5. Ketagihan Burungmu
Tiba tiba mang jarwo terbangun, aku pun memalingkan wajah karena merasa sangat gerogi. Ini adalah kali pertama aku memberanikan diri menyentuh aset seorang lelaki yang bukan suami sendiri. Entah kenapa, kemungkinan karena sudah lama tidak di sentuh oleh suami. Bahkan yang paling parahnya, aku selalu mengintip suami tetangga jika dia sedang olahraga dan menjemur pakaian basah.
“Nyonyah, maaf kalau aku ketiduran soalnya tadi malam gak bisa tidur,” ucap mang jarwo, dan aku pun tersenyum cengengesan.
“Iya gak masalah kok, soalnya aku juga baru sampai ke sini. Ini loh mang, aku mau bawaan kamu sarapan pagi. Soalnya kalau jam segini kamu harus antar anak anak ke sekolah, entar malah enggak fokus lagi,” ujarku seraya menoleh ke samping kanan.
“Waduh nyah … kalau ini sih entar saya bisa ambil sendiri makan di rumah kan. Lagian tiap hari juga seperti itu,” jawabnya sangat lembut, aku pun memerhatikan benda pusaka milik mang jarwo yang terlihat seperti bergerak.
Kemungkinan dia telah merasakan apa yang aku sentuh tadi, itu sudah pasti. Lelaki perkasa memang wajar kalau mengalami hal demikian, aku tidak menyalahkan siapa pun karena itu adalah salah aku dari awal yang tidak memanggil malah memegang secara langsung. Namun, benda tersebut memang tidak kaleng kaleng, berbeda dengan milik suami, yang terlihat sangat gagah akan tetapi malah loyo.
Tak berapa lama mang jarwo mengunyah makanan yang telah aku berikan, dan lambat lambat tangan kanan ini juga memegang lutut lelaki yang sudah duda anak satu itu. Sejak dia hadir di rumah ini, aku tidak kesepian dan ketakutan walau pun tidak di temani oleh nya ketika istirahat akan tetapi dapat menjaga kemamanan rumah.
“Mang, lanjut makannya, kalau mau tambah silakan datang ke dalam kami lagi makan juga kok. Siapa tahu mau nambah lagi,” ucapku, dan dengan cepat meninggalkan mang jarwo begitu saja.
“Iya nyah, terima kasih ya,” jawabnya.
Dengan berjalan sangat kencang, aku pun menuju ke teras rumah dan sebelum masuk ke dalam tak lupa tatapan aku paling kan kembali ke arah belakang di mana mang jarwo sedang makan. Lelaki ketika sudah makan, lucu dan sangat membuat aku tertawa. Apalagi kalau bisa menemaninya, hanya saja tidak mungkin dan mang jarwo sudah punya pacar sekitaran sini.
Tetapi aku juga penasaran bagaimana dia ketika memperlakukan seorang wanita, apakah sebaik itu atau tidak. Mang jarwo adalah lelaki yang penyayang, dia juga sangat baik hati ketika mengajak anak anak pulang dan pergi. Selama ini belum ada masalah apa pun, seraya meninggalkan ambang pintu aku berjalan memasuki ruangan.
Kedua anak anakku pun telah bersiap, kanaya juga Jessica telah menyandang tas masing masing. Di hari yang sangat cerah, matahari bersinar begitu terang membawa suasana sangat nyaman dan aku tidak lupa untuk menyiapkan semua yang mereka butuhkan, salah satunya adalah bekal dan uang jajan. Walau pun yang jajan ini jarang di pakai, akan tatapi aku tetap berikan.
Kanaya dan Jessica adalah anak yang suka menabung, bahkan ketika meraka membutuhkan ponsel baru aku tidak pernah keluarkan uang sedikit pun. Keduanya membeli dengan tabungan agar bisa hidup mandiri, didikan suami selalu seperti itu dan tak memanjakan siapa pun orangnya termasuk aku. Semua serba di jatah, hanya saja batin yang tak pernah mendapatkan jatah darinya.
“Mama … kami pergi sekolah dulu ya …,” ucap kedua anakku.
“Iya sayang, kalian hati hati di jalan. Kalau mang jarwo kencang bilang agar tidak terlalu kencang ya,” jawabku seraya mencium kening kedua putriku.
“Mama, kanaya pamit pulang agak sorean ya karena aku mau kerja kelompok sama teman teman. Ini adalah tugas yang sangat penting, jadi gak bisa pulang cepat,” papar kanaya padaku.
“Iya sayang, yang penting kamu hati hati, kalau misalnya mau pulang telpon aja mang jarwo biar dia yang jemput kamu ya sayang,” ucapku memberikan arahan terbaik untuknya.
“Iya ma, kalau aku gak ada yang antar pasti akan telepon mang jarwo kok, lagian katanya mang jarwo mau antar jemput kami kok sampai jam kerja malam,” kata sang anak.
“Baiklah, sekarang kalian naik mobil entar ketinggalan lagi sekolahnya.”
“Bye mama …,” ucap kedua anakku.
“Bye juga sayang, hati hati ya sayang ….”
Kedua putri ku telah pergi, aku mengintip dari teras depan rumah. Mang jarwo pun membuka pintu untuk kedua nya, dia sangat penyayang dan melaju pergi dari rumah. Jalan lintas adalah salah satu wilayah yang akan membawa ke sekolah dan tempat lain, sekarang aku akan mandi cepat untuk bersiap siap mandi.
Seraya memilih baju kantor yang biasa saja, aku pun berdandan dengan sangat cepat. Kata Gisel kami harus membawa baju olahraga agar dapat bergerak bebas ketika kami pergi nanti, padahal aku mengajak untuk pergi ke sebuah tempat yang sangat indah malah di suruh bawa baju ganti berbahan sangat ketat.
Walau pun tidak punya baju olahraga, aku terpaksa membawa baju yang sudah lama tidak terpakai. Itu pun sangat kecil, akan tetapi kalau di barengi dengan badanku akan terlihat biasa saja. Setelah berdandan cantik, aku menaiki mobil untuk segara ke kantor. Pekerjaan hari ini sudah menumpuk, karena semalam aku tidak masuk kerja dengan alasan sakit.
Di sepanjang perjalanan aku pun memikirkan akan mang jarwo barusan, yang sangat membuat aku tidak mampu berpaling dari siapa pun. Biasanya tidak pernah seperti itu, karena kami tak pernah bertegur sapa sebelumnya. Namun, sekarang jauh berbeda dan aku malah teringat dan kadang tertawa dengan sendirinya.
“Kenapa sih aku selalu mikirin mang jarwo, kalau aja dia itu bukan supir pasti aku mau ganggu. Tapi kayaknya dia gak mau deh sama aku, karena dia udah punya cewek di sekitar rumah,” ucapku sendiri seraya cengengesan.
Tak berapa lama akhirnya aku pun tiba di kantor, semua karyawan banyak yang berlari karana sudah sangat telat masuk. Tetapi berbeda dengan aku, yang sekarang sudah menjabat sebagai sekretaris di perusahaan tidak takut kalau dia marah marah, bahkan bos kami itu sangat introvert dia tidak bisa marah dengan wanita.
Seraya berjalan masuk ke dalam lift, aku menekan tombol lantai tiga agar dapat sampai ke ruangan dengan cepat. Di dalam ruangan ini aku hanya main ponsel, dan kini pintu terbuka. Langkah kali ku berjalan sangat kencang menuju depan, lalu aku pun masuk dengan sangat santai. Ternyata benar, kalau bos belum datang.
Ketika aku meletakkan ponsel di atas meja, sebuah suara pun terdengar sangat aneh di telinga. Aku penasaran akan suara itu, seperti orang yang sedang olahraga tetapi sangat lelah sambil berteriak tidak jelas. Seraya membangkitkan badan, aku pun berjalan menuju pusat suara yang terdapat di ruangan pribadi bos. Bisanya ruangan ini hanya aku dan dia aja yang boleh masuk, sekarang seperti sudah di tempati oleh orang lain.
