Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 6-Sepahit Kopi Tanpa Gula

Hingga malam tiba rumah mewah di salah satu perumahan elit itu tetap ramai. Apa saja menjadi bahan obrolan dan sesekali mengundang gelak tawa. Menu makanan sajian Mbok Saniem juga tersaji nikmat. Memambah susasana hangat. Tepat pukul sepuluh, satu per satu anggota keluarga menuju kamar masing-masing. Menghabiskan sisa malam dengan beristirahat setelah melakukan perjalanan. Namun, tidak dengan Fatih. Ia justru menikmati suasana dingin di depan teras rumahnya. Pikirannya terus tertuju pada Dina Dinara. Perempuan yang tak henti membuatnya berbunga. Niat hati ingin sekali mengirimkan pesan dan berbagi panggilan. Namun, ia tak bisa melakukannya. Ada banyak batasan yang menghalangi mereka.

Sasha mengamati pria yang sudah lama menjadi tambatan hatinya memainkam ponsel. Saat semua sudah ada di sini, pria itu masih tetap fokus pada ponselnya, mengundang banyak tanya dibenaknya. Haruskah ia memulai percakapan berat yang ia nantikan? Haruskan ia menjadi perempuan yang terus menunjukkan cinta duluan? Sasha sama gundahnya dengan Fatih. Menatap punggung laki-laki itu dari gawang pintu.

"Loh, loh, loh. Ini Mbak Sasha ngapain ngelamun di sini?" Mbok Saniem datang dengan segelas kopi untuk Fatih. Atasannya itu menoleh. Matanya menangkap jelas sosok seorang Sasha.

"Nyari angin, Mbok, Biar seger," jawab Sasha sekenanya.

"Taruh ruang tamu aja, Mbok. Biar Fatih yang masuk." Fatih berdiri. Merapikan meja teras dan bersiap masuk ke rumah.

"Lah, piye to Mas? Katanya tadi di teras?" Meski bertanya Mbok Saniem tetap meletakkan segelas kopi itu di ruang tamu.

Fatih mengajak Sasha masuk kembali. Ia menutup pintu kemudian mengunci. Sasha sudah duduk duluan. Bersandar pada kursi sofa empuk di ruang itu. Ia tampak lelah tetapi juga tampak tak mau kalah dengan perasaan itu. Rindu menggebu bertemu Fatih mampu menguatkannya.

"Mau saya buatin kopi juga, Mbak?" tanya Mbok Saniem sebelum pergi kembali ke dapur.

"Gak, Mbok. Nanti barengan saja sama Kak Fatih." Mbok Saniem tersenyum penuh makna.

Fatih juga menyunggingkan senyumnya. Karakter Sasha masih saja sama meski mereka sudah dewasa. Fatih mendudukkan diri tepat di samping perempuan cantik itu. Mengambil segelas kopi dan menyesapnya. Dengan baik hati ia memberikan gelas itu pada Sasha.

"Makasih, Kak," ucap Sasha bergantian menyesap kopi itu. Dalam hati Fatih berhitung. Ia menunggu reaksi sahabat masa kecilnya itu. "Hueekk ... pahit, Kak!" seru Sasha lantas menyeka mulutnya.

Fatih terkekeh. "Seleraku udah beda, Sha. Sekarang lebih suka yang pahit daripada manis. Yang manis sudah terlalu sering aku konsumsi, takut diabetes."

"Jahat bener Kak, Sasha kan gak suka pahit," ungkap Sasha dengan muka sedih yang dibuat-buat.

"Lagian main minta segala. Udah bener mau dibikinin sama si Mbok." Fatih meraih kembali gelas kopi miliknya. Menenggak perlahan. Sasha mengernyitkan dahi. Mengingat sensasi pahit kopi tadi.

"Gak enak, Kak. Sumpah." Fatih kembali tersenyum.

"Belum tentu yang pahit itu tidak enak, Sasha. Bagi sebagian orang, pahit bisa jadi sebuah pelajaran berharga. Jika dalam kehidupan kita tak ada rasa pahitnya sama sekali, kita hanya akan terus puas dengan semua yang kita punya. Tidak ada pelajaran juga dalam kehidupan. Gak ada taste yang mendebarkan." Fatih memulai obrolan beratnya untuk Sasha. Ia begitu yakin akan ucapannya.

"Kalau ada yang manis ngapain pilih yang pahit, Kak?" Sasha membantah ucapan pria yang di matanya sangat rupawan.

"Pilihan pahit selalu datang bersama tantangan. Hal baru dan risiko tinggi untuk menjalani. Kopi dan kehidupan sama-sama sebuah pilihan, Sha. Sesekali mencecap kopi pahit bisa membuat kita lebih bisa mengambil makna yang tersirat dari kehidupan kita." Dosen muda itu menunjukkan keahliannya.

"Aku gak paham maksud Kakak." Sasha menghempaskan tubuhnya pada ujung sofa.

"Bisakah kamu menerima hal pahit di hidupmu, Sasha? Dan andai itu benar terjadi, apa kamu bisa bertahan?" Fatih tak berani menatap wajah gadis muda itu. Ia tak sampai hati andai keputusannya nanti yang pertama bagi Sasha.

Sasha menggeleng. Seingat dia segalanya tidak ada yang pahit. Ia terlahir dengan sendok emas dan kemudahan dalam menjalani hidupnya. "Nothing," jawab Sasha dengan mata yang mulai berat.

Fatih menoleh. Mengamati Sasha yang mulai menguap. "Dah, tidur dulu. Istirahat yang cukup. Besok kita ngobrol lagi."

Sasha hanya mengangguk. Ia meninggalkan Fatih di ruang tamu. Sebenarnya kepalanya menangkap semua makna pahit yang disampaikan Fatih. Namun, dirinya belum siap menerima. Lewat angin malam yang menderu, Sasha mulai tahu. Kenapa lelaki itu selalu menunda pembahasan pernikahan mereka. Pintu kamar tamu berderit. Sasha menutupnya. Tubuhnya merosot hingga lantai. Seluruh tulangnya serasa patah dengan apa yang baru saja didengarnya.

***

Dina memastikan tak ada yang kurang untuk perjalanannya bersama Bu Maryam. Meski bukan weekend dan mengharuskan ibunya izin, mereka tetap melakukannya. Semalaman perempuan itu memikirkan keputusan terbaik yang akhirnya ia ambil, meski penuh risiko. Desakan perempuan yang sudah melahirkannya itu, membuatnya berani. Kali ini Dina tak meninggalkan Raihan begitu saja. Ia sengaja membawa bocah kecil itu sebagai wujud kasih sayangnya setelah lama tidak bersua. Satu minggu diberi kesempatan memikirkan apakah lanjut wiyata atau tidak benar-benar ia manfaatkan. Termasuk menjalin kedekatan lagi dengan Raihan.

"Yakin Raihan mau diajak?" tanya Bu Maryam tak suka dengan pilihan putrinya.

"Mau terjadi hal yang tak diinginkan lagi, Bu? Dina takut Mas Ardi kembali mengambil Raihan."

"Ya sudah. Semoga saja dia tidak bikin rusuh." Bu Maryam berjalan cepat. Mereka bertiga menuju gang setelah driver mobil online memberitahukan kedatangan.

Dari mobil online ini mereka hanya perlu transit di terminal dan berpindah menaiki bus besar. Kota Gudeg menjadi tujuannya. Sepanjang perjalanan pikiran Dina tak tenang. Apa keputusannya tidak keliru? Apa ini yang terbaik untuk kehidupannya? Dina mengalihkan pandang pada kaca mobil. Tetes demi tetes bulir bening mulai keluar. Ia buru-buru menyekanya.

"Tidak sewa saja sekalian sampai Jogja, Bu? Yakin mau naik bus besar?" tanya pengemudi yang mencoba menetralkan suasana hening.

"Ndak, Mas. Antar sampai terminal saja pokoknya." Bu Maryam urusan hitung menghitung selalu teliti.

Mobil sedan keluaran terbaru sampai di terminal kota. Mengantar dua perempuan yang hendak melakukan penebusan dosa atau justru sebaliknya. Dina kembali menilik hati terdalamnya. Benarkah sekotor itu nurani yang ia punya? Pantaskan seorang manusia berpikiran demikian? Suara bising kendaraan seolah tak terdengar oleh Dina. Ia nyaris seperti mayat kering yang tak bisa berjalan di bumi. Tepat sebuah bus besar berhenti, langkah Dina goyah. Ia gamang dan ingin meninjau ulang. Namun, suara Bu Maryam menegaskan.

"Dipikirnya kalau sudah di sana. Sekarang yang penting kita sampai dulu." Bu Maryam menarik tangan Dina. Ia tak mau lagi putrinya meragu begitu saja.

Dina menapaki bus besar dengan kursi penumpang yang masih lengang. Zaman sekarang orang lebih memilih menaiki mobil pribadi atau memesan taxi online. Namun, tidak untuk Bu Maryam. Beliau lebih suka mempertahankan gaya kuno. Beliau juga yakin keputusan yang ia ambil tak lain demi kebaikan putrinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel