2. Gempuran Burung Mu
Sherina POV
[Hallo … udah di mana nih, katanya lagi mau ngajak curhat. Apa bener udah di tempat biasa?] tanya seorang sahabat yang telah lama pergi, dia ada di luar negeri saat ini.
[Iya, sel, aku butuh banget teman curhat. Kamu tumbenan telpon aku? Kenapa, apakah kau lagi baik baik saja? Udah minum obat belum?] tanyaku bertubi tubi.
[Sherina … kamu kan pernah bilang sama aku, kalau kamu itu gak akan pernah merasa stres dengan rumah tangga kamu. Yang … katanya kebahagiaan itu udah di capai.]
[Udah deh jangan bahas rumah tangga aku lagi, lagi males tahu enggak. Kalai kamu cuma mau meledek aku aja, mending gak usah telepon an deh. Karena apa, aku makin bad mood tahu gak!] kataku sangat sinis.
[hmm … gitu aja ngambek kamu ya, ingat Sherina kita ini adalah teman dekat. Bahkan sempat kan, kamu menujuku suami aku. He He He … ya Udahlah itu masa lalu, kau sudah aku anggap menjadi adik kandung sendiri. BTW kamu lagi di kafe mana nih?] tanya Gisel padaku.
[Kenapa kamu tanya aku di mana, kamu kan di luar negeri gak ada juga yang bisa nyamperin aku di sini. Mending kamu baik baik aja jaga mas indra, dia itu rawan banget di tikung perempuan. Kan kamu tahu, kalau suami kamu s4ng-e an ….] setelah berkata aku tertawa cekikikan.
[Kamu ya ser, awas aja kalau ketemu akan aku tarik itu rambut kamu. He He He … btw kamu pakai baju merah kan?]
Seketika aku melihat bajuku, ternyata benar tebakan Gisel. ‘Ini manusia kenapa tahu semua sih, bahkan baju yang aku pakai pun dia tahu bener. Dia ada di mana ya, atau jangan jangan dia udah jadi makhluk halus?’ tanyaku dalam hati.
[Udah gak usah bingung gitu, aku ada di luar loh, nih aku melambai di pintu depan.]
Seketika aku menatap sejurus ke arah pintu masuk, dan Gisel benar ada di sana sambil memegang ponselnya. Tangan kanan nya juga melambai di udara, aku berdiri seraya tercengang. Ini adalah pertama kali sejak lima tahun terakhir Gisel pulang, tidak memberikan kabar apa pun terhadap aku. Ya, selama ini kami telah bermusuhan, karena aku sempat jatuh cinta pada mas indra yang tidak lain adalah suaminya.
Namun, seiring berjalannya waktu kami menjadi sangat akrab dan bersahabat. Kabarnya mas indra telah menikah lagi, tapi tak tahu kabarnya sekarang. Dengan berjalan melaju menujuku, kami bertemu di tengah ruang kafe yang sangat sering di datangi ketika masih duduk di mas SMA.
“Sheriba … aku kangen banget sama kamu, oh ya kenapa sih hobi banget nongkrong di kafe ini. Kan, ini adalah kafe pertama kali aku kenal sama mas indra?” tanya Gisel padaku.
“Aku juga kangen banget sama kamu sel, kamu mau pesan apa? Biar aku pesankan, kamu mau kopi seperti selera dulu. Dan kita akan meneguk kopi sambil tertawa?”
“Sherina … kamu gak berubah, dari dulu sampai sekarang kamu memang sangat humble padaku. Aku udah pesan minuman tadi, jauh sebelum kamu telepon aku,” kata Gisel seraya tertawa.
“Kamu ya. Bisa banget loh membuat aku jantungan, oh ya kabar anak anak kamu gimana? Apakah mereka udah pada kuliah atau masih SMA?” tanyaku lagi.
“Sherina … aku belum punya anak, hei. Mas indra itu gak bisa kasih aku anak tahu enggak. Untung aja kamu gak jadi sama dia, walau pun mas Bram itu kejam tapi dia Hyper dan top cer kan bisa kamu kasih dua putri cantik, aku sering loh spil ig mereka berdua.”
“Oh, ya, kadi kamu belum punya anak sampai sekarang? Terus, mas indra apa kabarnya kalau boleh tahu?” tanyaku lagi.
“Dia lagi kerja di amrik. Kamu tahu kan suami aku itu, gak bisa berhenti kerja sehari pun. Gimana mau punya anak coba, kalau pulang aja setahun hanya satu kali,” papar Gisel.
“Sama, suami aku juga sekarang seperti itu sel.”
“Ah, yang bener kamu? Aku gak salah dengarkan? Tapi, setahu aku mas Bram itu lelaki yang romantis, dan dia selalu menyempatkan pulang kan kalau sudah liburan?” tanya Gisel terkejut.
“360 derajat berbeda dari apa yang kau katakan sel, aku yang ng alami. Kalau saja dia seperti apa yang kau katakan, gak mungkin aku kesepian seperti ini,” ujarku sangat melas, dan Gisel pun terdiam.
Tak berapa lama seorang pelayan laki laki datang menemui kami, dia membawa sebuah minuman hangat kopi kesukaan sahabat. Dan kemudian kembali pergi lagi, kadang aku berpikir untuk mencari pengganti mas Bram. Namun, itu udah pernah aku lakukan dan akhirnya dia tahu. Mungkin di mana mana ada sahabatnya atau CCTV yang dia kirim untuk memantau gerak gerik ku selama ini.
“Aku minum dulu ya sher, kamu kalau mau ngobrol silakan sambil makan aja kita ya,” kata Gisel padaku.
“Sel, ajak aku pergi dong ke mana gitu. Yang suami aku gak tahu, karena dia punya ajudan yang ketat banget dalam menjaga aku ke liar rumah. Kamu tahu kan, suami aku itu sangat sangat apa?” Dengan kedua mata mendelik aku mengaduk kopi hangat lagi.
“Ya. Aku paham kok soal itu, kamu tenang aja ya, bentar lagi aku akan kasih kamu jalan keluar agar dapat refreshing dengan tenang tanpa ada gangguan dari siapa pun,” ujar sahabat, aku pun sangat senang mendengar itu.
“Emangnya kamu mau ajak aku ke mana sel? Aku gak percaya deh kalau kamu mau ajak aku ke sesuatu tempat yang indah,” ungkapku sembari menarik napas panjang.
“Iya kali aku mau jerumuskan sahabat sendiri, ini adalah tempat yang sangat jarang di ketahui oleh kaum adam. Di sana hanya wanita aja yang berkunjung, kalau kamu minat besok akan aku temui di rumah kamu. Tapi ingat, jangan ajak siapa pun ya?” tanya Gisel agar kami tersembunyi.
“Beres kalau itu, karena aku juga gak mungkin kan seperti janda yang gak ada belaian dari seseorang, tapi tempatnya beneran bagus kan sel?”
“Iya aku janji akan berikan kamu tempat yang bagus, tapi kamu datang ke sana pakai baju olahraga ketat ya, agar kita bisa sekalian joging dan main ke pantai,” papar sang sahabat, kemudian aku mengangguk.
Seraya mengangguk, aku pun mengiyakan apa yang di katakan olehnya. Kami sepakat kalau besok akan pergi ke sebuah tempat yang aku tidak tahu di mana, ya namanya aku terkekang oleh suami dan anak anak, wajar sajalah. Kebetulan besok aku sudah pulang kantor di waktu siang, kemungkinan masih ada waktu lah kalau sekadar ikut dengan Gisel,
Sahabat juga sudah berkata kalau dia telah beli apartemen di sekitaran kota Jakarta selatan, aku bisa ikut kapan pun datang ke rumah dia kalau sudah suntuk di rumah. Kedua putriku adalah anak yang mandiri, keduanya juga sudah bisa jaga diri dan selalu memberikan aku kabar kalau hendak pergi.
Ini adalah jalan pintas untuk aku pergi, kalau tak begini akan cepat tua di rumah terus terusan. Pembasahan kami pun tidak berhenti, Gisel bercerita banyak hal sejak pergi dan menetap di amrik. Dia berkata kalau sekarang telah memiliki kekayaan melimpah, sejak suaminya sukses di negara paman sam. Namun, mas indra tidak pernah memberikan nafkah batin pada Gisel, mungkin karena dia tidak cinta.
Akibat dari perjodohan kedua orangtua mas indra, akhirnya mereka menikah. Padahal, ketika aku melahirkan anak kedua bernama Jessica, dia pernah menghubungi aku agar datang ke amrik dan menemuinya. Namun, suami aku mas Bram tidak pernah mengizinkan kalau aku pergi ke kuar negeri dengan alasan apa pun, menjelang waktu sore arloji sudah menunjukkan kalau kedua anak anak sudah pulang sekolah.
“Sel, aku sepertinya mau pulang dulu deh. Kanaya sama Jessica pasti udah nungguin aku di rumah, kamu gak mau mampir ke rumah aku malam ini?” tanyaku menawarkan.
“Hmm … gimana ya, aku pun belum hafal banget sih daerah rumah kamu. Tapi ya Udahlah kalau kamu mengajak, lagian suami kamu gak ada kan. Aku gak mau kalau dia sampai marah marah seperti waktu itu,” ledek Gisel, bahwa dia pernah kena marah mas Bram ketika ciuman dengan pria lain di rumahku.
“Gak ada kok, mas Bram udah ke luar pulau, dia gak mungkin pulang malam ini. Okelah, kita jalan sekarang ya Beb, kamu baik mobil atau taksi?” tanyaku.
“Aku bawa mobil kok say, iya kali aku naik taksi, gak level banget, istri sultan kok naik taksi,” ujarnya membuat aku sedikit menaikkan alis.
Kami pun ke luar dari lokasi kafe, secara bersamaan kami memasuki mobil dan melaju begitu saja. Aku yang sudah mengambil ancang ancang akan balap di jalanan, kemudian di tantang oleh Gisel, kami adalah dua wanita yang gemar melakukan hal demikian kalau di jalanan. Semua itu kami lalukan sejak kami SMA, dan sampai saat ini.
Hanya membutuhkan waktu beberapa menit, akhirnya kami pun tiba di depan teras rumah. Mobil anak anakku telah sampai, Pak jarwo pun telah menunggu di gerbang depan. Ketika melihat kami datang, dia membuka gerbang dan aku masuk lebih dulu. Dengan membuka jendela samping, kami saling bertatap wajah.
“Kanaya dan Jessica udah pulang Pak?” tanyaku dengan sangat lembut.
“Udah nyah, baru aja,” jawabnya.
“Oke terima kasih Pak,” respons ku lagi sambil masuk ke dalam garasi mobil.
Sementara Gisel hanya memarkirkan sembarang mobil mahal nya berwarna merah muda itu, sudah seperti mobil produksi dari Korea selatan. Aku dapat melihat harganya, sangat mewah dan sultan sekali. Kami masuk bersamaan, dan aku melepas sepatu di depan, karena kanaya tidak suka kalau ada yang pakai sepatu ketika berada di dalam rumah.
“Mama pulang …,” teriakku dengan sangat keras.
“Mama …,” teriak Jessica, dia mendatangi ke ruang tamu sambil memeluk.
“Kamu udah pulang sayang, gimana sekolahnya tadi?” tanyaku seraya menatap tajam ke wajah putriku.
“Biasalah ma, oh ya mama dari mana kenapa gak kabari kita kalau lama pulang?” tanya Jessica, lalu kanaya juga datang menemui.
Mereka berdua pun menatap wajah Gisel sangat heran dan aneh, “kalian kenapa begitu melihatnya sayang?” tanyaku.
Bersambung …
