Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 9- Robot Pencuri

Malam selalu panjang bagi gadis muda yang sejak datang ke rumah itu merasa dirinya tidak mendapat apa yang dia inginkan. Udara dingin di kemarau yang mulai menyerang membuatnya semakin meringkuk dalam kehampaan. Kopi pahit tanpa gula. Bahkan dengan gula pun kadang masih terasa pahitnya. Obrolan itu terus menganggu. Hingga ia terjaga sampai matahari menyapa paginya. Kelopak matanya seketika menghitam. Terhuyung gadis itu keluar kamar. Meski menahan kantuk ia tetap harus bangun. Menginap di rumah orang yang dicintainya tak bisa membuatnya seenak hati.

Mbok Saniem dan Mama Fatih sudah sibuk menyiapkan sarapan. Dua menu sengaja mereka buat untuk menambah semangat. Tangan keduanya lincah mengolah aneka bahan makanan. Fatih satu-satunya laki-laki di sana saat ini, tengah asyik duduk di kursi makan. Mengamati keramaian yang sudah dimulai sejak subuh tadi. Ia selalu senang saat rumah neneknya banyak orang. Tak jarang ia juga merindukan masa kecilnya dulu saat keluarganya masih tinggal di rumah ini.

"Pagi, Tante. Mbok, Kak." Sasha dengan perasaan tak nyaman menyapa orang-orang yang sudah bangun lebih dulu. Harusnya jika mau jadi bagian dari keluarga itu, ia lah yang membantu meyiapkan sarapan atau minimal menemani Mbok Saniem dan Mama Fatih.Nyatanya ia baru bangun tepat pukul enam pagi.

"Kecapean,Sayang. Makanya baru bangun? Ini Tante minta tolong letakkan di meja, ya." Mama Fatih tak mau membuat Sasha merasa caggung. Beliau dengan baik hati langsung melibatkan gadis itu.

Fatih tersenyum simpul, untuk kemudian menunduk mengamati ponselnya. Nomor dengan foto profil perempuan menghadap belakang dengan kerudung lebar terus membuatnya penasaran. Ia ingin sekali mengetikan banyak kata melalui pesan WhatsApp yang sejak tadi ia amati.

Kapan bisa bertemu? Apakah perempuan itu sudah membuat keputusan?

Tak sekali dua kali Fatih memikirkan jawaban yang mungkin ia dapatkan. Fatih Rama Denta sudah siap jika Dina Dinara tak menerima ajakannya. Ta’aruf untuk langsung menjadikan perempuan dengan satu putra menjadi pendamping halalnya.

"Misi, Kak." Sasha terpaksa mencuri perhatian Fatih yang sejak tadi melamun sendiri.

Sekejap Fatih tersadar. Ia menekan tombol kunci pada ponsel berbody metal miliknya. "Mau ambil tisu?" tanyanya merespon Sasha. Ia pun menjumput satu lembar dan menyerahkannya.

"Kurang, Kak. Satu kotak mintanya." Sasha kembali mengulang ucapannya.

"Oke, sorry."

Sasha menerima kotak tisu berbentuk persegi, lalu kembali ke area memasak di ruang itu. Mama Fatih dan Mbok Saniem terus menunjukkan keahliannya dengan sesekali mengajari Sasha-calon mantu di keluarga itu. Setelah semua hidangan selesai dan tersaji pada meja berukuran panjang. Mama Fatih melepas approne, mencuci tangan dan menyerahkan sisa pekerjaan di dapur pada Mbok Saniem.

"Siap, Nyonya. Saya panggilkan Nenek kalau sudah siap semua." Mbok Saniem tipe asisten yang patuh. Mengabdi di rumah itu sejak usianya masih muda dulu. Ia juga paham banyak hal tentang keluarga Fatih. Mama Fatih berjalan anggun menuju meja makan dengan Fatih dan Sasha sudah di sana.

"Samping-sampingan begitu, kok, diem semua. Ini nih, penyebab ponsel menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh." Tangan perempuan itu cekatan menuang nasi ke piring-piring yang sudah disusun rapi. Lalu menyerahkannya pada Sasha terlebih dahulu.

"Makasih, Tante." Sasha jelas beruntung jika perempuan itu benar-benar menjadi ibu mertuanya.

"Fatih. Nanti Sasha mau diajak jalan ke mana? Kasihan kan kalau harus di rumah mulu." Mama Fatih selalu mengambil inisiatif agar anaknya bisa lebih dekat dengan Sasha.

"Iya, Mah. Nanti memang mau Fatih ajak jalan, kalau Sasha-nya mau." Fatih mulai menyendok lauk buatan ibunya. Ia berbicara tanpa melihat Sasha.

"Nah, gimana, Sha? Mau gak?"

Sasha mengangguk. Binar bahagia terlihat jelas di matanya. Gadis itu juga tersenyum manis dan semangat mengambil hidangan di atas meja. Sarapan pagi dengan kalori terbanyak yang pernah ia coba. Demi jalan-jalan di kota dengan simbol patung Pangeran Diponegoro berada di alun-alunnya.

***

"Jangan lupa oleh-oleh getuk Trionya. Mama pingin makan, kamu gak beli dari kemarin!" seru Mama Fatih saat Fatih dan Sasha menaiki mobil. Fatih melambai dan membunyikan klakson. Mobilnya melaju bersama Sasha yang duduk di sampingnya.

"Padahal bisa aja pesen pake aplikasi, tetep aja mintanya aku yang beli."

"Mama? ... Eh, Tante?" timpal Sasha. Ia refleks memanggil dengan sebutan itu.

"Iya, Mama aku. Padahal bisa aja pesen gak perlu aku yang bawain." Fatih memperjelas status mereka. Sasha belum bisa memanggil mamanya dengan sebutan yang sama dengan dirinya.

"Mungkin lebih enak kalau anaknya yang beli langsung. Ada usahanya. Kan jauh-jauh dari Bandung masa gak dapat apa-apa di sini." Sasha mulai mengamati jalanan kota Magelang dari kaca jendela sebelah kiri. Meski ramai tidak menimbulkan macet. Bahkan udaranya juga masih sangat sejuk.

Perjalanan lima belas menit mereka membawa keduanya ke sebuah parkiran satu-satunya mall di kota itu. Sasha tercengang. Jauh-jauh ke Magelang dan diajak ke area yang baginya sudah sangat sering untuk dikunjungi.

"Gak salah?" tanya Shasa saat Fatih membukakan pintu mobil untuknya. Sebelum mobil Fatih benar-benar masuk ke parkiran itu, ia membaca tulisan besar Armada Town Square di depan bangunan. Bedanya mall ini tergabung langsung dengan hotel di bagian atas.

"Cuma sebentar, kok. Aku butuh pendapat kamu." Fatih menutup pintu mobilnya dan berjalan ke arah pintu masuk area mall. Sasha tak berpikiran macam-macam. Ia pun mensejajarkan langkahnya dengan pria yang ia damba.

Lantai satu bangunan itu mirip dengan mall pada umumnya. Pusat perbelanjaan dan aneka restoran ada di sana. Fatih terus berjalan. Menaiki eskalator menuju lantai dua. Dari segi bangunan dan penataan mall di Bandung jauh lebih besar. Sasha paham betul itu. Namun, ia tetap mencoba menikmati suasana. Terlebih ada Fatih di sampingnya. Tak banyak kata saat kaki mereka menapak di lantai dua. Fatih lagi-lagi berjalan maju. Menaiki eskalator menuju lantai tiga. Wajah Fatih sumringah. Saat matanya menangkap sebuah toko mainan dengan aneka jenis dan harga. Sasha justru menangkap ke arah lain. Di lantai tiga area time zone dan wahana bermain bagi anak-anak cukup ramai. Sasha terlonjak saat mendapati Fatih tak lagi di dekatnya. Laki-laki itu sudah melesat ke toko mainan. Sasha memerhatikan rona bahagia di wajah pria itu. Ia pun mengendap masuk dengan tetap mengawasi pria yang telah lama mencuri hatinya.

Pria itu berbalik. Kedua tangannya memegang robot berukuran sedang dan besar yang terbungkus. "Bagus mana?"

Sasha terperanjat. Ia kira Fatih tak menyadari kehadirannya. "Ehm... buat kamu?" Setahu Sasha tidak ada keluarga Fatih yang masih layak diberikan mainan semacam robot yang sedang dipilih.

"Pilih aja bagus mana, menurut kamu." Fatih tak bisa menentukan. Keduanya nampak mengagumkan sebagai hadiah.

"Biasanya saat menerima yang lebih besar, seseorang akan lebih senang." Sasha mengemukakan pendapatnya yang asal.

"Oke, aku pilih yang kanan." Fatih berbalik kembali. Menanyakan harga yang sebenarnya sudah tertera.

"Lima ratus ribu, Kak?" Sasha tak pernah tahu harga robot bisa semahal itu.

"Namanya juga mainan anak, wajar dong." Dengan senang Fatih menerima tas belanja berisi mainan itu. Ia mengajak Sasha berpindah dari toko tersebut tanpa memberi penjelasan tambahan. Lagi lagi Sasha hanya bisa membuntuti. Lantas mensejajarkan langkah saat pria itu mulai berjalan cepat.

"Untuk siapa, Kak, sebenarnya? Sasha penasaran."

"Nanti kamu juga tahu. Aku akan mengenalkannya padamu segera. Aku juga akan mejelaskan perihal kopi pahit semalam. Cepat atau lambat kamu harus segera melepaskanku ..., Sasha." Pria itu berhenti sejenak. Mengukir senyum simpul pada wajahnya.

Sasha tak mau memroses informasi dari Fatih. Ia harus mengelak dan tidak boleh percaya. Matanya mengarah pada tas belanja yang dibawa Fatih. Pemilik robot itu, siapa pun orangnya pasti berharga bagi pria yang kini berjalan cepat di depannya.

"Pencuri," ucap Sasha dalam hati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel