4. Crot Di Dalam
Pagi telah tiba …
Masakan khas untuk membangkitkan semangat kedua nak pun akhirnya aku lakukan, ini merupakan sebuah makanan sudah lama tidak di masak akan tetapi dengan menggunakan bahan yang sangat sederhana pasti semua suka. Aku pun telah bangun lebih awal, kemudian mengikat rambut menggunakan tali rafia untuk segera menyentuh masakan tersebut.
Tak berapa lama putri kesayangan ke luar dari dalam kamar masing masing dan masuk ke dalam kamar mandi, secara bergantian keduanya sangat akur dan tidak mau saling dorong. Sejak kecil keduanya sudah di ajarkan sebuah etika dan moral oleh suami, walau pun sekarang suami telah berubah sangat jauh dari seperti apa yang aku bayangkan.
Seraya menyentuh kanaya, kami pun saling tukar tatap satu sama lain. Aku yang keseharian adalah wanita karir, sekarang harus pergi ke kantor sebentar. Pasalnya, nanti siang aku akan permisi pulang lebih awal oleh bos karena sudah berjanji pada Gisel akan pergi ke salah satu tempat yang dia ingin tunjukan padaku. Sekarang kanaya tampak sangat cantik, rambutnya panjang dan kulitnya mulus seperti aku.
Kami pun saling tukar tatap satu sama lain, kanaya seketika menitihkan air mata entah apa yang sedang dia alami. Kemungkinan kalau kanaya seperti itu, tengah sedih atau bahkan sedang patah hati. Aku pun menyentuh kedua pipinya, yang mengalirkan air mata. Kemudian sang anak langsung memeluk tanpa berkata sedikit pun, rasa penasaran akan semua ini membuat aku begitu ingin sekali ingin tahu.
“Kamu kenapa sayang?” tanyaku dengan bada suara sangat parau.
“Gak ada ma, aku hanya sedang patah hati aja. Ternyata Kelvin mendua di belakang aku,” paparnya sembari memeluk aku sangat erat.
“Sudahlah sayang … kamu harus fokus sekolah dulu ya, jangan pikirin cinta. Kalau kamu udah sukses, siapa yang gak mau sama kamu. Kamu itu cantik, jadi gak perlu pertahankan lelaki yang seperti Kelvin,” jawabku seraya mengelus rambut sang putri.
“Hmm … andai saja aku punya mobil pribadi, pasti gak ada yang mengejek aku di luar. Papa kapan sih, belikan aku kendaraan sendiri? Tiap hari pergi sama adik terus, semua sahabat menertawakan aku ma,” jawab kanaya, terisak tangis.
“Sabar sayang, kamu itu kan udah pernah mama berikan nasihat. Kalau Papa pulang, pasti akan turuti apa pun yang kamu mau. Sekarang, mandi dulu gih biar kami gak telat pergi sekolah,” suruhku, dan kanaya pun masuk setelah Jessica ke luar kamar mandi.
“Ma, kak kanaya kenapa ya? Kok, seperti lagi nangis gitu?” tanya Jessica penasaran.
“Gak ada sayang, ini masalah anak SMA. Kamu pakai baju dulu ya sayang, biar mama masukin yang enak enak buat kalian berdua,” paparku, lalu Jessica pun masuk ke lantai dua kegirangan.
Seraya menggelengkan kepala, aku kembali melanjutkan untuk masak. Hari demi hari aku melakukan aktivitas ini, sejak bi ira tidak ada dan mbok Lastri juga gak ada. Sekarang semua pekerjaan akan aku ambil alih, termasuk membesarkan kedua anak tanpa mas Bram. Suami selalu mengirimkan uang dan biaya sekolah, selebihnya aku yang mengantar keuangan.
Tak berapa lama ponsel milikku berdering, aku mengambil ponsel tersebut dan menatap secara saksama ponsel tersebut. Ternyata itu adalah panggilan dari bi ira, pembantu rumah tangga yang sudah hampir dua minggu tidak kembali, kemungkinan dia akan kembali lagi bekerja seperti bisanya. Aku dapat menebak semua itu, dan dengan sangat penuh kegembiraan aku mengangkat ponsel.
[Hallo, Bi Ira, kapan kembali lagi? Aku kangen banget loh sama bibi. Anak anak juga, mereka selalu tanyain bibi kapan kembali lagi ke rumah ini.]
[Iya nyah, ini masih di jalan. Bibi akan kembali entar malam. Apakah bibi masih boleh bekerja di saja lagi, soalnya bi Lastri pun akan datang juga malam ini katanya.]
[Ya ampun … ya boleh lah bibi. Mami pun selalu menantikan untuk bibi datang ke sini, lagian kanaya juga butuh tempat curhat katanya. Kan bibi tahu sendiri kan, kalau saya ini kerja sampai malam dan dia gak ada yang dengar setiap kali mau curhat.]
[Baik nyah, kalau begitu entar malam bibi udah sampai ini masih di jalan. Oh, ya, kalau boleh tahu selama bibi pulang kampung siapa yang kerjain tugas rumah nyah?]
[Saya lah bi, semua saya yang lakukan. Tidak terkecuali, ya sudahlah namanya juga aku pun wanita kan bisa masak dan yang lainnya. Tapi ya gitu, gak seperti masakan bibi enak banget.]
[Ah, si nyonyah bisa aja. Ya udah kalau gitu lanjut dulu masaknya nyah, entar malah gosong lagi.]
[He He He … iya bi, udah matang kok sekarang. Kalau di jalan hati hati ya bi, ingat kalau udah sampai langsung hubungi kanaya aja siapa tahu dia malah ikut les musik kan lama pulang.]
[Baik nyah, kalau gitu saya pamit ya.]
Aku mematikan ponsel dan meletakkan di samping kompor untuk masak, kemudian kanaya ke luar dari kamar mandi dan menatap aku secara saksama.
“Mama kenapa senang banget ma? Tadi kayak ada orang yang ngomong, di mana?” tanyanya.
“Itu bi Ira, dia lagi di jalan mau ke sini lagi.”
“Alhamdulillah … mama, aku masih punya harapan untuk curhat. Semoga aja bi ira bawa lemang ya ma dari kampung udah lama banget gak makan lemang buatan bibi,” ujar kanaya.
“Iya, kamu pakai seragam dulu gih, agak adek kamu sekalian mama mau siapin makanan di meja makan,” ujarku.
Satu persatu makanan pun aku bawa ke meja makan, lalu tersusun rapi seperti makanan di hotel bintang lima. Semuanya tersedia dan siap makan, termasuk minuman. Ini adalah makanan paling banyak yang bisa aku masak sejak subuh, walau pun rasanya masih kalah dengan buatan bi ira, akan tetapi anak anak tidak pernah mengejek atau pun mengatakan masakan aku buruk.
Satu persatu putriku datang dari lantai dua, meraka langsung menemui dan duduk di bangku pilihan masing masing. Keduanya tercengang melihat makanan sebanyak ini, aku yang sudah tidak sabar kemudian duduk di hadapan keduanya.
“Mama, banyak banget makanan. Ini bener mana yang masak semuanya?” tanya kanaya.
“Iya dong sayang, ini mama yang masak semuanya. Kamu gak yakin ya kalau mama bisa masak se banyak ini?” tanyaku seraya menatap tajam.
“Bukan gak yakin sih, tapi selama ini mama orangnya sibuk jadi seperti sangat aneh aja kalau mama ternyata seperti ini. Rajin dan mau memenuhi semua menu yang kami mau,” jawab kanaya.
“Udahlah, kalian selalu saja membahas yang gak penting. Mama aku mau makan, ambilkan piring mama,” ucap Jessica.
“Ini sayang, kamu makam yang banyak ya biar pintar dan bisa bantu mama kalau udah besar,” ujarku.
“Pasti dong mama … emang seperti kakak, yang tiap hari galau karena om Kelvin yang selalu buat sakit hati. Lepasin aja kali kak, masih ada om remon yang ganteng juga kan, setia baik lagi sama aku,” papar Jessica.
“Tuh, adik kamu aja tahu itu kan. Sekarang kamu harus bisa deh pilih pacar yang benar benar sayang sama kamu,” kataku lagi.
“Gak ah ma, aku mau cari cowok yang gagah dan badannya bagus. Kalau mereka berdua itu memang badannya bagus, tapi gak seperti idaman aku banget lah,” papar kanaya.
‘Aku dan kanaya memang pilihannya sama, suka sama lelaki berbadan bagus. Tapi, sekarang aku menikahi mas Bram yang awalnya sangat gagah dan berbadan bagus malah sedikit buncit. Kalau di pikir pikir, aku sudah tidak seperti dulu lagi dalam memberikan harapan,’ kataku dalam hati.
Kamu pun mengunyah makanan dengan sangat lahap, dan aku mengambilkan satu buah piring untuk mang jarwo di pos penjagaan. Aku yakin kalau dia belum makan, dengan sangat cepat aku memasukkan semua makanan ini.
“Ma, ini mau di bawa ke mana?” tanya Jessica.
“Mang jarwo belum makan, kasihan mama kalau dia belum makan entar gak fokus lagi kalau antar kalian sekolah,” paparku menjelaskan.
“Oh begitu, ya udah kalau mau kasih mang jarwo,” kata Jessica.
Dengan berjalan sangat kencang, kini tibalah aku di pos penjagaan. Kebetulan mang jarwo sedang tidur di bangku panjang, aku bergeming dan menatapnya secara saksama. Lelaki yang sudah duda itu terlihat berbeda hari ini, walau pun berasal dari kampung tetapi wajahnya lumayan tampan. Akh menarik napas panjang dan tujuan terpusat di bagian tengah badannya.
Pasalnya, telat di dalam sana terdapat sebuah barang yang lumayan menonjol. Aku pun mengelus dada, sepertinya mang jarwo sedang mimpi dengan wanita. Karena dapat di tebak kalau ada yang bergerak dan seperti minta ke luar, aku menoleh kanan serta kiri memastikan tidak ada orang yang lihat.
Perlahan aku menyentuh pusaka milik mang jarwo itu. ‘Keras banget sih, aku suka banget sama yang keras,’ kataku dalam hati, dan tersenyum sendiri di samping mang jarwo.
Bersambung …
