Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

3. Kepala Kon**L mu nikmat

“Sayang … kenalin ini adalah tante Gisel, sahabat lama mama yang sekarang udah di Jakarta. Beliau ini, pindahan dari Amerika loh,” ucapku untuk membuyarkan lamunan kedua anak.

“Salam kenal tante, aku Jessica. Dan aku kanaya,” ucap kedua anakku memperkenalkan namanya di hadapan sang sahabat.

“Salam kenal juga cantik, kenalkan nama tante adalah Gisel. Kalian cantik cantik ya, semoga kalian enggak takut ya berteman sama tante, karena tatapan kalian udah seperti lihat hantu aja deh,” jawab Gisel, lalu kami pun berjalan lagi menelusuri ruangan rumah.

Kedua anakku masuk ke kamar masing masing dan menuju lantai dua, sementara kami menuju ke sebuah dapur untuk mengganjal perut. Walau pun aku belum sempat masak, akan tetapi makanan tadi pagi masih ada dan banyak sekali. Bahkan see food juga ada, semuanya masih layak makan dan hanya perlu susu hangat saja.

Gisel pun mengunyah buah, kami yang sedari tadi membahas tentang suami masing masing, ingin rasanya ada pembahasan baru. Perihal apa yang sudah kami sepakati tadi, akan pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu entah di mana. Sambil meneguk Susu hangat, kemudian memerhatikan barang barang mewah yang di pakai oleh sahabat.

“Sel,” panggilku sangat singkat.

“Hmm … ada apa, sher?” tanya sang sahabat, dia mendelik dan berhenti pegang ponsel.

“Kamu tajir banget tau gak sekarang, aku jadi pengen punya barang mahal seperti kamu. Tapi … kayaknya gak mungkin ya, suami aku kan gak pernah memberikan apa pun yang aku mau,” jawabku lagi memelas.

“Kamu kurang apa lagi sih sher? Kamu udah kaya, suami kamu mapan dan tampan. Anak udah ada, apa lagi sih. Malah aku pengen loh seperti kamu, walau pun gak mewah banget tapi udah lebih dari manusia normal loh. Punya yang kamu mau,” papar sang sahabat, membuat aku buta akan rasanya bersyukur.

“I iya sih, tapi kamu sepertinya gak ada beban gitu. Kamu selalu Happy, kamu lihat aja aku sekarang sel. Badan aku udah tua banget kan, lihat ini wajah pun kusam banget sekarang, sejak menikah dangan mas Bram semuanya berubah sangat drastis. Kan kamu juga tahu kalau aku dulu di SMA adalah siswi paling cantik,” ujarku memutar kilas balik.

“Ya iya sih, kalau aku lihat lihat kamu memang berubah banget sekarang. Tapi tetap cantik kok, kalau kamu ikut aku dan kita refreshing aku yakin kamu akan tampak lebih cantik. Percaya sama aku, kan selama ini kamu gak pernah olahraga kan?” tanya Gisel, lalu aku mengangguk begitu saja.

“Nah, itu kamu mengaku. Rahasia agar tetap cantik adalah olahraga, karena olahraga ada dua jenis. Dia luar rumah, dan di atas dipan.”

“Ma, maksud kamu apa sel? Aku gak ngerti sama sekali yang kamu katakan,” ujarku, sangat kebingungan apa yang di maksud sahabat.

“Itu loh, olahraga batin. Yang itu tuh, proses membuat kanaya dan Jessica. Pasti udah gak pernah kan?” tanya Gisel lagi.

Dengan polosnya aku menggelengkan kepala, karena memang sudah tak pernah lagi melakukan hal tersebut. Sangat lama, bahkan ladang ini tak pernah di aliri sejak mas Bram tidak pernah pulang. Bahkan ketika sampai di rumah, dia juga enggan menyentuh. Rasanya aku bagai janda kering yang tertera angin, tidak ada satu pun sentuhan mendarat di badan ini.

Kadang aku merasa iri dengan banyaknya selebgram, mereka bisa damai memiliki cinta sejati bahkan sampai tidak memikirkan suaminya hendak apa mala hari. Sedang aku, selalu saja menginginkan tetapi Hanya bisa menatap suami suami orang dari sebuah aplikasi. Tak berapa lama, Gisel pun datang dan menyentuh lengan ini. Dia menatap, kemudian kami saling menatap satu sama lain.

“Udah jangan sedih ya, aku gak akan biarkan kamu jatuh. Tetap semangat, karena aku ada di sini ya,” ucap Gisel padaku.

“Iya, aku akan selalu mengikuti semua saran kamu. Terima kasih ya sel, kamu udah pulang dan kembali lagi sama persahabatan kita. Semoga kamu benar benar bisa membawa aku ke luar dari lembah kesepian,” jawabku sembari memeluk tubuh sahabat.

Gisel membuka tas, lalu dia mengambil rokok dari dalam tas tersebut. Aku memerhatikan, karena di rumah ini tidak ada satu pun yang merokok. Bahkan supir pribadiku juga, dia sangat aku larang ketika sudah mengeluarkan benda yang satu itu. Namun, kali ini tak dapat aku lakukan. Karena Gisel adalah orang satu satunya yang ada dalam hidupku saat ini, dia merupakan motovator.

Hanya saja ketika dia membuang asap rokok, aku sedikit menghindar. Melihat hal tersebut, sang sahabat memberikan sebatang rokok itu padaku.

“Kamu gak mau merokok?” tanya Gisel, memberikan tawaran yang sangat membuat aku mual.

“Ak aku … aku gak bisa merokok sel, karena gak pernah. Emangnya kamu gak ada canggung gitu, saat merokok?” tanyaku lagi.

“Ya enggak lah, ini adalah cara aku untuk membuat hidup jauh lebih bermakna. Semua beban hilang, dan kamu wajib coba kalau mau seperti aku sih,” ujarnya, lalu aku menatap sebatang rokok itu.

“Apakah aku bisa sel, karena ini banyak kandungan yang berbahaya loh. Yang pernah aku pelajari, itu dapat merusak organ kita semua,” paparku.

“Halah … kamu itu terlalu kampungan tahu enggak, sher. Intinya kalau kamu mau seperti aku, kamu harus cobain rokok ini. Gak buruk buruk banget kok,” jawabnya, laku aku mengambil benda itu dan menciumnya.

Ternyata tidak buruk, walau pun tak pernah aku mencium aroma tersebut. Seraya menyalakan dengan korek, kemudian tarikan pertama dari mulut aku lakukan hingga semua asap masuk ke dalam rongga mulut. Saat itu juga terasa sangat berat dan begitu penuh, akhirnya aku mengeluarkan sangat cepat dari mulut.

Uhuk! Uhuk!

“Ha ha ha … sher, sher. Kamu itu loh, payah banget. Baru juga rokok yang kecil, belum lagi rokok yang satu itu. Ukuran jumbo, pasti kamu akan kelolotan,” jawab Gisel menertawakan aku.

Kali ini aku berlari menuju wastafle, mencuci mulut dan segera berkumur kumur sampai baunya hilang. Kali ini air mata ke liat dari kedua bola mata, dan tatapan pun aku buang ke cermin. Gisel yang tertawa kekeh, kemudian mengambil ponselnya. Sambil menyibak keringat, aku menarik napas panjang.

Tak berapa lama, Gisel pun akhirnya membangkitkan badan dari kursi dapur. Dia berjalan menemui aku, kami berhadapan satu sama lain. Kemungkinan dia mau pulang, karena sedari tadi sudah sangat gelisah melihat ponselnya saja.

“Sher, aku balik dulu ya. Kamu harus jaga kesehatan dan diri, besok aku jemput pagi ya. Ingat, kamu gak boleh banyak pikiran. Aku selalu ada buat kamu kok,” papar sang sahabat.

Seraya mengangguk, aku menjawab, “terima kasih ya sel, kalau gak ada kamu gak tahu deh aku akan jadi apa sekarang.”

Gisel memegang kedua pundakku, lalu dia memeluk badan ini sangat erat secara perlahan. Dan aku membalas, ini adalah pelukan paling tulus yang pernah aku rasakan sebelumnya.

“Kalau begitu aku balik dulu ya sher,” ucap Gisel, dan dia melambaikan kedua tangan.

“Hati hati ya sel, jangan ngebut bawa mobilnya,” jawabku sembari mengangguk ringan.

Kedua kaki ini melangkah menuju ke meja makan, dan ternyata Gisel meninggalkan rokoknya di di atas meja. Masih banyak, satu kotak lagi dan semuanya sama seperti yang aku coba. Seraya berlari menuju ke luar, aku pun hendak mengembalikan satu bungkus rokok itu.

“Sel … sel … ini rokok kamu ketinggalan,” teriak aku dari teras dalam rumah, akan tetapi dia tetap melaju meninggalkan aku.

Akibatnya tidak dapat di kembalikan, dan aku membawanya masuk ke lantai dua gedung rumah. Di sepanjang perjalanan, aku memegang kening dan membayangkan kalau esok akan berubah menjadi hari yang lebih indah. Setibanya di dalam kamar, aku duduk seraya menatap senja di atas balkon. Sekarang aku menoleh kanan, melihat sebungkus rokok itu masih ada di sana.

‘Itu bukannya rokok punya Gisel ya? Kalau aku berlatih pakai malam ini, kayaknya gak buruk banget deh. Okelah, aku akan coba sekarang,’ kataku dalam hati.

Perlahan aku mengambil bungkus rokok itu dan menatapnya secara saksama, kali ini tatapan hanya terfokus pada sebuah batang berwarna coklat. Ini adalah aroma paling menyingkat, karena seperti aroma kopi hitam. Aku pun mencium dari ujung ke ujung, barulah terasa sangat indah sejak beberapa kali.

Dengan mengambil korek dari samping, aku menyalakan sepentung rokok itu dan menariknya masuk ke dalam mulut. Awalnya sangat tidak nyaman, sampai beberapa kaki pun tidak enak. Namun, aku paksakan dan mencoba menikmatinya. Setelah habis satu, aku mengambil lagi dan mencoba melakukan hal sama.

Dari arah luar pintu, ketukan pun terdengar sangat keras. Kemungkinan Jessica anak keduaku ingin datang dan curhat, belakangan hari dia memang sering melakukan hal demikian. Aku bersiap dan menyingkirkan bungkus rokok dari balkon, karena kedua anak anak sangat tidak suka kalau aku merokok.

Tok tok tok!

“Mama …,” teriaknya.

“Iya sayang … bentar ya,” jawabku dari dalam kamar.

Kemudian aku membuka pintu kamar dan menatap Jessica sudah ada di sana bersama dengan kanaya, mereka berdua hadir di lokasi saat aku berpijak. Biasanya tidak pernah, mungkin ada hal penting yang akan di katakan padaku saat ini.

“Mama … tante yang tadi siapa ya, kenapa udah gak ada?” tanya jessica.

“Oh, itu tante Gisel. Dia baik kok, kalian seperti ketakutan gitu?” tanyaku, kami duduk di atas dipan.

“Habisnya, wajah tante itu buat kami seram. Kedua matanya juga seperti itu, tabal banget maskaranya,” jawab Jessica sangat polos.

“Kalian belum tahu aja dia gimana ya sayang, kalau kalian udah kenal akan akrab banget. Mama aja sampai sekarang betah bersahabat dengan dia,” ujarku menjelaskan.

“Mama, papa kapan sih balik. Aku kangen banget sama Papa. Apakah gak ada Papa telpon mama, soalnya kalau kami yang telpon Papa gak pernah angkat,” ucap Jessica.

“Mungkin Papa lagi sibuk sayang, kan papa kerja buat kalian juga kan. Untuk biaya sekolah, dan kalian juga mau kuliah di luar negeri kan?” tanyaku memberikan nasihat.

Kedua putriku mengangguk, ini adalah harta paling berharga dalam hidup. Namun, aku tidak hanya bisa hidup kalau seperti ini, ada yang berbeda harusnya aku dapatkan.

‘Sudah lama banget mas Bram gak sentuh aku, bahkan ladang ini sudah kekeringan,’ kataku dalam hati.

Bersambung …

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel