Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

bab 13

“Alkhamdulilah ya Alloh...” Ucapan syukur semua yang berada di ruang tamu terdengar begitu bahagia.

Zefan menegakkan tubuhnya, masih belum percaya dengan apa yang baru saja dia dengar. Seperti mimpi jika Aure benar-benar memilihnya. Ah bodoh!! Jelas dia kan harus bertanggung jawab atas perbuatannya, tapi saat ini Zefan sadar, dia yang tak pantas untuk Aure. Dia kotor sekotor-kotornya. Bahkan bacaan sholat pun dia tak tau. Akan seperti apa kehidupannya kedepan?

“Re, elo serius mau menikah sama gue?” Tanya Zefan dengan menatap serius ke Aure.

Dengan dada yang berdebar, Aure balas menatapnya. “Ya, aku serius Zef. Tapi ada syaratnya.”

Sekarang semua orang diam dan memasang pendengarannya untuk mendengar ucapan Aure.

“Apa itu nak?” tanya Wuri.

“Saya ingin Zefan menuntun saya kesurga nya Alloh. Bukankah itu tugas seorang imam?”

Wajah kedua orangtua Zefan menekuk, saling bertatapan. Zefan pun terlihat gusar dan mulai menunduk kebingungan.

“Aure,” Linxi yang menyadari perubahan pada Zefan dan kedua orangtuanya, menegur Aure. “nggak seharusnya kamu bicara begitu sayang. Jangan merasa dirimu itu paling sempurna dalam beribadah. Alloh membenci orang yang sombong seperti yang baru saja kamu katakan. Suami istri itu saling melengkapi dan saling mengingatkan satu sama lain.”

“Tak apa pak Linxi. Memang seharusnya kan begitu. Kami juga beragama islam kok. Tapi, kami sadar Zefan bahkan tidak pernah melakukan sholat wajibnya yang hanya lima waktu itu.” Sahut sean. “Kami sadar, Zefan masih sangat jauh ilmunya dibanding dengan Aure.”

Linxi menjadi canggung dan merasa tidak enak hati. “Tak apa pak Sean, selama ada niat, pasyti semua akan dimudahkan. Zefan bisa belajar, karna nggak ada kata terlambat untuk belajar lebih baik.”

“Gimana Zef?” Sean menepuk pundak anaknya.

“Iya pa, aku akan berusaha menjadi seperti yang Aure mau.” Jawab Zefan serius.

Setelah obrolan yang menegangkan, para orangtua lanjut membicarakan akhad nikah dan pesta pernikahan. Zefan mengajak Aure ngobrol di taman seperti biasa.

Duduk berjauhan, bahkan Aure tak mau menatap Zefan sedikitpun. Rasa bersalah itu jelas terlihat diwajah Zefan.

“Re, harusnya gue seneng karna elo mau nikah sama gue. Tapi, gue tau apa alasan elo berubah pikiran. Sekarang gue nggak ngerti harus bersikap gimana. Gue baru sadar, kebejatan gue ini nggak pantas disandingkan sama elo yang ahli surga. Tapi jika gue tolak, itu sama aja gue lari dari tanggung jawab.” Zefan hembusin nafas kasarnya. “Maafin gue Re...”

Hati Aure kembali perih saat mengingat pernikahannya yang batal, bahkan dia sudah sangat malu bersanding dengan Evan yang sudah pasti lebih baik dari Zefan. Memejamkan mata sesaat, mengatur nafas dan dada yang mulai terasa sesak.

“Semua sudah terjadi. Rasanya aku ingin memakimu, menyalahkanmu bahkan membunuhmu.” Keluarlah bulir bening yang Aure tahan sedari tadi. “Tapi itu tidak akan pernah merubah kenyataan. Aku mengabulkan keinginanmu, bukankah memang ini tujuanmu melakukan itu padaku?”

“Enggak Re, gue lakuin itu dibawah sadar. Gue mabuk, gue marah karna elo nolak gue, lebih tepatnya karna elo lebih milih lelaki lain.”

“Karna dia lebih dari kamu!! Dia lebih bisa menjadi imamku dari pada kamu!!” Marah Aure. “Apa kamu nggak sadar sebrengsek apa dirimu??!!” wajahnya memerah karna marah, bahkan air mata menghiasi pipi putihnya.

“Jadi, kenapa lo batalin pernikahan yang tinggal didepan mata??” pertanyaan bodoh dari Zefan yang terlontar begitu saja.

Aure tertawa menyeringai. “Kamu pikir setelah apa yang kamu lakukan sama aku, aku tak merasa malu berdiri didepan orang-orang? Sesuatu yang selalu aku jaga dengan baik, yang bisa aku banggakan. Hilang dalam sekejap, dan itu karna kamu!!! Aku nggak mungkin membiarkan om Evan nikahin aku, sedangkan aku tau kamu berkeliaran bebas tanpa menanggung kesalahan apapun. Aku nggak serendah itu.”

Zefan kembali mendegus kasar. “Maafin gue Re, maaf.”

