Bab 8- Para Manusia Bodoh
Dina menegakkan tubuhnya. Bangkit dari posisi terbaring dari ranjang itu. Matanya tak henti meloloskan tangis. Ia menatap sekilas ibunya yang juga menangis meratapi kesalahan bodohnya. Dina tak mampu berkata-kata lagi. Ia bersiap meninggalkan ruangan putih dengan aroma khas yang menmbuatnya sesak. Tepat kaki Dina menyentuh lantai, Bu Maryam menahannya.
“Kamu yakin akan mempertahankannya?”
Ada pilu dipertanyaan itu. Perempuan yang sebentar lagi akan lebih sering menghabiskan waktu di rumah masih menghitung untung dan rugi dari setiap keputusan yang akan terjadi. Dina hanya mengangguk. Ia tak mau lagi membahas hal yang jelas-jelas bertolak belakang dengan nurani.
“Dengan status jandamu, Din?” Tak henti frase itu memperjelas keadaan yang di hadapi Dina. Ibunya sendiri yang selalu menggaungkan dan menekankan.
“Aku tidak akan pernah malu lagi, Buk. Aku sudah tahu mana yang terbaik untukku,” pekik Dina mendera luka. Tergambar jelas getir yang menemaninya sejak hari pertama dijodohkan. Bu Maryam tak bisa lagi merayu putrinya. Ia hanya bisa pasrah. Ia biarkan putri bungsunya meninggalkannya.
Serangan tremor di tangannya sudah menjalar hingga kaki. Dina bahkan merasa dirinya tak bisa menapak sempurna di bumi. Namun, ia harus terus melangkah. Terlebih saat tangis Raihan yang baru bangun terdengar. Dari dalam terlihat jelas Nesya tampak tak bisa menangani keponakannya. Ujung kerudung yang menjuntai, Dina sapukan pada wajahnya. Mengelap setiap tetes air mata. Ia harus kuat bagaimanapun jalan yang akan ia terima. Ia harus bisa, sesulit apa pun kehidupannya nanti. Perlahan langkah Dina sampai pada teras rumah itu. Ia mengulurkan tangan pada Raihan dan memberikan senyum hangat yang tampak dipaksakan.
“Ibu,” ucap Raihan dengan menerima rengkuhan Dina.
“Ya, Nak. Ibu di sini.” Dina menggendong putranya, mendekap penuh cinta.
Pada peluk itu ia tak bisa membendung segala rasa. Tangis yang tadi sempat terhenti, mengalir kembali. Bahkan lebih perih dan sakit. Nesya mendekat. Menepuk perlahan punggung adik iparnya. Ia tahu perasaan seperti apa yang sedang membersamai Dina.
Bu Maryam menyusul ke luar setelah merapikan dirinya dulu di kamar mandi. Hari ini harga diri beserta kebanggaan akan hidupnya terenggut kembali. Ia bahkan malu saat harus berhadapan dengan putranya. Terlebih berhadapan dengan Nesya. Menantu yang tak pernah dianggap sebelumnya. Baginya Nesya tak ubahnya Ardi. Sebuah cela bagi keluarga besarnya.
“Ayo kita pulang, Din,” seru Bu Maryam seraya berjalan menuju tempat mobil terparkir. Dina mengangguk pelan, ia bergeming.
“Gak apa-apa tunggu di mobil dulu, Mas. Aku ketemu Kak Frans dulu,” ucap Nesya memahami psikologis Dina.
“Baik, Sya. Jangan lama-lama ya. Gak enak sama Ibu.” Nesya memahami itu. Ia pun mencari Kak Frans ke dalam ruangan.
Seperti dugaan Nesya pria berkacamata itu tengah menatap tangannya. Ia bahkan tak mengerti kebodohan apa yang telah ia lakukan. Hingga kehadiran Nesya menghentikan aktivitasnya.
“Apa, Dek. Apa lagi?” tanya pria berkacamata itu dengan wajah penuh dosa. Ia merasa dirinya telah melakukan pembodohan besar.
“Makasih, Kak. Udah bantu keluarga aku. Aku tahu Kakak paling bisa melakukannya.” Nesya mengukir senyum untuk Kakak tingkatnya di waktu SMA. Kakak tingkat yang selalu ada di setiap fase hidupnya.
Pria berkacamata itu mengangguk. Ia jelas tak bisa menolak permintaan Nesya. Demi Nesya ia rela. “Sama-sama, Sya. Semoga adik iparmu benar-benar bisa mempertahankan janinnya. Aku sangat tidak rela jika ada tindakan tak pantas semacam tadi. Bahkan menelisik niat mereka saja sudah sangat mengerikan.” Nesya terkekeh. Ia menyandarkan dirinya pada kusen pintu.
“Itulah manusia, Kak. Bahkan dalamnya hati dan pikiran mereka kita tidak pernah tahu pasti. Manusia memang makhluk paling berbahaya di dunia.” Nesya mengangkat bahunya. Seolah yakin dengan argumen yang ia buat. “Aku balik, dulu, Kak. Semoga izin Kakak buat bekerja cepat didapat. Aku mau konsultasi lagi soal mendapatkan anak.” Nesya berharap betul akan hal itu.
“Okay, Sha.” Frans melambaikan tangan. Ia berbalik dan tak mau lagi melihat adik tingkatnya. Permintaan itu terlampau berat untuknya.
***
Mobil yang disewa Nesya dan Dion kembali ke terminal. Sore hari menjelang petang tak membuat ibu mereka mengubah keinginan. Setelah berdiskusi sambil menyantap makanan setelah dari klinik itu mereka ingin mengajak menginap. Bahkan kamar tamu sudah mereka bersihkan. Namun, perempuan paruh baya itu tetap tak mau. Pendiriannya kukuh untuk tetap pulang. Nesya hanya bisa menahan segala kesal saat ibu mertuanya belum saja juga menerima kehadirannya.
“Nanti hati-hati, Buk. Kabarin Dion kalau sudah sampai.” Dion menyayangkan sikap keras ibunya. Ia hanya bisa mengantar sampai terminal saja, terlebih esok hari pekerjaannya menanti.
“Iya, pasti Ibu kabari.” Bu Maryam bersiap menaiki bus besar dengan tujuan ke Magelang.
“Terima kasih, Mbak, sudah menemani kami.” Dina berkata tulus pada kakak iparnya. Sama sekali tak ada niat untuk tidak mengakrabkan diri.
Nesya tersenyum. Senyum lembut dengan mata sipitnya. “Sama-sama, Dina. Maaf kami tidak bisa mengantar sampai rumah.” Sebuah amplop ia serahkan pada Dina.
“Apa ini, Mbak? Dina gak mau.” Meski belum berpenghasilan tetap, Dina tetap bisa mencukupi kebutuhan hidupnya. Tak ada sedikit pun niat untuk meminta bantuan pada kakaknya.
“Ini buat Raihan. Sama buat calon keponakan baruku. Kamu tidak pelu terbebani untuk hal ini,” desak Nesya dengan tetap menyerahkan amplop tadi.
“Alhamdulillah baru ada rejeki, Din. Diterima saja.” Dion membantu Nesya membujuk Dina.
Bu Maryam hanya menyaksikan kedekatan putra putrinya dari bus besar yang sudah ia naiki. Sebenarnya hidupnya sudah sempurna, andai dia tak mengharapkan hal lebih. Ketamakan selalu menggulung semua perasaan. Membuat jiwa kosong dan selalu haus akan suatu hal yang lebih. Bu Maryam tak pernah puas dengan suatu hal yang sudah ia punya.
“Magelang, Magelang, cepat naik!” seru kondektur bus itu. Mereka bersiap melajukan busnya.
Dina hanya bisa menahan haru. Ia tak tahu harus bagaimana. “Cepat, Din. Nanti ketinggalan.” Nesya melepaskan tangannya. Amplop putih itu berhasil diterima adik iparnya.
“Jaga baik-baik ibu kamu ya, Raihan.” Nesya mencubit pelan pipi keponakannya.
“Makasih, Mbak. Makasih, Mas,” ucap Dina parau. Ia pun melangkah menuju bus yang akan membawanya pulang. Ke rumah bercat biru dengan pohon jagung yang akan segera dipanen. Perjalanan melelahkan hari ini tak akan bisa ia lupakan.
Bus itu terus melaju. Membawa penumpang di dalamnya sampai tujuan masing-masing. Meninggalkan dua anak manusia yang sama-sama bergejolak jiwanya.
Nesya melangkah cepat menuju mobil yang terparkir. Disusul dengan Dion yang menatap pilu perempuan tak berjilbab itu. Sekeras apa pun mencoba, ibunya tetap belum bisa menerima wanita pilihannya. Bahkan setulus apa pun Nesya memberikan hati dan raganya, ia selalu ditolak. Tidak dulu tidak sekarang ia belum mampu menyatukan dua wanita kesayangannya. Bahkan tak jarang pembahasan tentang keluarga menjadi pemicu percecokan mereka. Nesya menutup pintu mobil dengan keras. Menghempaskan tubuh pada jok mobil. Ia mencoba memejamkan mata.
“Aku mau tidur, Mas, Jangan ganggu.”
“Tidak jalan-jalan dulu, sayang?” tanya Dion mencari solusi saat istrinya mulai terlihat berbeda. Nesya tak menjawab. Ia memiringkan kepala ke sebelah kiri.
Dion menyalakan stater mobil itu. Menginjak gas dengan keras. Melaju bersama perasaan tak menentu. Ia tak pernah tahu seperti apa dalamnya hati perempuan di sampingnya itu. Dari luar Nesya tampak baik-baik saja. Namun, sejatinya wanita itu sedang patah. Usahanya untuk menjadi mantu yang baik di mata mertuanya tak membuahkan hasil. Sejauh ini haruskah ia membelokkan niatnya, dan membalaskan semua perasaan tak diterimanya.
***
Hai readers, maaf baru bisa upload untuk lanjutan Pelaminan Kedua. Hari ini saya kasih tiga bab langsung. Selamat membaca, semoga suka. :-)
Yang mau baca karya TAMAT juga bisa.Ada LOve and Reality dan TRUST di aplikasi ini.
