bab 11
“Maafin gue Re. Gue khilaf, gue tadi mabuk.” Ucap Zefan penuh penyesalan. “Maafin gue Re,” mata Zefan kini berkaca-kaca melihat gadis yang dia cintai telah hancur.
Aure memeluk Ranisya dengan erat, menangis terisak dengan tubuh yang gemetar hebat. Ada beberapa cupangan yang terlihat di lehernya. Kini hatinya perih, batinnya sudah tersiksa. Bayangan wajah Zefan dan sentuhan brutalnya terlintas di kepala. Bagian intim yang berhasil Zefan jebol terasa sangat perih dan sakit. Tapi sakitnya tak sebanding dengan hati dan batinnya.
Dua hari lagi, ya dua hari lagi dia akan menikah. Dan sore ini, statusnya resmi bukan lagi perawan. Pedih.
Ranisya menangis melihat saudaranya telah diperkosa. Dia bisa merasakan seperti apa hancurnya Aure saat ini.
“Pergi....hiks hiks...peerr.....giii.....ak...aku....nggaaakk ma....mau lihaa.....ttt ka....mu. ka....mu....jaahaat hiks hiks.” Lirih Aure berucap dalam tangisnya.
“Re,....” ada air yang menetes dari ujung matanya. Dia bisa rasain betapa terlukanya Aure saat ini. Tubuhnya kembali luruh dilantai. Dipeganggi kepala dengan kedua tangan. Dia jambak rambutnya dengan sangat frustasi. “maafin gue Tuhan.”
Menyesal. Tapi kini itu sangat tak berarti. Penyesalannya tak bisa mengembalikan keprawanan dan batin Aure.
Ranisya melepaskan pelukan Aure. Dia usap matanya yang basah dengan kasar. Dia berjalan mendekati Zefan.
“Kamu tau!! Dua hari lagi Aure akan menikah. Dan kamu sudah menimbulkan noda dihidup Aure. Kamu jahat banget Zefan!!! Aku nggak pernah nyangka kamu adalah lelaki jahat!!” Ranisya berhasil mengeluarkan uneg-uneg dengan memaki Zefan.
Mendengar makian Ranisya tangis Aure makin kencang. Segera Ranisya berlari dan kembali memeluk saudaranya. “Tenang Re, tenang. Ada aku, kita hadapi ini sama-sama.” Ranisya beralih menatap Willy yang berdiri mematung melihat adegan didepannya. “Mas aku minta tolong, bawa lelaki jahat itu pergi dari sini.” Pintanya pada Willy.
Tanpa menjawab, Willy menepuk pundak Zefan. Mengambil tas ransel milik Zefan yang tergeletak dilantai dan menyeret Zefan keluar dari ruangan itu.
“Re......maafin gue Re.” Dengan tangisnya, Zefan masih berusaha menggapai Aure untuk meminta maaf.
“Ayo Anjing!!” Willy merasa sangat kecewa sama sahabatnya ini. Mereka sudah berteman sejak kecil, dan baru kali ini melihat Zefan berbuat biadap.
Ponsel Aure tak henti berkedip, tertera nama Evan memanggil dilayar utama.
“Re, om Evan telfon.” Ucap Ranisya.
Aure masih ada dalam pelukannya, dia tak bergeming.
“pasti dia udah ada didepan Re. Kasihan.”
Akhirnya Aure melepaskan pelukan. Dia mengusap ingus dan matanya yang basah. Mengatur nafasnya lebih dulu agar lebih tenang, walau itu sangat sulit. Meraih ponsel dan mengangkat telfon.
“Assalamualaikum mas,” menyebut panggilan ‘mas’ yang baru saja beberapa jam yang lalu dia bicarakan dengan Evan membuat matanya kembali berair.
“Waalaikumsalam dek. Kamu angkat telfonnya kok lama banget. Ini aku udah didepan dek.”
Kembali Aure terisak. “Maaf mas, aku udah pulang bareng Ranisya. Maaf ya.”
“Dek, kamu nangis?” tanya Evan dengan khawatirnya.
Aure kembali terisak. “Mas, untuk sementara maaf kita jangan bertemu dulu. Aku ingin tenang.”
“Tapi kenapa Dek?”
“Aku akan jelaskan saat sudah siap. Assalamualaikum.”
Tanpa menunggu jawaban dari Evan, segera Aure menutup telfonnya. Dia mengirim chat pada Umminya.
[Ummi, aku nginap di pesantren malam ini.]
Setelah pesan itu terkirim kembali dia letakkan ponsel dan terisak.
Dadanya terasa begitu sesak. Rasa bahagia itu hampir sempurna, bahkan baru beberapa hari yang lalu. Masih terbayang kata-kata orangtua Evan saat memintanya menikah dengan sang putra.
“Re, udah ya nangisnya. Kamu pakai baju dulu.” Ranisya mengambil baju dan dalaman yang ada dilantai. Baju bagian bahunya sobek karna Zefan membuka baju Aure dengan paksa.
“Aku kotor Sya. Aku kotor....hiks hiks hiks.... aku nggak pantas buat om Evan.”
“Jangan ngomong gitu Re. Sekarang kamu pakai baju dulu. Kita pulang, dan kita cari solusi sama-sama.” Ranisya mengelus punggung Aure yang masih polos.
Aure mengambil baju, mulai memakainya. Menyatukan rambut yang sangat berantakan, dan memakai kembali jilbabnya.
“Ayo aku bantu jalan. Aku udah pesen taxol.”
Dengan dipapah Ranisya, Aure keluar dari ruang kesehatan itu. Suasana luar sudah gelap, karna ini sudah pukul 7 malam. Menuruni tangga dengan sangat hati-hati karna selangkangannya sangat sakit. Tak hentinya mata Aure menangis. Hingga menetes dilantai marmer.
~~
Sesampainya dipesantren Aure langsung masuk kekamar Ranisya. Bahkan dia belum bertemu Abi dan Bundanya Ranisya.
“Re, kamu mandi dulu ya. Nanti pakai bajuku.” Ranisya mengambilkan baju ganti.
Aure hanya nurut, mirip patung jalan. Dia ambil baju ganti ditangan Ranisya, lalu keluar kamar menuju kamar mandi yang ada disebelah kiri.
Kembali terisak saat melihat ada dua cupangan di bagian dadanya, dua cupangan lagi dibagian leher. Wajah brutal Zefan terlintas dibenaknya. Kejadian itu berputar seperti kaset yang baru saja masuk dalam VCD.
Dia menghidupkan shower dan mengguyur tubuhnya yang terasa remuk.
YaAlloh, apa salah yang sudah kulakukan hingga Engkau memberiku cobaan seperti ini. Ucapnya dalam hati.
Aure mengusap tanda merah yang ada didadanya, dia menggosok bekas kissmark itu dengan kasar. Berharap tanda itu segera hilang, namun sia-sia. Bahkan lehernya sampai berdarah terkena kukunya sendiri. Perih, tapi tak sebanding dengan hatinya yang lebih sakit lagi.
Tok...tok...tok
Pintu kamar mandi diketuk dari luar. Aure tetap tak bergeming.
“Re, kamu baik-baik aja kan?” suara Ranisya terdengar diluar.
Tak ada jawaban, hanya terdengar suara isakan tangis saja.
Satu jam lebih 15 menit, Aure keluar dari kamar mandi, wajahnya pucat, bibirnya membiru. Dengan sangat khawatir Ranisya menghampiri Aure. Memapahnya untuk kembali kekamar.
“Re, jangan nyiksa diri kek gini.” Kembali ranisya memeluk saudaranya.
“Tinggalin aku Sya. Aku pengen sendiri. Jangan ganggu aku dulu.”
“Tapi kamu sedang butuh teman Re.” Ranisya lebih khawatir jika meninggalkan Aure sendirian didalam kamar.
Aure menggeleng. “Aku pengen sendiri dulu.”
Dengan berat Ranisya meninggalkan Aure didalam kamarnya sendirian. Ternyata diluar kamar sudah ada Bella (kakaknya) dan Citra (bundanya). Mereka berdua menatap Ranisya meminta penjelasan atas kejadian yang menimpa Aure.
Diruang tamu, Kyai Fata, Fano, Bella dan Citra berkumpul. Tatapan mereka semua tertuju pada Ranisya.
“Sya, apa yang terjadi sama Aure? Dia kenapa?” tanya Abinya.
Sebelum menjawab, Ranisya berkali-kali mengusap pipinya yang basah. “Aure......dia....dia diperkosa.”
Semua mata melotot mendengar kata yang keluar dengan lirih itu.
“Kak, kakak serius?” tanya Fano yang sangat tak percaya.
Ranisya mengangguk dan terus menangis. “Iya, dia kemarin sore diperkosa. Kakak yang menemukannya.”
“Siapa yang ngelakuin ini?” tanya Bella.
Ranisya menggeleng. “Aku nggak tau kak.”
Dia memilih bungkam, lebih baik biar Aure sendiri yang mengatakan sesungguhnya. Dia tak mau terlalu ikut campur. Apalagi sebentar lagi Aure akan menikah.
Kyai Fata segera mengambil ponsel dan menelfon Linxi, Ayah Aure.
Tak perlu menunggu lama, Linxi, Zeta dan Reza sampai di pesantren. Dengan tergopoh-gopoh mereka bertiga masuk ke dalem(rumah utama).
“Assalamualaikum Aure.” Sapa Zeta saat memasuki kamar Ranisya.
Terlihat Aure yang duduk di lantai samping ranjang dengan rambut yang awut-awutan, terlihat dengan jelas banyak cakaran di lehernya.
“Astagfirlloh Aure, kamu kenapa jadi begini sayang.” Zeta meraih anak gadisnya dalam pelukan.
“Ummi,” Aure kembali menangis.
Linxi mengelus punggung Aure. “Siapa yang berani ngelakuin ini nak? Dia harus mendapat balasan yang setimpal.”
“Siapa yang udah lakuin ini sama kakak?” timpal Reza, dia jongkok didepan kakaknya.
Aure menggeleng, dia hanya terus terisak.
~~
Semalam Aure dibawa pulang kerumah orangtuanya. Dia tidak jadi nginap di pesantren. Dan selama semalam itu Aure hanya terus menangis tanpa melakukan apapun. Pagi ini Zeta memanggilnya untuk sholat subuh, namun Aure juga tak bergeming. Dia tetap diam meringkuk diatas ranjangnya. Dia marah terhadap Tuhannya. Dia merasa ini tak adil, karna selama ini dia sudah sangat menjaga diri, dia juga merasa seorang muslim yang taat pada agamanya.
Berkali-kali dia hanya menatap foto Evan yang dia dapat dari profil whatshap. Evan yang cool dan sangat tampan dengan topi terbalik khasnya. Air mata selalu menjadi teman kesendiriannya. Berkali-kali juga pesan wa dari Evan tak dia balas. Hanya dia baca, telfonnya pun tak diangkat. Dia sangat malu.
“Dek,” suara Evan sekarang terdengar didepan pintu kamarnya.
Segera Aure bangun dan berjalan mendekati pintu. Pelan mengusap pintu itu. Kembali terisak dan menyandarkan tubuhnya dipintu.
Evan bisa mendengarkan isakan Aure. “Aku sudah tau apa yang menimpamu. Apa karna ini kamu menghindariku?”
Hati Aure kembali merasa sangat perih. Jadi, Evan sudah tau tentang pemerkosaan yang dia alami.
“Apapun yang terjadi aku tetap mencintaimu dek. Aku mencintaimu karna Alloh. Bukan karna yang lainnya. Jadi besok aku tetap akan menghalalkanmu. Jangan lagi seperti ini ya. Kita hadapi ini sama-sama.”
Isakan Aure bertambah kencang. Mendengar kata cinta dari Evan, itu terasa menyakitkan. “Jangan bicara seperti itu mas. Itu terasa sangat menyakitkan untuk kudengar. Aku sekarang kotor. Aku tak pantas bersanding denganmu.”
“Aure, aku mohon jangan begini. Aku mencintaimu dengan tulus. Aku akan tetap menikahimu dek.”
“Maafkan aku mas, aku nggak bisa melanjutkan pernikahan ini. Aku, tak pantas untukmu.”
“Dek, aku mohon jangan begini. Aku sangat mencintaimu. Jangan lagi mencari alasan untuk mengakhiri hubungan kita. Aku akan tetap mempertahankan hubungan kita. Kita tetap akan menikah walau bukan esok hari. Aku akan tetap menunggumu dek. Aku sangat mencintaimu.”
“Mas, maafkan aku.”
“Aure, apa kamu sudah tak mencintaiku?”
Kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan. Batin Aure makin tersiksa.
“Aarrggg!!!”
Ppyyarr!!!
“Dek!! Aure!!! Aure!!!” Evan sangat panik saat mendengar banyak barang pecah dari dalam kamar.
Dengan satu kali dobrakan, Evan berhasil membuka pintu kamar Aure. dia sangat terkejut saat melihat Aure sudah tergeletak dilantai dengan tangan yang bersimbah darah.
"AUREEE!!"
Tanpa peduli dengan 'bukan mukhrim' Evan segera mengangkat tubuh Aure.
