bab 12
Sehari semalam Aure masih belum sadar. Dia kehabisan banyak darah dan tubuhnya kekurangan cairan. Evan setia menemani hingga detik ini dia tetap berada di Rumah sakit.
Pagi ini Zeta mengelap wajah dan tubuh Aure. Selesai mengelap anaknya, dia kembali duduk menunggui. Perlahan Aure mulai membuka matanya.
Terasa sangat berat dan perih saat mata berhasil dia buka. Dia melihat umminya duduk menunduk dengan tangisan.
“Ummi,” ucapnya lirih.
Zeta mendongakkan kepala menatap Aure yang sangat sayu. “Sayang, kamu sudah sadar nak.” Zeta mengelus kening Aure.
Dengan cepat Zeta memencet tombol yang berada diatas kepala Aure.
Aure menatap pergelangan tangannya yang sempat dia iris dengan pecahan kaca. Pergelangannya terbalut kain kasa dan ada bekas merah sedikit darah. Kembali ujung matanya berair.
“Kenapa kalian bawa aku kesini?? Kenapa aku nggak mati? Hiks hiks hisk.... Aku nggak kuat hadapi semua ini ummi. Tuhan jahat sama aku.”
“Aure, jangan gini nak. Istigfar sayang, kamu nggak boleh ngomong begitu.” Zeta ikut menangis melihat Aure seperti ini. “Tuhan pasti punya rencana lain. Dia nggak mungkin ngasih ujian yang nggak bisa umatnya lewati.”
Evan segera berdiri saat melihat dokter dan suster berjalan menuju ruangan Aure. Dia hanya bisa mengawasi lewat kaca yang ada diatas pintu ruang rawat.
“Bagaimana keadaannya dok?” tanya Evan saat sang dokter sudah keluar dari ruangan.
“Dia sudah membaik. Tapi masih dalam lingkup kesedihan. Butuh penyemangat dari orang-orang terdekat supaya terhindar dari depresi.” Tutur dokter.
Evan mengangguk mengerti. “Terimakasih dok.”
“Saya permisi ya.”
Evan hanya mengangguk, kembali dia lihat wanita yang sangat ia cintai itu. Aure masih menangis tanpa suara. Berkali-kali Evan hembuskan nafas kesalnya, pikirannya kacau, hatinya tak karuan.
YaAlloh, dua kali aku hampir menikah. Tapi kenapa semuanya tak berakhir indah. Apa salahku hingga sangat sulit untuk menghalalkan wanita yang aku cintai. Kenapa Kau mengujiku seperti ini Tuhan!!! Apa salahku!!!
Evan menunduk, menangis dalam diam.
Cukup lama Evan diam dalam tangisnya. Hingga seseorang menepuk pundaknya. Linxi berdiri didepannya, kemudian duduk dikursi besi samping Evan.
“Maafkan aku Van, aku gagal menjaga gadisku sebelum menyerahkannya padamu.” Wajah Linxi penuh kekecewaan. Sebagai seorang ayah, pasti sangat terluka dan tak lagi memiliki harga diri. Anak yang paling dia jaga, paling dia sayang, kehormatannya sudah diregut orang.
“Kamu nggak salah Lin. Semua sudah takdir, aku pun merasa sulit menerima semua ini. Sungguh Lin, aku sangat mencintai Aure. Seperti apapun keadaannya, aku ingin tetap menikahinya. Aku bersedia menunggu sampai Aure siap.” Evan meyakinkan Linxi. Matanya masih saja berair.
Linxi menatap wajah Evan. Mencari keseriusan dari cara bicaranya. Dia sangat berterimakasih pada Alloh karna dalam keadaan Aure yang seperti ini, masih ada lelaki sebaik Evan yang sangat mencintainya. Jika saja Aure mau, hari ini juga Linxi ingin menikahkan mereka. Dengan mata yang basah, dia peluk lelaki disampingnya itu.
“Makasih Van, kamu sudah mencintai putriku sedalam ini. Aku hargai itu. Tapi semua keputusan ada di Aure. Aku tak bisa memutuskan sesuatu yang berhubungan dengan masa depan panjangnya. Aku ingin dia bahagia.”
“Ya, aku tau.”
Lama mereka sama-sama diam hingga ponsel Evan bergetar. Ada panggilan masuk dari Aksa, tentang pekerjaan di kantor. Evan pergi meninggalkan rumah sakit.
**
Sehabis ashar, keluarga Zefan datang menjenguk Aure. Tapi Zefan tak berani masuk. Dia tau Aure tak mau melihatnya.
“Assalamualaikum Aure.” Sapa Wuri, mama Zefan.
Seketika, Aure langsung terbelalak, tubuhnya gemetar karna takut Zefan juga ada disini.
“Waalaikumsalam mbak.” Zeta yang menjawab. Dia berdiri, menjabat tangan dan cium pipi kiri kanan.
“Gimana keadaan kamu Re?” tanya Wuri dengan sangat peduli.
Aure tak menjawab. Dia hanya diam dan terus menatap pintu yang tertutup.
“Aure,” Zeta mengguncang pundak Aure. “Ditanya sama tante Wuri lho.”
Aure gelagapan. “Udah mendingan tant.” Jawabnya ngan gugup.
“Maaf ya Mbak, Aure habis minum obat tadi. Munggin udah ada efeknya, dia sedikit ngantuk.” Zeta mencari alasan.
“Oh, gitu. Memang Aure sakit apa sih?” tanya Wuri penasaran.
“Kecapean dan kurang darah.” Zeta lagi yang menjawabnya.
“Ya udah, dimakan ya kue dan buahnya.” Wuri meletakkan satu kotak kue brownis dan sekranjang buah. “Cepat sembuh ya sayang.”
“Iya tant, makasih.”
“Tante pulang dulu. Kamu istirahat.”
Zeta mengantar Wuri keluar dari ruangan.
~~
Dua minggu berlalu, Aure masih mengurung diri dikamar. Dia masih enggan melakukan apapun. Tidak mau bertemu siapapun termasuk Ranisya. Dia benar-benar berada dititik terbawahnya. Ponselnya dimode pesawat sehingga tidak akan ada pesan yang masuk. Hanya terus menatap foto Evan yang menurutnya sangat tampan dan menggemaskan.
“Mas, kenapa takdir kita seperti ini. Aku sangat mencintaimu.” Dia peluk ponsel itu, lalu kembali tidur disiang hari.
Zeta menangis setiap hari melihat putrinya menjadi depresi. Aure tak mau lagi melakukan sholat lima waktu. Dia benar-benar marah sama Alloh. Dia menyalahkan Alloh atas semua kejadian ini. Makan pun harus dipaksa, jika tidak, dia tak akan mau makan sedikitpun.
Pagi hari sebelum subuh dan setelah melakukan sholat malam Zeta masuk kekamar Aure. Membelai lembut pipi Aure yang dulu sangat cubby, namun kali ini terlihat tirus.
“Sayang,” air mata Zeta menetes. “Ummi tau ini berat. Tapi ummi nggak tega lihat kamu terpuruk terlalu lama begini nak.”
Perlahan Aure mengerjapkan mata. “Ummi.”
Dia bangun dan duduk menghadap umminya. Mengusap pipi Zeta yang basah. “ummi kenapa nangis?”
“Aure, kamu harus bangkit nak. Didepan sana masih banyak kebahagiaan yang menantimu. Jadikan semua ini pelajaran dihidupmu. Jangan terlalu lama larut dalam kesedihan. Setan pasti dengan bangga menertawaimu.”
“Ummi,” Aure memeluk umminya. “Aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Semua orang akan menatapku jijik dan kotor. Aku sudah tak lagi seperti dulu.”
“Sayang, itu hanya perasaanmu saja. Mereka tidak tau atas apa yang sudah kamu alami. Ikhlaskan semua dengan perlahan nak. Kamu nggak bisa seperti ini terus. Jalanmu masih panjang.” Zeta mengelus punggung Aure dengan pelan.
“Aku mulai takut berada diluar rumah ummi. Aku takut ke kampus.” Dia usap kasar pipi yang mulai basah.
“Reza akan mengantar jemput kamu. Fano juga bersedia menemanimu saat dia ada waktu senggang.”
Aure memeluk umminya lagi. “Aku masih takut ummi.”
“Pelan-pelan, sayang.”
**
Pukul 9.00am
Elis, orang tua Evan bertamu kerumah Aure tanpa Evan. Karna hari ini Evan ada jadwal kerja full.
“Kami sudah tau apa yang menimpa nak Aure. Semua itu musibah nak, memang mengikhlaskan tak semudah mengucapkannya. Tapi jangan terlalu lama berlarut dalam kesedihan ya. Masih banyak yang membutuhkanmu sayang.” Elis ikut menasehati Aure.
Aure tersenyum tulus, bahkan dia nyaman dengan ibuk Evan. “Makasih Buk.”
“Evan sangat mencintai kamu nak. Akhir-akhir ini dia lebih sering murung. Dia seperti kehilangan semangat hidupnya. Persis seperti kejadian 10 tahun yang lalu.” Elis memberi jeda. “Ibuk harap kamu mau menghubungi Evan ya. Karna Evan sangat membutuhkan kamu.”
Aure diam tak bergeming, dia menunduk, memainkan jari-jarinya. Hingga Zeta menyentuh lengan tangannya. Memberanikan diri menatap ibuk Evan. “Maafkan saya buk. Saya sudah nggak pantas berada disamping om Evan. Saya sudah nggak kaya’ dulu lagi. Om Evan berhak dapat yang lebih baik dari saya. Maaf saya nggak bisa melanjutkan hubungan serius dengan om Evan. Saya sadar diri.”
Elis tercengang mendengar kata yang keluar dari mulut Aure. “Nak.....”
“Maafkan saya buk. Keputusan saya sudah bulat. Saya akan berteman dengan om Evan. Nggak lebih.” Aure beranjak, sedikit membungkukkan badannya. “saya kekamar dulu. Assalamualaikum.” Tanpa menunggu tanggapan dari ibuk Evan, Aure segera berjalan masuk kedalam.
Elis hanya bisa diam terkejut dengan kata-kata Aure, menatap punggung gadis yang sangat dicintai anaknya itu.
“maafkan saya buk Elis. Saya sudah berkali-kali membujuknya, tapi hasilnya sama. Dia selalu mengatakan hal itu.” Ucap zeta. Dia melihat ada guratan kecewa dari wajah Elis.
“Bisa tolong bujuk dia kan buk Zeta. Karna saya yakin, Evan dan Aure sama-sama memiliki perasaan cinta. Saya sangat tersiksa melihat Evan yang selalu murung dan jadi lebih pendiam setiap harinya.”
“InsyaAlloh buk, saya akan berusaha. Alloh yang akan menentukan semuanya.”
Elis berkali-kali menghembuskan nafas kasarnya. Meraih gelas teh hangat didepannya, meminumnya sedikit. Lalu mulai menenteng tasnya. “Saya permisi pulang ya buk Zeta.”
Zeta beranjak dan menjabat tangan Elis. “Iya buk, maafkan anak saya ya.”
“Tak masalah Buk, semoga keadaan Aure cepat membaik. Assalamualaikum.”
“Amin ya Alloh. Waalaikumsalam.”
Seperginya Elis, Zeta kembali kedapur untuk membuat makan malam. Sebentar lagi suaminya pulang, Reza juga pulang dari futsal.
Pukul 7 malam seusai sholat isya’.
Keluarga Zefan datang bertamu.
“Pa, pulang yuk. Zefan nggak enak sama Aure. Dia lagi sakit pa.” Bujuk zefan. Pasalnya sejak dari rumah, Zefan udah menolak untuk bertandang kerumah Aure. Tapi kedua orangtuanya memaksa karna ingin cepat mendapat jawaban dari lamarannya kemarin.
Aure keluar bersama Reza, mati-matian Reza membujuk kakaknya agar mau menemui tamunya. Jantungnya berdegup kencang saat melihat Zefan duduk menatapnya. Zefan pun merasakan hal yang sama. Padahal sebelum kejadian itu dia tak pernah merasakan apapun. Mungkin ini yang disebut trauma dan ketakutan. Bukan jatuh cinta yang menimbulkan ada banyak kupu-kupu dan bunga-bunga mekar. Melainkan menimbulkan sengatan listrik yang mematikan.
“Aure, sudah sembuh nak?” tanya Wuri dengan ramah.
Aure berusaha mengangkat sedikit sudut bibirnya. “Sudah tant.”
“Ini, ayo diminum dulu.” Zeta meletakkan nampan berisi beberapa gelas minuman.
“Iya buk Zeta.” Sean menanggapi.
Semua mengambil gelas minum dan meminumnya sedikit. Sedari datang, Zefan terus menundukkan kepalanya. Dia tidak berani menatap wajah Aure, apalagi Ayahnya Aure. Walau Ayahnya tak tau, tapi dia merasa sangat ketakutan dengan yang sudah dia lakukan.
“Langsung saja ya pak Linxi. Kedatangan kami kemari, karna kami ingin menanyakan niatan baik yang dulu pernah kami ungkapkan.” Sean memulai bicara.
Linxi menghembuskan nafasnya pelan. Lalu menatap Aure. “Sebelumnya, saya ingin menjelaskan sesuatu terlebih dahulu. Saya nggak mau keluarga pak Sean merasa terbohongi nantinya.”
Sean dan Wuri mengerutkan keningnya. Mereka fokus menatap setiap kata yang akan keluar dari mulut Linxi.
“Beberapa minggu yang lalu, ada seseorang yang sudah merengut kehormatan putri saya. Aure menjadi korban pemerkosaan. Bahkan kita tidak tau siapa pelakunya.” Jelas Linxi. Aure hanya menunduk, sedangkan Zeta menggelus punggung Aure untuk sedikit menenangkan putrinya.
“Astagfirlloh....” ucap Sean dan Wuri bersamaan.
“Jika nak Zefan dan keluarga berubah pikiran setelah ini, kami tidak masalah. Karna kebahagiaan Aure itu hal yang utama untuk kami.” Lanjut linxi.
“Jujur pak Linxi, kami sangat terkejut. Bejat sekali lelaki yang sudah merusak masa depan gadis baik seperti Aure ini. Semoga lelaki itu segera mendapat hidayah.” Tutur sean dengan sangat kesal. Masih terlihat ada guratan terkejut diwajahnya. “Perawan dan tidaknya, buat kami sangat tak bermasalah pak.” Sean menepuk paha Zefan yang sedari tadi menunduk. “Gimana Zef? Kamu nggak mempermasalahkannya kan?”
Zefan mengangkat kepalanya, dia terlihat sangat gugup. “Iya pa. Nggak masalah.” Sekilas dia melirik Aure yang hanya menunduk.
Aure mengingat mimpinya beberapa kali belakangan ini. Dimimpinya terlihat Zefan yang duduk menemani dirinya disebuah tempat yang asing. Teman bercerita dan makan bersama, bahkan dia terlihat sangat terbiasa dan tak merasa canggung sedikitpun.
Diam menunduk dan mulai berfikir, mungkin ini jawaban dari sholat istikhoroh waktu itu. Dan lagi, Zefan harus tanggung jawab atas semua yang sudah dia perbuat. Namun disisi lain, dia sama sekali tak mencintainya. Apakah kebahagiaan akan berpihak padanya? Bingung lagi.
Aure memejamkan mata sejenak. Mulai berfikir lagi.
“Bagaimana sayang? Apa kamu sudah punya jawaban untuk Zefan?” ummi bertanya dengan pelan.
Aure masih diam, cukup lama semua diam menanti jawaban darinya. 5 menit, 10 menit, 15 menit dan...
“Sayang ....” Linxi ikutan berdebar menanti jawaban Aure.
Aure mulai mengangkat kepalanya. “Iya Ayah, aku bersedia menikah dengan Zefan.”
