Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 1: Anak Tanpa Nama

Di lembah terlupakan, seorang bocah tumbuh tanpa nama dan tanpa asal-usul yang jelas. Ia dibesarkan oleh tetua desa yang menyebutnya Akasa, hanya karena angin senang memanggilnya. Tidak ada yang tahu dari mana ia berasal.

Hanya langit yang menyimpan rahasia itu. Suatu malam, bintang-bintang berkedip tak wajar, seakan memberi tanda. Penduduk desa menggigil dalam diam, takut menyebutkan pertanda buruk yang mungkin datang.

“Anak itu membawa sesuatu yang tak kita pahami,” kata Mbah Raksa, lelaki tertua di desa itu. Suaranya berat seperti batu sungai, penuh dengan keraguan. “Tapi langit sendiri yang menurunkannya ke sini, bukan begitu?”

Tetua lain hanya mengangguk, tak berani menyela. Mereka semua ingat malam saat angin berputar dan bayi itu ditemukan di bawah pohon beringin. Tanpa tangis, hanya tatapan kosong yang seakan mengerti segalanya.

Akasa tumbuh dengan tenang, namun berbeda. Ia jarang bicara, tapi matanya seperti menyimpan usia yang tak sesuai dengan tubuh kecilnya. Kadang, saat ia duduk sendiri di puncak bukit, burung-burung mendekat seolah memahami kehadirannya.

“Kenapa angin selalu memanggilmu, Akasa?” tanya Kirana, satu-satunya anak lain yang mau bermain dengannya. Ia menatap Akasa dengan rasa ingin tahu yang polos. “Apa kau bisa bicara dengan mereka?”

Akasa mengangguk pelan, lalu menunjuk langit. “Mereka tidak bicara. Tapi aku bisa dengar.” Ucapannya selalu singkat, tapi dalam.

Kirana terkekeh kecil, lalu duduk di sampingnya. “Kau aneh,” katanya sambil mengayunkan kakinya di tepi batu. “Tapi aku suka kamu.”

Di bawah sinar matahari lembah yang keemasan, Akasa selalu tampak seperti bayangan dari mimpi yang jauh. Ia berjalan tanpa suara, tapi tanah seolah tahu bahwa ia lewat. Daun-daun tidak jatuh ke tanah jika ia berada di bawah pohon.

Suatu malam, Akasa terbangun karena suara yang bukan berasal dari bumi. Langit bersinar lembut dengan warna biru tua yang tidak biasa. Ia melangkah keluar dari gubuk kecilnya dan memandang ke atas, ke tempat bintang-bintang menari dalam pola yang aneh.

“Lihat, Kirana!” serunya sambil menunjuk langit. “Mereka menyanyi malam ini!”

Matanya berkilat seperti permukaan danau saat fajar. Kirana yang terbangun karena suara Akasa ikut keluar dengan selimut masih melingkar di tubuhnya. Ia mengerjap-ngerjap, lalu memandang langit dengan dahi berkerut.

“Aku tak dengar apa-apa. Tapi... warnanya berubah,” katanya sedikit bingung.

Langit membentuk lingkaran-lingkaran samar yang berdenyut seperti napas. Udara di sekeliling mereka menjadi hangat lalu dingin dalam irama yang ganjil. Di tengah lingkaran cahaya itu, seekor burung perak melintas, meninggalkan jejak angin yang harum.

“Burung itu tidak berasal dari sini,” bisik Akasa, nyaris tak terdengar. “Ia dari langit ketiga.” Kata-katanya membuat Kirana bergidik tanpa tahu mengapa.

Beberapa tetua mulai merasa resah dengan pertumbuhan Akasa. Anak itu tumbuh lebih cepat dari yang seharusnya, dan matanya mulai menyala samar saat bulan purnama. Ada yang mulai berkata lirih bahwa ia bukan dari dunia ini.

“Kita harus bertanya pada Bhargava,” kata Mbah Raksa dalam rapat rahasia di balai desa. “Jika anak itu adalah titisan langit, kita tak boleh memperlakukannya sebagai bocah biasa.”

Ucapan itu membuat ruangan sunyi mendadak. Bhargava adalah pendeta tertinggi di kuil kuno yang berdiri di tebing batu. Ia jarang turun ke desa, kecuali jika waktu sudah tak bisa lagi ditunda. Namanya disebut dengan hormat dan takut dalam satu napas.

Pagi itu, Bhargava datang dengan pakaian putih yang dililit jubah langit, matanya tajam seperti kilat yang menanti waktunya. Ia berdiri di tengah lapangan desa dan memanggil nama Akasa, bukan dengan suara, tapi dengan hati. Bocah itu keluar dari gubuknya seolah memang sudah menanti.

“Apa yang kau lihat saat malam datang?” tanya Bhargava sambil menatap lurus ke mata Akasa. “Apa yang langit bisikkan padamu?”

Akasa menjawab tanpa ragu. “Aku tidak melihat. Aku merasa. Dan mereka bilang, aku harus bersiap.”

Pendeta itu mengangguk pelan. “Langit jarang berbicara pada manusia. Tapi ketika ia melakukannya, maka dunia akan berubah.”

Tangannya bergetar saat menyentuh bahu Akasa. Ia merasa seakan sedang menyentuh sesuatu yang tak sepenuhnya dari bumi.

***

Bhargava meminta waktu untuk berbicara dengan Akasa sendirian. Mereka berjalan ke hutan kecil di pinggir desa, tempat angin berputar lebih pelan dan daun-daun tidak berani jatuh sembarangan. Langkah sang pendeta pelan, seolah setiap tapaknya menghitung takdir.

“Aku tahu siapa kau,” kata Bhargava akhirnya, suaranya nyaris hanya bisikan. “Atau setidaknya, siapa leluhurmu.” Ia memandang Akasa dengan wajah penuh pertimbangan.

Akasa menatap lurus ke depan. “Aku tidak punya leluhur,” ujarnya datar. “Aku hanya punya angin.”

“Tapi angin membawa kabar dari langit,” Bhargava membalas, kini berdiri di depan sebuah batu besar yang ditumbuhi lumut hijau. “Dan langit tidak mengirimkan siapa pun tanpa alasan.”

Di atas batu itu, ukiran tua mulai bersinar pelan saat Akasa mendekat. Simbol-simbol yang tertutup waktu bangkit kembali, seperti mengenali sesuatu dalam darah bocah itu. Bhargava berlutut dan mencium tanah, tubuhnya gemetar.

“Kau adalah anak dari garis yang hilang,” ucap Bhargava, nyaris tak percaya. “Darah para Śura mengalir dalam dirimu.”

Ia menunduk dengan hormat, seolah Akasa telah menjadi lebih dari sekadar anak kecil. Akasa tidak menjawab, hanya menggenggam dadanya yang mulai terasa hangat. Hutan seolah bernafas bersama napasnya. Bahkan burung-burung memilih diam, mendengarkan hening yang sakral.

Malam itu, Bhargava berbicara di depan seluruh desa. Ia menjelaskan tentang anak langit, tentang nubuat lama yang terkunci di ruang paling dalam kuil. Semua mata tertuju pada Akasa, kini bukan lagi sekadar bocah aneh yang suka bicara pada angin.

“Jika kau semua takut,” kata Bhargava lantang, “maka takutlah pada ketidaktahuan, bukan pada anak ini.”

Bhargava menunjuk Akasa yang berdiri dengan tenang. Matanya memantulkan cahaya api unggun.

“Karena masa depan kalian tergantung padanya,” ucapnya tenang penuh wibawa.

Mbah Raksa mengangguk, walau keraguan masih menggantung di wajahnya. “Jika itu benar, maka ia bukan tanggung jawab kita lagi,” katanya perlahan. “Ia milik langit.”

Sejak malam itu, hidup Akasa berubah. Ia tak lagi bermain bebas seperti dulu. Ia mulai belajar huruf-huruf kuno, bahasa nyanyian langit, dan seni membaca bintang.

Bhargava mengajarkan banyak hal, tapi bukan dengan buku. Ia menggunakan batu, air, dan bayangan untuk menjelaskan makna yang tidak bisa ditulis. Akasa menerima semuanya dengan tenang, seolah telah menunggu pelajaran itu sejak lama.

“Kenapa aku?” tanya Akasa suatu malam saat mereka duduk di puncak bukit. “Kenapa bukan anak lain?”

“Karena namamu telah ditulis sebelum kau lahir,” jawab Bhargava. “Dan nama itu hanya bisa dibaca oleh langit.”

Beberapa penduduk desa mulai menghindarinya, bukan karena benci, tapi karena takut pada hal yang tak mereka pahami. Kirana tetap datang, walau lebih sering diam. Ia tahu Akasa telah menjadi sesuatu yang jauh darinya.

“Kau akan pergi suatu hari, ya?” tanya Kirana sambil menatap senja.

“Ya,” jawab Akasa lirih. “Tapi aku akan membawa namamu dalam hatiku.”

Hari-hari berganti, dan langit mulai menunjukkan tanda-tanda baru. Awan membentuk pola yang belum pernah terlihat. Air sumur menjadi lebih dingin, dan suara gaib sering terdengar di antara tiupan angin.

Pada malam keempat belas bulan terang, Bhargava memanggil Akasa ke ruang utama kuil. Tempat itu adalah pusat waktu dan nyanyian, di mana sejarah tak ditulis tapi diingat oleh batu. Dinding-dinding bersinar lembut saat mereka masuk.

“Sudah waktunya,” kata Bhargava, dengan suaranya yang serak. “Langit memanggilmu!” lanjutnya sambil menyerahkan gulungan emas yang berisi peta tanpa garis.

“Ke mana aku harus pergi?” tanya Akasa dengan tenang.

“Bukan ke mana, tapi bagaimana,” jawab Bhargava. “Karena langit tidak ditempuh dengan kaki, tapi dengan keberanian.”

Ia memakaikan jubah abu langit ke tubuh Akasa. Warnanya menyatu dengan malam, seperti bagian dari bintang-bintang itu sendiri. Udara di dalam kuil menjadi hangat, seolah seluruh ruang menyambut perpisahan ini.

Di luar, lembah sunyi menyanyikan lagu yang hanya bisa didengar sekali seumur hidup. Garuda bersayap perak melintasi angkasa, membawa pesan dari langit ketiga.

Akasa menatapnya tanpa takut, karena akhirnya ia tahu siapa dirinya. Ia bukan anak tanpa nama. Ia adalah awal dari sesuatu yang lebih besar, dan pada akhirnya seluruh dunia pun akan segera tahu.

*****

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel