Pustaka
Bahasa Indonesia

Pelaminan Kedua

62.0K · Tamat
Hamira Irrier
56
Bab
2.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Baju besar dan postur tubuh Dina yang tinggi cukup menyembunyikan janin yang jelas-jelas sudah mulai tumbuh di rahimnya. Ditambah kerudung yang menjuntai berhasil menutup semua. Di dunia ini hanya ia, ibunya dan Aina-keponakannya yang mengetahui fakta itu.

RomansaDosenDewasaPerceraianPernikahanMenyedihkan

Bab 1 Perang Dingin

Hari itu hari di mana kebahagiaan yang ia miliki terenggut dengan cara tak terduga. Tanpa penjelasan, suami yang sedang ia gugat cerai berhasil membawa putranya pergi. Pagi itu Dina tak ambil diam. Ia bergegas menghubungi Bu Rani-mertuanya di Grabag. Namun, perempuan yang melahirkan suaminya juga tak tahu ke mana Ardi membawa Raihan. Harapan Dina hilang sudah saat sebuah pesan mendarat di ponselnya. Pemberitahuan bahwa semua baik-baik saja. Sebuah omong kosong yang diberitakan oleh Ardi. Seketika membuat Dina seolah tak bisa lagi menopang kehidupannya.

Pagi itu Bu Maryam tak lagi memikirkan cucunya. Fakta bahwa putrinya mengandung lagi di saat masa cerai baru saja akan dimulai membuatnya terkapar rasa malu. Ia bahkan tak mau lagi bicara dengan putrinya. Setelah hari itu mereka membisu. Tinggal satu rumah tanpa

saling berkomunikasi hingga genap satu bulan. Baju besar dan postur tubuh Dina yang tinggi cukup menyembunyikan janin yang jelas-jelas sudah mulai tumbuh di rahimnya. Ditambah kerudung yang menjuntai berhasil menutup semua. Di dunia ini hanya ia, ibunya dan Aina-keponakannya yang mengetahui fakta itu. Lagi-lagi fase kehamilan yang dialami Dina tanpa morning sickness dan rasa mual seperti perempuan pada umumnya. Ia bisa menjalankan aktivitasnya seperti biasa tanpa gangguan berarti.

Masa kuliah sudah hampir selesai. Pengajuan proposal untuk tugas akhir juga disetujui. Ia hanya perlu melakukan penelitian dan rajin bimbingan. Sesuai dugaan, Fatih menjadi pembimbing utamanya. Meski Dina tak memilih langsung. Perempuan yang sedang menyembunyikan fakta memilukan belum siap saat harus menghadap Dosen muda yang jelas-jelas menantikannya. Dosen muda pemberi cinta dan sandaran saat ia berada pada titik terendah hidupnya. Namun, bisakah ia muncul dengan kondisinya sekarang? Apakah mungkin Fatih tak berubah pikiran? Dina hanya bisa menatap pedih pantulan dirinya yang suatu hari nanti harus percaya diri dengan perutnya yang membuncit.

***

Dina mengurungkan niatnya. Ia belum siap untuk memulai paragraf pembuka di tugas akhirnya. Hari ini ia lebih memilih fokus menjalani wiyata baktinya di sebuah SD. Bel tanda masuk kelas sudah berbunyi dan Dina baru saja sampai di sana. Tepat roda motornya menyentuh parkiran, Bu Citra melambaikan tangan. Meminta Dina masuk ke ruangannya terlebih dahulu.

"Mbak Dina, mau sampai kapan berangkatnya tidak tepat waktu?" tanya Bu Citra dengan nada lembutnya saat mereka sudah duduk bersama.

Dina menghela napasnya. Ia memang sudah melewati batas dalam hal kedisiplinan. Melepas pekerjaan itu jelas tak bisa sedang menjalaninya terasa berat di setiap harinya. Dina menegakkan tubuhnya.

"Saya janji ini terakhir, Bu. Akhir-akhir ini pikiran saya sedang kacau." Bu Citra mengulas senyum. Khas seorang pemimpin dengan penuh wibawa.

"Kalau begitu selesaikan dulu masalah Mbak Dina. Jangan sampai karena masalah pribadi terbawa sampai siswa siswi nanti." Perempuan itu paham betul dengan apa yang Dina hadapi. Ia juga mengerti bahwa putra dari Dina sedang dibawa mantan suami perempuan itu.

"Percaya saja, Mbak Dina. Mas Ardi tidak mungkin menyakiti Raihan. Bisa jadi Mas Ardi sedang mendidiknya."

Dina terhenyak. Bu Citra tahu kisahnya? Siapa yang bilang? Sendu mata Dina penuh tanya.

"Saya tahu semua. Ibu kamu sudah cerita dan meminta untuk memaklumi. Namun, sampai kapan Mbak Dina? Apa hal itu harus selalu ditanggapi dengan biasa? Sedang di luar sana banyak orang yang ingin menggantikan posisi Mbak Dina." Bu Citra membuat jeda pada kalimatnya. Membiarkan Dina memikirkan ucapannya. "Saya tahu yang dialami Mbak Dina tidaklah mudah, tetapi tolong tunjukkan profesionalisme Mbak Dina di sini. Sebentar lagi kuliah Mbak Dina selesai. Sayang sekali kalau sampai Mbak Dina tidak fokus mengajar. Meski jalan yang Mbak Dina lalui terjal bahkan curam, Mbak Dina tetap harus memikirkan masa depan. Mbak Dina masih sangat muda. Ada banyak lelaki yang nantinya bisa mencintai dan menyayangi Mbak Dina juga keluarga."

Dada Dina sesak. Ia belum pernah mendengar nasihat semacam ini. Apa dirinya begitu sombong sampai-sampai semua masalah ia pendam? Sampai-sampai ia tidak pernah meminta pendapat pada orang lain? Sekuat hati Dina menahan air mata. Sudah cukup waktunya ia habiskan untuk itu. Dina mengepalkan tangan. Mencari kekuatan yang masih tertanam.

"Semoga urusan Mbak Dina dipermudah. Nah, mulai minggu ini Mbak Dina wajib masuk dari Senin sampai Kamis tanpa jeda. Sisanya bisa Mbak Dina gunakan untuk mengerjakan skripsi." Bu Citra kembali mengulas senyum. "Saya beri waktu untuk Mbak Dina merenung. Sekarang Mbak Dina pulang dulu. Pikirkan baik-baik omongan saya. Jika lusa Mbak Dina punya jawaban berbeda, Mbak Dina boleh mengundurkan diri dari sekolah ini." Bu Citra mengungkapkan maksudnya di akhir kalimat. Desakan manajemen sekolah semakin sering untuk menuntaskan kasus Dina yang kerap alpha.

Dina mengangguk tanda setuju. Ia mengenakan kembali tas selempangnya dan berpamitan pada Bu Citra. Dari bangunan sekolah itu, ia menepi seorang diri. Melihat nomor kontak yang ada di ponselnya. Mencari orang yang bisa ia ajak bicara. Elisa? Elisa bukan lagi sahabatnya. Ia bahkan belum mampu membayar utang yang terus ditagih. Raka? Haruskah diam-diam bertemu Raka? Urusan terakhir kali saja membuat Raka harus pulang beberapa minggu ke kampungnya. Hingga akhirnya Elisa dan keluarganya menjemputnya. Kedua kakak perempuannnya? Apa bisa ia berbagi dengan keluarga yang sudah memiliki banyak problema? Dion kakak laki-lakinya? Pasti Dion mau membantu.

Dina mencoba menghubungi nomor kakaknya. Hanya suara operator yang merespons. Ia beralih ke nomor WA milik Nesya. Mengitakan sebuah pesan. Dan hanya ceklist biru saja tanpa ada balas secepatnya. Ia menyerah. Kakaknya tidak mungkin mau membantunya menyelesaikan masalah. Satu nama terlintas di kepala. Dina cepat mengetikan sebuah pesan. Ia harus memiliki sandaran meski hanya satu orang.

Ponsel Dina bergetar. Ia menggeser tanda terima. "Bagiamana Pak?" tanya Dina penuh tanda tanya. Ia baru saja mengirimkan pesan untuk Dosen muda itu.

'Kamu di mana?' Fatih tak kalah khawatir. Ia tahu Dina butuh bantuannya.

"Sekolah, Pak."

'Aku kirimkan alamat rumahku pakai google maps. Kamu bisa ngikutin arah di situ. Kita ketemu di sini saja,' terang Fatih dari sambungan udaranya.

"Rumah Pak? Tidak ada tempat lain?" Dina tak kalah gugup. Ia takut terjadi hal yang tidak diinginkan.

'Iya. Dari semua tempat, rumahku paling aman.' Fatih menutup teleponnya. Ia menanti kehadiran Dina.

***

Motor Dina pun melaju ke alamat yang dituliskan Fatih. Namun, tak begitu lama ponselnya bergetar kembali. Sebuah nomor yang tak ada dalam daftar kontaknya. Dina buru-buru menjawab panggilan itu.

"Hallo? Mas Ardi? Kamu di mana Mas?" sergah Dina sebelum Ardi membuka obrolan.

'Salam saja belum sudah main sambar saja. Assalamu'alaikum istriku,' sapa Ardi penuh rayu.

"Jawab aku Mas, kamu di mana? Raihan bagaimana kondisinya?" Kali ini Dina tak bisa lagi menyembunyikan keresahannya.

'Santai Dina sayang. Aku sedang di rumah kamu. Ini sama Raihan habis beli mainan. Ibu kamu belum pulang. Cuma ada Mbak pengasuh yang baru.' Dari panggilan itu tedengar Raihan berceloteh dengan mainannya.

"Tunggu aku, Mas. Jangan pergi dulu. Aku segera pulang. Tolong, Mas, jangan bawa Raihan lagi." Dina terisak. Ia tak bisa lagi menahan keresahan yang memuncak.

'Haha. Kamu bisa memohon sama aku juga? Kenapa tidak sekalian memohon untuk kita membatalkan gugatan?' tanya Ardi penuh sangsi.

"Aku segera pulang. Tunggu aku maksimal tiga puluh menit." Dina mematikan ponselnya. Ia bersiap melaju dengan motor bebeknya di jalan menanjak dan menurun untuk kembali ke rumahnya.

Raihan. Ia harus segera menyelamatkan Raihan. Dari jauh Bu Citra mengamati anak buahnya yang tampak begitu menyedihkan. Ia turut prihatin atas apa yang dialami putri sahabatnya itu.