Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 7- Belahan Jiwa

Bocah kecil itu entah karena sebab apa semakin pendiam. Bahkan tak berkata banyak saat semangkuk bakso kesukaannya tersaji di meja. Sebelum melanjutkan perjalanan dua wanita dan bocah kecil itu menyempatkan diri mengisi perut.

“Nambah, Raihan?” Dina terus menyuapi Raihan dengan bakso yang sudah ditambah kecap. Raihan hanya mengangguk. Dina pun merelakan dua buah bakso bulat di mangkuknya.

Bu Maryam tersenyum. Ia paham betul bagaimana perasaan seorang ibu seperti yang Dina lakukan. Begitulah kasih sepanjang masa dari perempuan untuk buah hati tercintanya. Setelah bakso beserta kuah di mangkuk mereka tandas, Bu Maryam mengambil ponselnya. Menekan nomor yang sudah memberi pesan terlebih dahulu padanya. Ia menekan tombol panggilan dengan sedikit menepi dari tempat Dina dan Raihan berada. Panggilan tersambung beberapa detik setelah Bu Maryam menunggu.

‘Ya, Buk. Dion sama Nesya sebentar lagi sampai. Ibu di terminal, kan?’ tanya putra kebanggaanya.

“Iya, di tempat penjual bakso tak jauh dari pemberhentian bus area Magelang.” Sebuah papan nama plang ia baca.

‘Baik, Bu. Tunggu sebentar ya. Ini sudah masuk area parkir teminal. Tinggal turun dan menjemput Ibu saja.’

Bu Maryam pun menutup teleponnya setelah menjawab ucapan putranya. Ia kembali menghampiri Dina dan Raihan.

“Ibu nunggu jemputan? Apa tempatnya masih jauh dari sini, Bu?” tanya Dina lugu. Bahkan perempuan itu tak bertanya mereka akan ke klinik mana.

“Iya. Sebentar lagi sampai.” Selesai Bu Maryam mengucap itu, dua anaknya yang tinggal di Jogja tiba. Melambaikan tangan dan berjalan menuju arah mereka. Dina kehabisan kata. Bahkan ibunya memberitahukan pada Dion.

Sapa ringan beserta salam takzim mereka lakukan. Selepas itu berjalan bersama menuju mobil yang disewa Dion. Nesya membiarkan Bu Maryam duduk di depan, bersebelahan langsung dengan suaminya. Sedang ia, memilih di tengah bersama Dina dan Raihan. Dari hati terdalam perempuan yang sampai saat ini belum mendapatkan momongan, menyayangkan sikap mertua dan adik iparnya. Tak seharusnya mereka melakukan perbuatan itu. Bahkan mereka dengan tersirat mempunyai niat jahat. Nesya tak pernah menduga.

“Sejak kapan Mbak Nesya tahu?” tanya Dina memecah keheningan di mobil. Bahkan suara frekuensi radio pun tak ada. Semua tegang seiring perjalanan yang semakin dekat.

Nesya tersenyum. Tepatnya satu bulan lalu mertuanya datang ke rumah menceritakan semua gundah. Tentang pelik yang dialami Dina dan masalah bertubi yang menimpa keluarga itu.

“Hari ini. Mas Dion tiba-tiba mengajakku pergi. Tadi saat perjalanan ke sini dia baru memberikan openingnya.” Dion menatap kaca mobil bagian tengah. Mengamati istrinya yang jelas sedang memanipulasi fakta. Bu Maryam juga menoleh. Ia bahkan tak meralat kata-kata Nesya.

“Serius, Mbak?” Kali ini Dina merasa tak percaya dengan kakak iparnya. Mereka tidak pernah bisa dekat setelah kedatangan Nesya pertama kali.

“Iya. Sangat serius. Mana mungkin aku berbohong. “ Nesya beralih menatap Raihan. Membelai lembut rambut keponakannya yang sedang bergelayut manja pada Dina. Bocah kecil itu terlelap.

Semakin dekat menuju alamat klinik tanpa nama, debar hati Dina kian terasa. Ia ingin membatalkan semua, tetapi sorot mata Bu Maryam mengisyaratkan untuk meneruskan. Tak sampai keluar, kata-kata yang bersemayam dalam benak Dina saat Dion sudah memberhentikan mobilnya di sebuah klinik yang jauh lebih mirip rumah. Tidak ada plang tanda klinik di sana. Keluarga itu pun bergegas turun satu per satu. Dengan baik hati, Nesya menggendong Raihan tanpa membangunkan. Entah apa yang telah diurus Nesya dan Dion. Kedatangan mereka langsung disambut pria berumur empat puluhan dengan kacamata dan pakaian rapi.

“Selamat siang, Pak Dion. Bagaimana perjalanannya?” tanya pria itu dengan gaya formal.

“Tadi lancar, Pak. Hanya sedikit macet saja. Bisa langsung dimulai?” tanya Dion begitu Dina sampai tepat di belakangnya.

“Baiklah. Biarkan Mbak Dina dan ibunya saja yang masuk.”

“Iya, Pak. Kami menunggu di luar sekalian jaga Raihan.”

Pria dengan kacamata tadi menatap Raihan sekilas. Ia mulai paham kenapa sahabatnya meminta bantuannya. Ia menunduk pada Nesya. Kemudian masuk kembali ke rumahnya. Nesya menatap punggung pria itu.

***

Sebuah ruangan mirip pembaringan pasien di klinik Buliknya menyambut Dina dan Bu Maryam. Nuansa putih bersih dengan ornamen bunga lili di beberapa bagian dinding membuat sunyi. Peralatan medis yang sederhana teronggok di beberapa sudut ruangan juga. Dina merasa tak asing dengan kamar seperti ini. Ia bahkan menghidu bau obat khas rumah sakit persis seperti dulu. Saat ia akan melahirkan. Hati Dina kian berdebar. Langkahnya bergetar. Serangan tremor muncul di telapak tangannya. Namun, ia menyembunyikan itu semua. Bu Maryam tak kalah takut. Jika hari ini juga terjadi justice atau pun hisab jelas dia lah orang pertama yang harus disalahkan. Menggiring putri bungsunya melakukan perbuatan hina sepanjang hayatnya. Kesombongan diri membuatnya terus berusaha tegar. Sedikit pun ia tak boleh gentar jika ingin secepatnya mendapatkan solusi tentang kehamilan Dina.

Derup langkah pria tadi kian mendekat. Didampingi dengan satu perempuan yang tampak seperti perawat. Mereka sudah bersiap melakukan tugasnya sesuai dengan permintaan pemesan. Bukan Dina atau pun Bu Maryam melainkan Nesya. Semua administrasi dia yang mengurusnya. Dina tak mampu lagi berpikir jernih. Tubuhnya sudah terbaring di dipan itu. Ia bersiap mengakhiri masa hidup janin yang bahkan tak pernah tahu jika ibunya sekejam itu. Perlahan pria berkacamata mendekat dengan sarung tangan yang sudah melekat. Ia tersenyum ramah pada Dina.

“Tidak perlu takut, Mbak Dina. Semua akan baik-baik saja,” ujar pria itu dengan nada lembut. Dina mengangguk. Ia mencoba percaya pada pria yang akan menanganinya. Perempuan yang tampak seperti perawat mendekat. Memberikan fetal doppler pada pria bekacamata tadi. Lagi-lagi ia hanya tersenyum. Senyum yang begitu menenangkan.

“Bu Maryam, sini. Bisa mendekat pada kami,” perintahnya pada perempuan yang usianya sudah renta. Bu Maryam pun mendekat. Berdiri di samping pria berkacamata tadi.

Tiga perempuan dan satu pria berada di sana. Mereka sedang melakukan persekongkolan terbesar. Perlahan perawat meminta Dina membuka sedikit bagian perutnya. Hari ini Dina tak memakai gamis seperti biasa. Memudahkan perawat melakukannya. Hati Dina sebenarnya tak rela terlebih ada pria di ruang itu. Namun, pemegang fetal doppler tadi yang memang lebih menguasai ilmunya. Sebuah gel dioleskan, perlahan pria berkacamata tadi meletakkan fetal doppler dan menutup perut Dina dengan tangannya berada di dalam. Perlahan alat itu mengubah bio elekto yang merupakan sinyal untul diteruskan ke pre-Amp yang bisa mengubahnya menjadi suara dan terdengar di speakernya.

“Dengarkan baik-baik, Mbak Dina. Resapi setiap detak yang ada.” Pria berkacamata membiarkan suara itu terus terdengar.

Dina menghayati ritme detak itu yang mirip sekali dengan miliknya. Perempuan itu memejamkan mata. Semakin lama detak itu kian menyatu dengan tubuhnya. Semakin dalam ia menyelami semakin perih hatinya. Ia merasa hina seketika. Bu Maryam tak kalah bimbang. Mendengar detak jantung calon cucunya dan menyaksikan putrinya terpejam membuatnya seolah tak punya lagi nurani.

“Bu Maryam, coba bayangkan jika detak ini hadir bersama tubuh Raihan, cucu Bu Maryam di luar. Apakah Bu Maryam tetap akan melenyapkannya?” tanya pria tadi menyentil hati Bu Maryam. “Pikirkan baik-baik, Mbak Dina. Pikirkan juga Bu Maryam. Bukan salah dia terlahir di kondisi yang mengharuskan orang tuanya berpisah. Bukan salah dia juga harus hadir di saat tidak diinginkan. Justru salah besar jika Bu Maryam dan Mbak Dina berniat melenyapkannya. Tidak akan ada solusi dari masalah ini selain mempertahankannya.” Pria berkacamata tadi menekan tombol off pada fetal doppler. Menjauhkan alat itu pada perut Dina.

“Hidup dan mati bukan di tangan manusia, Bu. Melainkan di tangan Tuhan yang memberi kita nyawa. Saya tidak pernah melakukan praktik kejahatan semacam ini. salah besar jika hari ini Bu Maryam dan Mbak Dina berharap bisa melenyapkannya.” Pria berkacamata itu melepas sarung tangannya. “Tugas saya sudah selesai. Mbak Dina dan Bu Maryam bisa melanjutkan pemeriksaan lagi di rumah sakit atau praktik bidan lain. Saya sedang tidak bisa memeriksa pasien karena suatu hal.” Pria berkacamata tadi meninggalkan ruangan itu, diikuti perempuan yang tampak seperti perawat.

***

Tak ada jawab dari kedua perempuan yang baru saja menyadari khilafnya. Mereka tergugu beserta tangis yang menderas di ruangan putih dengan aroma khas. Satu perempuan dengan usia lebih muda menemukan belahan jiwanya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel