bulan. Ia merasakan sesuatu berdenyut di dalam tubuhnya, seperti detak lain yang bukan berasal dari jantungnya. Seolah ada yang sedang menggambar dari dalam kulitnya.
Saat malam menjelang puncak, tubuh Akasa memanas perlahan. Ia tak bisa bergerak, seolah cahaya bulan menahannya di tempat. Di tangannya, sebuah simbol mulai muncul, bercahaya biru muda, berdenyut seperti nadi yang hidup.
Bhargava membelalakkan mata saat melihatnya. “Tanda itu... itu bukan dari dunia ini,” bisiknya gemetar. “Itu adalah Lambang Ashvara, simbol penjaga antara dunia.”
Akasa mengangkat tangannya, menatap simbol yang terus berpendar. “Aku memimpikannya,” katanya lirih. “Dalam mimpiku, simbol ini berbicara padaku.”
“Apa yang dikatakannya?” tanya Bhargava cepat, wajahnya serius.
“Bukan dalam kata,” jawab Akasa perlahan. “Tapi dalam rasa. Seperti ingatan yang bukan milikku.”
Berita tentang cahaya di tangan Akasa menyebar sebelum fajar. Penduduk desa berdatangan, sebagian dengan penasaran, sebagian dengan ketakutan yang nyata. Mereka melihat simbol bercahaya itu dan berbisik satu sama lain dalam ketegangan.
“Dia membawa kutukan,” kata seorang ibu tua sambil menarik anaknya menjauh. “Langit terlalu dekat dengan bocah itu.”
“Ini pertanda buruk,” ujar seorang pria gemuk sambil menunjuk langit. “Lihat bulan… tidak wajar bentuknya!”
Mbah Raksa melangkah ke tengah kerumunan. “Diam semua!” katanya lantang. “Kita tidak tahu apa ini. Jangan biarkan rasa takut menuntun kita seperti binatang.”
Namun ketegangan tak surut, hanya mereda sebentar karena hormat pada Raksa. Beberapa orang mulai menjaga jarak dari Akasa, bahkan menolak berbicara padanya. Kirana tetap datang, meski tampak ragu.
“Apa itu menyakitkan?” tanya Kirana pelan, duduk di bawah pohon bersama Akasa.
“Tidak,” jawab Akasa sambil memandangi kedua telapak tangannya. “Tapi rasanya seperti... beban. Seperti membawa suara banyak orang di dalam diriku.”
“Kalau kau pergi... aku boleh ikut?” tanya Kirana ragu-ragu.
Akasa menggeleng pelan. “Ini jalan yang hanya bisa kutempuh sendiri. Tapi aku akan membawamu di ingatanku.”
Malam-malam berikutnya, langit selalu berbeda. Kadang berwarna ungu kelam, kadang muncul lingkaran cahaya tanpa pusat. Burung-burung hutan tak lagi bernyanyi saat fajar, dan angin mulai berbisik dalam bahasa yang bahkan Bhargava tak sepenuhnya pahami.
Di ruang dalam kuil, Bhargava mengajak Akasa merenungkan simbol itu. Ia membawa kitab kuno yang hanya dibuka saat zaman berganti. Halaman-halamannya ditulis dengan tinta dari cahaya rembulan dan air mata biksu pertama.
“Ini bukan hanya tanda,” kata Bhargava tegas. “Ini adalah kunci!”
“Kunci untuk apa?” tanya Akasa, sambil menahan napasnya.
“Kunci bagi gerbang tujuh langit!” jawab Bhargava. “Dan hanya mereka yang bertanda bisa membukanya.”
Akasa merasa gemetar, tapi bukan karena takut. Ia tahu dunia akan berubah, dan ia ada di tengah pusaran perubahan itu. Simbol di tangannya terus menyala, seperti mengingatkan bahwa waktu berjalan ke arah yang tak bisa dihentikan.
Bhargava meletakkan telapak tangannya di dahi Akasa. “Mulai besok, kau harus mulai belajar lebih dari sekadar kata dan bintang. Kau harus belajar mendengar langit,” lanjutnya sambil menarik napas panjang. “Karena langit sudah mulai bicara padamu.”
Langit malam seolah mengiyakan ucapan itu, mengerling dengan kelip-kelip lembut yang tak biasa. Angin membawa bau hujan yang belum jatuh, seperti janji yang masih ditahan waktu. Di dada Akasa, simbol itu bergetar pelan, bukan sebagai beban, melainkan sebagai panggilan.
***
Fajar belum benar-benar pecah ketika Akasa duduk di bawah pohon asam tua, merenungi cahaya biru di tangannya. Simbol itu tidak pernah padam, terus berdenyut perlahan seolah menyatu dengan napasnya. Ia merasa tidak sendiri lagi, meskipun sunyi memeluknya erat.
Bhargava menghampirinya dengan langkah tenang. Di tangannya ada gulungan baru, lebih kecil dari sebelumnya.
“Ini bukan kitab, tapi peta suara,” ucapnya sambil menyerahkannya kepada Akasa.
“Peta suara?” Akasa mengernyit bingung.
“Ya,” jawab Bhargava pelan. “Langit menulis bukan dengan garis, tapi gema. Dengarkan, bukan lihat.”
Ketika gulungan itu dibuka, tak ada gambar, hanya garis-garis lengkung seperti gelombang air. Namun saat Akasa menutup mata, suara mulai terdengar yang begitu pelan, namun menembus. Seolah angin membawa nyanyian yang hanya ia sendiri bisa pahami.
Suaranya bukan lirik, tapi nada, seperti bisikan daun dan gemetar air di permukaan batu. Gema itu membuat dadanya bergemuruh, seolah membuka pintu dalam dirinya yang selama ini terkunci. Akasa tersentak, menatap Bhargava dengan mata membesar.
“Aku... mendengarnya,” katanya pelan. “Aku tidak tahu bagaimana... tapi aku mengerti.”
Bhargava tersenyum kecil. “Itulah mengapa kau terpilih. Bukan karena kekuatanmu, tapi karena hatimu mampu mengenali bahasa yang hilang.”
Selama hari-hari berikutnya, Bhargava mulai mengajarkan Akasa cara membaca langit dengan suara. Ia membawanya ke tempat-tempat sunyi di sekitar lembah: tebing gema, gua bisu, dan danau tak bernama. Di setiap tempat itu, Akasa belajar bahwa langit menyimpan petunjuk di mana-mana, bukan dengan wujud, tapi resonansi.
“Kau bukan bertugas untuk menjadi pemilik kekuatan,” kata Bhargava dalam salah satu pelajaran. “Tugasmu adalah menjadi penjaga keseimbangan. Kau pembawa pesan, bukan penentu.”
Akasa mendengarkan dengan saksama, tapi dalam dirinya tetap bergolak. Ia masih bocah tanpa nama yang tak paham kenapa langit memilihnya. Simbol di tangannya seperti beban dan cahaya sekaligus.
Desa itu kini sudah mulai semakin sunyi setiap kali Akasa lewat. Beberapa orang mulai menggantungkan sesajen di depan rumah, seolah melindungi diri dari keberadaannya. Sementara itu Kirana masih tetap bertahan, tapi bahkan senyum gadis kecil itu mulai mengandung kekhawatiran.
“Aku masih temanmu, bukan?” tanya Akasa suatu sore saat mereka duduk di batu besar dekat sungai.
“Tentu,” kata Kirana cepat, tapi suaranya tak setegas dulu.
“Kau takut padaku?” tanya Akasa lirih.
Kirana menggeleng pelan. “Bukan padamu. Tapi pada dunia yang kini mengelilingimu.”
Akasa mengangguk pelan. Ia tak bisa menyalahkan Kirana. Bahkan dirinya sendiri pun tak sepenuhnya mengerti apa yang sedang tumbuh di dalam tubuhnya.
Suatu malam, saat suara langit terdengar sangat jelas, Akasa terbangun dengan napas tersengal. Simbol di tangannya menyala terang, memancarkan sinar yang mencapai langit. Di angkasa, bintang-bintang mulai bergerak perlahan, membentuk lingkaran seperti mata yang terbuka.
Bhargava masuk ke kamarnya dengan wajah pucat. “Gerbang telah terbuka,” bisiknya. “Langit pertama mulai menunduk. Ini awal dari perjalananmu.”
Akasa berdiri perlahan, menatap langit dari celah jendela. “Apa aku siap?”
“Tak ada yang benar-benar siap,” jawab Bhargava pelan. “Tapi ketika langit memanggil, jawabannya bukan tentang kesiapan, tapi keberanian.”
Keesokan harinya, Bhargava mengadakan pertemuan rahasia dengan para tetua desa. Mereka duduk mengelilingi api kecil di aula bawah tanah, jauh dari telinga umum. Wajah-wajah mereka dipenuhi ketakutan, dan harapan yang samar.
“Kita harus segera memutuskan,” kata seorang tetua yang berbadan gemuk. “Apakah anak itu membawa berkat atau bencana?”
“Langit tak pernah memberi tanpa sebab!” jawab Bhargava dengan tegas. “Jika ia membawa badai, maka badai itu memang harus datang.”
Tapi sebagian dari mereka tetap tidak yakin. Malam-malam berikutnya, rumor tentang mengusir Akasa mulai berhembus. Beberapa pemuda bahkan membentuk kelompok penjaga malam, berpura-pura melindungi desa dari ‘apa pun yang mungkin terjadi’.
Bhargava memanggil Akasa ke altar tua di dalam kuil. “Waktumu di sini tak akan lama lagi,” katanya perlahan. “Aku bisa menahan mereka untuk sementara, tapi tak selamanya.”
“Aku mengerti,” jawab Akasa pelan.
“Jangan takut,” Bhargava menatapnya dalam-dalam. “Langit tak akan menempatkanmu di tengah badai jika kau tidak ditakdirkan untuk menuntunnya menuju tenang.”
Sebelum pergi, Bhargava memberikan sebilah batu kecil yang tampak biasa. Namun saat disentuh, batu itu menyala seperti jantung yang berdetak.
“Ini bukan senjata,” ucap Bhargava. “Ini adalah ingatan.”
Akasa mengangguk dan menggenggam batu itu erat. Ia tahu malam itu bukan malam biasa. Sementara itu di luar, langit kembali berubah warna jadi merah keunguan seperti luka yang belum sembuh.
Langkah-langkahnya pelan ketika ia kembali ke pondok kecilnya. Ia memandang rumah itu seolah terakhir kali. Di kejauhan, Kirana berdiri di tepi jalan, hanya menatap, tak berkata-kata. Simbol di tangannya makin hangat, seolah tahu bahwa waktu bergerak ke arah yang pasti.
Langit tak lagi diam. Dan Akasa, bocah tanpa nama itu, akhirnya mulai memahami bahwa ia bukan sekadar anak desa, melainkan awal dari sesuatu yang lebih besar dari dunia.
*****