“Simpan maafmu, aku muak mendengarnya.” Aure beranjak, melangkah sedikit dan kembali menoleh. “Satu lagi, setelah kita menikah, aku nggak mau hidup serumah sama orangtua kamu. Karna aku nggak mau mereka tau kejanggalan diantara kita.”

Zefan hanya menatapnya penuh penyesalan. Bahkan dia sudah tak bisa lagi melihat Aure yang lembut dan selalu bersikap manis. Dia memandangi punggung Aure yang mulai menjauh menaiki tangga dan masuk kekamarnya.

~~

Tiga hari berlalu, akhad nikah Aure dan Zefan diucapkan di KUA, seperti permintaan Aure. Aure menolak pesta, karna ini bukan pernikahan yang dia impikan.

Sekarang dia sedang berkemas dikamarnya, menutup koper besar berisi pakaian dan beberapa buku kuliahnya. Duduk didepan kaca riasnya. Menatap kembarannya dicermin. Air mulai menetes dari matanya.

Beberapa jam yang lalu, dia resmi menjadi seorang istri. Dia tau apa saja kewajiban seorang istri, tapi karna rasa bencinya pada Zefan, dia bersumpah akan membuat lelaki itu menyesal telah menikah dengannya. Aure meraih ponsel yang tergeletak diatas meja, kembali membuka galeri dan menatap foto Evan.

“Maafkan aku mas, aku sangat mencintaimu.” Dia peluk ponsel itu dan mulai terisak kembali.

Terasa sebuah sentuhan dibahu, umminya berdiri dibelakang. “Sayang, ummi nggak tau apa yang sebenarnya ada dipikiran kamu. Kenapa kamu menolak ajakan Evan untuk menikah, dan malah menerima Zefan. Padahal Evan berulang kali bilang, dia bersedia menerima keadaanmu. Kamu juga mencintainya.”

Aure mengenggam tangan ummi. “Doain aku ya ummi, semoga aku nggak salah pilih suami.”

“Kamu nggak mau cerita sama ummi nak?” Zeta mendudukkan pantatnya ditepi ranjang.

Aure menggeleng, jika keluarganya tau kalo Zefan pelakunya pasti Zefan sudah dipukul habis-habisan sama Ayah. “Suatu saat aku akan cerita, tapi bukan sekarang.”

“Kamu tau Re, kamu sudah menorehkan luka di hati Evan nak.”

Matanya kembali berair. Ya, dia pun terluka. Tapi sekali lagi, dia tidak mau membiarkan Zefan lari dari tanggung jawabnya, kenyataannya, Zefanlah pemilik kehormatan yang sesungguhnya. Terlepas dari itu, jawaban dari sholatnya adalah Zefan, bukan Evan. Bukankah itu artinya Alloh memang meggariskan semua ini?

“Aure akan meminta maaf secara langsung.”

Linxi masuk kekamar, dia ikutan duduk disamping ummi Zeta.

“Zefan sudah dibawah nungguin kamu.” Katanya sambil natap sang putri. Linxi mengelap ujung matanya.

“Ayah, kenapa nangis?” Aure berdiri dan mendekati ayahnya.

“Ayah masih belum percaya, ayah sudah tak punya hak atas kamu. Bahkan kamu memilih pergi mengikuti suamimu. Ayah tak bisa lagi melihatmu setiap hari.” Linxi memeluk Aure. “Ayah sangat menyayangimu.” Zeta mengelus punggung suaminya.

“Aure lebih sayang sama Ayah. Makasih udah membesarkanku, mengenalkan aku pada dunia yang kejam ini. Aku bahagia menjadi anakmu Yah. Ayah tetap yang pertama dihatiku.”

Lama mereka berpelukan melepas kepergian Aure. Setelah kurang lebih satu jam,Aure turun digandeng ummi dan ayah membawakan koper. Zefan langsung berdiri dan menerima koper dari tangan ayah mertuanya.

“Zef, Ayah titip Aure ya. Tolong jaga dia, bahagiakan dia. Dia bukan anak yang manja, tapi ayah ingin kamu menuruti semua yang membuatnya bahagia. Sayangi dan cintailah dia seperti kami menyayanginya. Ayah percayakan dia padamu.” Wejangan dari seorang Ayah pada menantu.

Zefan merasakan detak jantung yang tak karuan. Jujur, ini masih terlalu dini untuk dia menjadi seorang lelaki bertanggung jawab. “Aku akan berusaha Yah. Aku akan memperlakukan Aure seperti Ayah memperlakukannya. Aku mencintai Aure.” Jawabnya dengan yakin.

Aure sempat terperangah mendengar jawaban dari Zefan, tapi dia nggak peduli. Dia menjabat tangan ummi, memeluk dan menciumnya.

“Sayang, ummi mohon, jangan pernah tinggalkan sholat wajibmu ya. Adukan semua pada yang kuasa jika terasa sesak dan berat.” Nasehat dari ummi. Lalu ummi menatap Zefan. “Nak, ummi mohon. Ajak Aure kembali ke jalannya. Bimbing dia untuk tidak meninggalkan sholatnya.”

Zefan kebingungan mau jawab bagaimana. Tak mungkin melucu untuk saat ini. Akhirnya dia ngangguk. “Iya umni, aku akan berusaha.”

Setelah berpelukan sama Ayahnya Aure masuk kedalam mobil bersama Zefan.

“Assalamualaikum Ayah, Ummi. Sampaikan pamitku pada Reza.” Pamit aure. Dia elap pipinya yang basah.

“Waalaikumsalam sayang. Kalian hati-hati ya.” Sahut Linxi.

“Nanti ummi sampaikan salammu untuk Reza.” Timpal zeta.

Baru saja Zefan akan menjalankan mobil, mobil Evan memasuki plataran rumah Aure. Segera keluar dari mobil dan mendekati Aure yang juga menatapnya.

“Bisa minta waktu sebentar?” tanya Evan menatap Zefan. Dia meminta ijin untuk bicara pada Aure.

Zefan menatap istrinya dan mengangguk.

Jantung Aure mulai berdebar melihat guratan kecewa diwajah Evan. Tapi dia berusaha untuk biasa saja.

“kita ngobrol ditaman samping aja om.” Tanpa menunggu kata yang terucap dari Evan, dia berjalan menjauh.

Evan menghembuskan nafas kasarnya. Ada perasaan yang amat perih saat mendengar panggilan Aure mulai berubah seperti awal bertemu dulu. Evan mengekor dibelakang.

“om mau ngomong apa?” tanya Aure.

Mereka sekarang sudah duduk berhadapan dimeja taman.

“Dek, aku nggak ngerti kenapa kamu lakuin semua ini. Bukankah kita saling mencintai?”

Sakit, sangat sakit saat mendengar kata-kata cinta itu. Perasaan yang sebenarnya juga dia rasa. Tapi, ini nggak akan adil untuk Evan. Ini bukan perbuatannya.

“Kenapa kamu menyiksa diri? Apa kamu sudah nggak mencintai aku dek? Apa aku harus seperti Zefan? Apa aku harus tidur dengan wanita lain agar kita berstatus sama? Sulitkah memilihku?” mata Evan berair.

Aure menunduk, menyembunyikan kesedihannya. “Maafkan aku om. Maaf.” Ucapnya disela isak tangis.

“Kamu sekarang sudah menjadi seorang istri. Akan sangat berdosa jika aku selalu mencintai dan merindukanmu, tapi sungguh. Dihatiku yang terdalam hanya ada kamu dek. Bahkan aku nggak yakin mampu melewati hari-hariku dengan biasa setelah ini.” Evan benar-benar sudah frustasi. Kekecewaan, kesedihan telah menyatu di hatinya.

“Ini terdengar menjijikkan om. Saat aku sudah sah jadi seorang istri, tapi aku masih mencintaimu juga. Bahkan dipikiranku hanya ada kamu. Ini nggak logis.” Aure mulai mengangkat wajahnya menatap Evan. “Jika kita memang berjodoh, tuhan pasti akan mempertemukan kita lagi om. Walau dengan status yang berbeda.” Aure berdiri, menyerahkan paperbag diatas meja. “Ini aku kembalikan, terimakasih untuk beberapa bulan yang lalu. Assalamualaikum.”

Aure berpaling dan mulai melangkah meninggalkan Evan.

“Dek,” panggilan yang menghentikan langkah aure. “Aku akan selalu mengingatmu didalam doaku. Aku akan lakukan hal yang sama seperti 6 tahun yang lalu.”

Air mata Aure bertambah deras. “Makasih om. Aku akan mendoakan kebahagiaanmu. Assalamualaikum.” Aure melangkah menjauh dengan cepat.

“Waalaikumsalam.”

Evan meraih paperbag diatas meja. Dua gamis batik dan kotak bludru warna merah berisi cincin titanium yang pernah evan kasih tempo itu. Bahkan cincin miliknya masih melingkar dijari kelingking. Evan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Menangis terisak.

Katakan dia cengeng atau lebai atau apalah. Tapi sungguh saat ini dia berada dititik terendah. Ya, ini kedua kali dia kehilangan semangat hidupnya. Dulu wanitanya selingkuh dan Evan yang meninggalkannya, dan kali ini dia yang ditinggalkan wanitanya karna suatu musibah.

**

Aure masuk ke mobil dengan masih terisak. Kedua orangtuanya tau itu. Tanpa menunggu lagi, Zefan segera menjalankan mobil meninggalkan rumah.

YaAlloh, kenapa rasanya sesakit ini. Om Evan, maafkan aku, maafkan aku. Aku juga sangat mencintaimu om.

Tak henti Aure menangis didalam mobil. Ada rasa perih yang menyayat dihati Zefan. Semua karna dia, dia yang sudah memisahkan dua manusia yang saling mencintai ini. Ingin sekali Zefan meninju kepalanya sampai otaknya bisa waras. Menyalahkan diri sendiri itu lebih sakit dari pada menyalahkan orang lain. Dan itu yang saat ini sedang Zefan alami.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel