bab 10
Aure segera turun dan menutup pintu mobil. Berjalan santai menaiki tangga dan masuk kekelas. Sudah ada beberapa anak disana. Mereka sibuk dengan buku masing-masing, tapi lebih banyak yang sibuk ngobrol dengan teman didekatnya. Zefan belum tampak ada didalam. Aure mendudukkan pantat dikursi yang biasa dia tempati.
Tak begitu lama, pak Bram masuk kekelas dan segera memulai matakuliah. Tentu menanyakan tugas yang dia beri waktu itu. Berhubung Zefan nggak datang, hari ini Aure hanya bisa mempresentasikan separu saja. Masih 30% karna yang lain ada di Zefan.
Nggak begitu fokus ngikuti tiap mata pelajaran dikarenakan sudah merasa kesal lebih dulu saat jam pertama.
Jam 12 waktunya istirahat dan makan siang. Aure jalan kekantin bareng teman-temannya. Setelah memesan makanan dan makan, Aure menyempatkan kirim pesan singkat ke Zefan.
[Kenapa nggak masuk?]
Lama nggak ada balasan, Aure makin geram. Hingga jam istirahat berakhir tapi pesannya tak juga dapat balasan. Dengan cemberut dia mengekori teman-temannya.
“Re, kamu kenapa?” tanya Fanya yang menyadari ada kekesalan diwajah Aure.
“Sebel, dari tadi chatku nggak dibalas sama Zefan.” Jawabnya masih dengan mulut manyun.
Fanya ketawa kecil. “Iihh munafik ya kamu. Di luar sok najis sama Zefan. Ini nggak dibalas chatnya udah ngambek kaya’ ditinggal selingkuh.”
“Eh,” mata Aure melotot kaget dengan kata-kata Fanya. “Enggak gitu Nya. Aku emang nggak punya perasaan apapun kok ke Zefan.”
“Udah deh Re nggak usah kamu tutupin. Wajar kok, apa sih kurangnya Zefan? Dia tampan, punya pesona yang luar biasa, uang juga punya, otak cukup jenius. Wanita manapun seneng banget bisa kencan sama dia. Tapi sayangnya dia sukanya Cuma sama kamu. Aku aja iri lho Re.”
Aure milih diam, dia makin cemberut dan menghembuskan nafasnya berkali-kali untung menghilangkan kekesalan.
Mereka kembali kekelas. Fanya duduk disebelah Aure, tempat biasa Zefan duduk. Mengikuti kembali pelajaran seperti biasa.
Ddrrtt......ddrrtt
Ponselnya bergetar, ada sebuah pesan masuk. Buru-buru fia ambil dengan berbinar. Tentu berharap itu dari Zefan. Namun sayangnya itu dari Evan.
[Aku udah diparkiran dek]
Kembali mulutnya manyun. [15 menit lagi usai om]
Kembali dia masukkan ponsel kedalam tas setelah tanda centang biru terlihat.
~~
Aure mengerutkan keningnya karna ternyata didalam rumah sudah ada Ayah dan Ibuknya. Aure menatap Evan dengan kesal karna tak memberi tahunya jika sudah ada calon mertua yang nenanti kepulangannya.
“Asslaamualaikum,” sapa Evan tanpa peduliin wajah kesal Aure.
“Waalaikumsalam.” Jawab yang didalam secara bersamaan.
Dua manusia yang kasmaran itu masuk dan berjabatan tangan empat orang yang berada diruang tamu.
“Maaf lama nungguh ya Buk,” sapa Aure. Dia duduk disampaing umminya.
“Enggak kok nak. Baru beberapa menit yang lalu.” Jawab Elis, ibuk Evan.
“Karna yang ditunggu sudah datang, kita langsung saja pada intinya ya.” Sigit, Ayah Evan memulai pembicaraan. “Jadi gini nak Aure, kedatangan kami kesini untuk mendengar sendiri jawaban dari nak Aure tentang lamaran Evan yang lalu. Apakah nak Aure bersedia menjadi istri halal anak saya Evan?”
Semua mata tertuju pada Aure. Dia kelihatan gugup dan berkali-kali meremas jarinya sendiri. “Iya pak, saya bersedia.” Jawabnya dengan mantap.
“Alkhamdulilah,” ucap syukur mereka ucapkan bersama.
Terlihat binar bahagia dimata Evan. Dengan cepat dia memeluk Ayahnya. “Makasih ya Yah.”
“Jadi kedepannya mau bagaimana? Mau tunangan dulu atau langsung ke acara nikah?” Linxi yang ngomong.
“Berhubung umur saya yang sudah tidak muda. Saya ingin cepat menikahi Aure. Jadi rencananya saya ingin membawanya ke KUA seminggu lagi.” Jawab Evan dengan serius.
Mata Aure membulat.
“Apa tak terlalu cepat sayang?” tanya Elis yang juga terkejut dengan niatan Evan.
“Itu nikahnya Buk. Untuk resepsinya bisa lain waktu. Yang terpentingkan kita SAH dulu.” Ela Evan.
“Ada benarnya juga kata Evan Buk.” Linxi membenarkan. Lalu menatap anak gadisnya. “Kamu gimana sayang?”
“Aku ngikut Ayah dan Ummi aja.” Jawabnya malu-malu.
“Baiklah, jadi deal ya. Besok seminggu lagi kita ke KUA untuk mengesahkan status anak-anak.” Ucap sigit.
“Iya.”
~~
Setelah acara lamaran dan pembicaraan antar keluarga itu hubungan Evan dan Aure kian dekat. Dan dua hari sebelum hari yang ditentukan, Aure diajak Evan mengambil baju batik sarimbit yang sudah mereka pesan. Aure menolak memakai kebaya pernikahan seperti yang orang gunakan pada umumnya. Dia menginginkan batik sarimbit yang warna senada tentunya. Selesai mengambil baju, Evan langsung mengantar Aure kekampus. Karna senin ini Aure masuk sore lagi.
“Aku mau pulang sebentar ya. Nanti aku pastikan sudah disini sebelum pelajaranmu usai.” Ucap evan dengan senyum manisnya.
“Iya om. Nanti kabari aku ya.”
“Dek, kok aku risih ya kamu manggilnya om gitu.”
“Biasanya juga manggilnya kan gini.”
“Ya tapi sebentar lagi kita ini menikah lho dek.”
“iisshh ngomong aja minta dipanggil yang lain.”
“Tuh tau.” Evan menatap lekat wajah Aure sebelum gadisnya turun dari mobil. Cantik dan bikin hati selalu nyaman.
“Aku panggil Abang mau?” tanya Aure dengan wajah yang menggemaskan.
Ingin sekali Evan mencubit pipi cubby itu. Evan menyunggingkan senyumnya. “Mas aja deh. Abang, kaya’ tukang bakso aja.”
Aure tertawa kecil. “Ya udah, aku masuk kekelas dulu ya mas. Jangan lupa jemput. Aku nggak bawa kendaraan.”
“Iya sayang.” Balas evan dengan manja.
“Hahahah...”kembali Aure tertawa mendengar Evan memanggil dengan sebutan sayang. “Kedengarannya kaya’ aneh deh mas. Kaya’ lebih enak dengan awal-awal dulu.”
“Kita biasakan dong.”
Aure hanya menutup mulutnya yang tak mau berhenti ketawa. “udah ah aku masuk kelas ya mas.” Dia ulangi lagi kata-kata yang tadi. Mulai membuka pintu dan turun. Menoleh ke Evan. “Assalamualaikum mas.”
“Waalaikumsalan.”
Aure berjalan dengan santuy menaiki tangga. Evan masih didalam mobil memperhatikannya. Dia akan pergi saat Aure sudah tak terlihat. Tak begitu lama seorang pria menghampiri Aure. Jalan bebarengan dan masuk kedalam. Ada rasa cemburu yang membakar hatinya, namun Evan berusaha meredamnya. Segera dia memutar mobil dan meninggalkan kampus.
Didalam kelas, seperti biasa Zefan akan duduk dimeja sebelah Aure. Terus memandangi wanita yang sudah lama dia sukai itu.
“Nggak bosen ya liatin kek gitu mulu.” Ucap aure dan menatap Zefan dengan jengah.
Zefan malah tersenyum manis. “Lamaran gue, gimana jawabannya?”
Aure diam, mencoba berfikir gimana cara nolaknya. Menarik nafasnya pelan. “Maaf Zef, jawabannya sama. Aku nggak bisa. Maaf ya.”
“Gue heran sama elo. Apa sih kurangnya gue? Kenapa elo lebih milih lelaki tua itu? Yang elo suka apanya?” tanya Zefan agak nge gas.
“Zef, cinta itu nggak bisa dipaksa. Aku juga nggak tau dengan perasaan yang tiba-tiba muncul ini.”
“Basi Re. Intinya elo nolak gue?” tanyanya dengan menatap tajam Aure.
Aure hanya ngangguk.
Melihat jawaban Aure, ada rasa kecewa, perih, sakit yang membuncah didadanya. Zefan segera berdiri, kembali menyampirkan tas dibahu dan melangkah keluar kelas. Hari ini dia bolos lagi.
“Hhuufff dari awal aku kan udah jelasin. Aku ini nggak suka sama kamu.” Ngomong sendiri, tapi Fanya yang kebetulan lewat mendengar yang diucapkan Aure.
“Re, tadi kamu tolak Zefan ya?” tanyanya dengan penasaran.
Aure ngangguk. “Aku beneran nggak suka sama dia. Besok tinggal dua hari lagi aku akan menikah di KUA.”
Mata Fanya membulat hampir keluar. “Serius?”
“Iya.”
“Kamu mau menikah sama siapa? Pacar aja nggak punya.”
“Aku menikah sama seseorang yang udah lama aku sukai. Dan ternyata dia juga menyukaiku. Maaf nggak bikin undangan. Karna buat kita yang penting SAH dimata Alloh. Urusan syukuran resepsi, itu akan kita adakan jika tidak ada halangan.” Jelasnya.
Fanya menyunggingkan senyum. “Subkhanalloh. Keren Re. Aku doain lancar ya.”
“Iya, makasih.”
Pak Bram masuk kekelas dan pelajaran segera dimulai.
**
Pukul lima tepat. Semua berkemas untuk pulang. Aure masih harus nungguin Evan jemput karna baru aja Evan ngirim pesan jika masih dirumah. Ada sesuatu yang belum kelar.
Pelan Aure keluar dari kelas. Suasana kampus udah sepi sisa dua tiga anak saja. Tanpa sengaja Aure nabrak pintu karna dia jalannya fokus natap ponsel. Dia jatuh, jempol kaki dan telapak tangannya berdarah karna sisi pintu itu cukup runcing.
“Re, ayo aku bantu.” Ranisya yang juga ambil kuliah sore menghampiri Aure. “Yaampun kaki kamu sampai berdarah gini. Kita ke ruang kesehatan ya. Aku bantu obatin.”
“Iya, Sya.”
Aure berdiri dengan susah payah. Ranisya membantunya berdiri dan memapahnya berjalan. Duduk ditepi ranjang ruang kesehatan, dan segera Ranisya mengambil kotak p3k. Aure menggulung sedikit lengan bajunya dan menyibakkan roknya sedikit. Dengan pelan Ranisya mengoles alkohol dan anti septik. Lalu membungkusnya dengan plaster dan kain kasa.
“Udah nih. Kamu bisa jalan sendiri kan?” ucap Ranisya setelah selesai membungkus lukanya.
“Bisa Sya. Tapi satu bukuku tadi kaya’nya jatuh di kelas deh.” Aure mencoba mengingat, karna dia tadi memegang satu buku.
“Ya udah aku ambilin ya. Kamu tunggu disini aja. Atau telfon om Evan biar dia jemput kamu disini. Aku masih ada kelas setelah ini.”
“Iya nanti aku suruh om Evan kesini.”
“Ya udah aku ambilin buku kamu dulu.”
Ranisya segera keluar dari ruangan itu menuju kelas Aure. Tepat didepan kelas, dia melihat Zefan tengah memegang buku dan membolak-baliknya. Pandangan Zefan tertuju pada Ranisya yang berjalan kearahnya.
“Dimana Aure?” tanyanya dengan mata yang memerah. Dia sedang dalam keadaan mabuk.
Ranisya merasa gugup, dia memegang erat tali tasnya. Menunduk untuk menghilangkan kegugupannya. “Aure di ruang kesehatan.”
Tanpa menunggu lagi, Zefan membawa buku itu pergi. Dia tak hiraukan Ranisya yang masih berdiri mematung menatap kepergiannya.
Ragu, tapi ada rasa yang khawatir, karna dia mencium bau alkohol dari tubuh Zefan. Dia mengkhawatirkan keadaan saudaranya. Cukup bingung karna tepat jam ini matakuliahnya segera dimulai.
“YaAlloh, aku nemui Aure apa masuk kelas ya?” ucapnya pada diri sendiri. Dia bingung. “Ini pelajaran penting tapi aku juga takut Aure kenapa-napa. Apa aku telfon aja ya.” Dia mencari ponsel yang ada didalam tas. Mencari nomor Aure dan mulai menelfonnya. Satu kali nggak ada jawaban, mulai panik. Dia coba lagi hingga beberapa kali.
“YaAlloh Aure, kamu kok nggak angkat sih. Bikin khawatir.” Dia memutuskan untuk kembali keruang kesehatan. Dengan langkah kaki tergopoh-gopoh dan sedikit berlari, Ranisya memegang ponselnya erat. Berdiri didepan pintu ruang kesehatan yang ternyata terkunci dari dalam.
“Zef, hentikan!! Jangan lakuin ini!!” suara Aure yang terdengar samar dari dalam.
“Tolong!! Aaa....Jangan Zef. Aku mohon jangan lakuin ini.” Rengekan dari Aure yang terdengar sangat jelas.
“Gue nggak akan biarin elo nikah sama cowok lain. Elo milik gue Aure!! ELO MILIK GUE!!” teriakan dari Zefan yang terdengar nyata.
Ranisya berusaha memutar gagang pintu. Mendobraknya, tapi kekuatannya tak bisa mengalahkan pintu yang ternyata sangat kokoh.
“Aaaa!!!! Hiks hiks Zefan!!!”
Perasaan Ranisya makin tak tentu. Dia gedor pintu itu dengan keras.
“Aure!!! Re!!! Zefan!!! Buka pintunya!!!”
Brak!!! Brak!!!
Nihil, nggak ada tanggapan dari dalam. Hanya terdengar suara Aure yang meminta pertolongan dan meminta belas kasihan dari Zefan.
“Sya...tolong!!”
Brak!! Brak!!!
Ranisya masih terus mencoba membuka pintu dengan paksa.
“Eh, ngapain lo?” willy berdiri dibelakangnya. Menatap Ranisya dengan heran.
“Mas, tolongin. Aure didalam, dia sama Zefan, dan sedang tidak baik-baik aja.” Dengan khawatirnya Ranisya sampai matanya berair.
“Yakin lo?” Willy masih mencari kebenaran dari wajah Ranisya.
“YaAllah, mas. Saya serius. Ini saya khawatir banget.”
Willy menempelkan telinganya dipintu bercat putih itu. Dia mendengar suara tangisan Aure dan suara Zefan yang mendesah.
“Anjing!! Zefan ngapai Aure!!” dengan panik Willy mengacak rambutnya. “Biar gue dobrok pintunya.”
Ranisya minggir dan Willy mulai mencoba mendobrak pintu. Sekali dobrak, pintu masih kokoh, dua kali juga masih sama hingga ke lima pintu terbuka dengan paksa.
Mata willy dan Ranisya melotot tak percaya dengan yang mereka lihat. Dengan penuh nafsu, Zefan menindih tubuh mungil Aure yang sudah tanpa pakaian. Willy dan Ranisya masuk. Willy menarik pundak zefan dan melayangkan satu pukulan di wajah Zefan. Ranisya segera menutup pintu rapat, menghampiri Aure, meraih selimut dan menutup tubuh telanjang Aure. Segera memeluk tubuh Aure yang gemetar hebat itu.
“Anjiingg lo, Zef!!” kembali dia memukul sahabatnya hingga hidung Zefan mengeluarkan darah. “Sadar bego!! Elo udah rusak Aure!! Wanita yang elo sayangi!!”
Kesadaran Zefan mulai kembali. Dia memejamkan mata sejenak. Memegangi hidungnya yang mengeluarkan darah, menatap Aure yang menangis histeris diatas ranjang dengan balutan selimut. Bahkan rambut hitamnya terlihat awut-awutan. Baju dan jilbabnya tergeletak sembarang diatas lantai.
“Re, Aure...” Zefan mulai berdiri, dia berusaha dekati Aure. Tapi ditarik Willy.
“Jangan sakiti dia lagi.” Seru Willy.
“Maafin gue, Re. Gue khilaf, gue tadi mabuk.” Ucap Zefan penuh penyesalan.