Kini tibalah aku di depan pintu, dan terdengar suara itu sangat pasih di telinga. Ternyata benar dugaan awal, kalau bos sedang main kuda kudapan dengan seorang wanita yang merupakan karyawan baru di perusahaan ini, padahal kemarin aku sudah menolak lamaran nya, sekarang dia di terima dan entah apa alasannya.
Bos Marcel berkulit putih, berbadan sedikit buncit dengan tinggi badan yang sangat sempurna. Aku menggigit jari dan bergeming memegang sebuah ladang, mereka yang melakukan tetapi aku yang seperti ingin bergabung. Perlahan sebuah percikan pun ke luar, aku mengelus tidak henti dan semakin deras.
“Sakit, bos,” ucap seorang wanita yang merupakan karyawan baru.
“Jangan keras keras sayang, suara kamu entar di dengar semuanya,” ucap si bos, dan aku mendudukkan badan dua atas meja seraya menatap mereka dari kaca berukuran kecil.
Sekarang posisiku pun hampir sama dengan wanita itu, dan akhirnya si bos membuang tepat di wajah karyawan baru tersebut. Aktivitas telah berakhir, aku beralih sangat kencang menuju ke tempat semula, seraya membersihkan jemariku yang sempat basah dengan tisu putih. Dan keduanya pun ke luar dari ruangan pribadi tersebut, aku melirik dari layar komputer di hadapan.
“Kamu kerja lagi ya, kalau ada apa apa silakan langsung telepon saya aja,” ucap bos marcel.
“Baik bos, terima kasih ya sudah memberikan aku sarapan yang lezat pagi ini,” jawab karyawan tersebut.
Ketika dia berjalan ke luar, barulah sadar kalau aku sedang menatap laptop di ruangan yang sama dengan mereka. Dia pergi begitu saja, sementara si bos pun duduk di bangku putar dan melirik ke arahku. Karena aku sudah tahu dengan apa yang telah mereka lakuin, tetap stay diam seraya menunggu sesuatu yang akan terjadi.
Pasalnya, si bos telah menikah dua tahun lalu, dia juga sudah punya seorang anak laki laki yang tampan sama seperti dia, akan tetapi belakangan ini syarat yang dia pinta padaku berbeda. Kalau ada karyawan wanita yang hendak melamar kerja ke perusahaan ini, harus mau melakukan aktivitas berdua dengannya agar di terima.
Walau pun ladang ada yang menolak, dan kadang ada yang mau. Tak berapa lama si bos berjalan menemui aku, dia membawa dokumen di tangannya dan kami pun saling tukar tatap satu sama lain, si bos pun bergeming di samping dan mendekatkan dagunya di pundak kanan ini sambil menatap berkas di komputer, aku menoleh sekilas.
Tepat di daun telingaku, dia berkata sangat lembut. “Kamu dengar dengan apa yang yang terjadi tadi?” tanyanya padaku.
Aku pun mengangguk jujur, karena dia sangat tidak suka dengan karyawan yang berbohong.
“Kalau kamu dengar, kamu mau gak jadi yang selanjutnya sama aku? Sher, ini permintaan aku kesenian kalinya.”
“Bos, kamu udah punya istri dan aku juga udah punya suami. Kalau mereka tahu gimana, aku takut kalau itu terjadi sama kita,” jawabku ketakutan.
“Sher, ini kan urusan perusahaan, kita ya harus pintar pintar lah. Kamu kan tahu kalau gak begini hidup kita hampa banget, bener gak. Kamu aja di tinggal kerja suami, apa kamu bahagia di rumah tanpa sentuhan?” tanya bos marcel, kali ini dia benar.
“Ta tapi bos, aku hanya gak mau kalau sampai—“
“Kalau kamu hamil? Ya ampun … aku kan jago, mana mungkinlah sher, mau kan kamu yang selanjutnya?” tanyanya padaku merayu.
Bersambung …
