Bab 5-Cinta Pertama Gadis Muda
Di ruang tamu dengan dua cangkir teh hangat yang mulai mendingin, seorang lelaki fokus menatap langit-langit. Dia tak lagi memikirkan alasan perempuan pujaannya tidak jadi datang. Perlahan teh dicangkirnya ia tenggak. Menghabiskan keduanya dengan tersenyum saat membayangkan apa yang akan ia hadapi. Akhir pekan mamanya akan datang. Pasti membahas perihal pernikahan dengan Sasha-gadis muda yang sejak lama berada di sisinya. Terus menerus menolak membuat mamanya bertolak ke Magelang. Jika sampai hari penentuan tiba, ia tak bisa membawa calon istri ke hadapan mamanya, rencana besar kedua keluarga akan segera terlaksana. Fatih mengacak rambut rapinya. Ia benar-benar harus segera mengonformasi apakah Dina mau diajak ta'aruf dan langsung menikah tanpa ikatan tidak perlu terlebih dahulu. Jika tidak ia tidak punya kesempatan lagi. Pilihannya hanyalah menikahi Sasha yang sudah lama hadir di hidupnya.
Ponsel Fatih bergetar. Sebuah pesan bergambar meluncur dari pengirim yang tak pernah alpha memberikan perhatian padanya.
Sasha : Aku sudah sampai bandara, Kak, sama Mama. Jangan lupa jam empat sore jemput, ya.
Pesan itu ditambahi dengan foto Sasha di dekat pesawat. Tergambar jelas wajah manis dengan gigi putih. Seketika senyum merekah yang sempat ada di raut muka Fatih menjadi gundah. Hari ini? Cepat sekali? Ia menekan panggilan video pada nomor mamanya. Dan tidak terhubung sedikit pun. Mereka kompak membuat kejutan.
"Mbok, Mbok," panggil Fatih sembari berjalan ke arah dapur. Mencari Mbok Saniem untuk menyiapkan keperluan keluarganya.
"Ya. Gimana, Mas?" Mbok Saniem selalu cekatan saat berurusan dengan atasannya.
"Kamar tamu diberesin. Mamah, Sasha sama Nenek lagi naik pesawat. Bentar lagi nyampe Jogja. Fatih mau jemput dulu."
"Lah, sekarang Mas? Gak jadi minggu depan?" Mbok Saniem tak kalah heran.
"Iya, sekarang. Makanya Mbok siap-siapnya cepet. Fatih juga mau berangkat, nih." Sekilas atasan Mbok Saniem melihat jam tangan dipergelangan tangan. Ia bersiap menjemput keluarganya.
Fatih melajukan mobilnya. Meninggalkan Mbok Saniem dan tugasnya. Sebelum berangkat ke bandara ia memilih menepikan mobilnya ke sebuah toko bunga. Membeli beberapa tangkai mawar putih kesukaan mamanya. Baginya wanita yang wajib ia cinta pertama dan paling utama adalah mamanya. Memandang aneka jenis bunga di salah satu florist di jalanan kota membuatnya memikirkan kembali permintaan mamanya.
“Cepat pulang, Fatih. Mama sudah ingin kamu segera melamar Sasha. Gadis itu sebentar lagi lulus dari jurusan bisnisnya di luar negeri. Jangan sampai Sasha pulang ke Indonesia demi kamu, tapi kamu malah gak mau pulang ke Bandung.” Kalimat mamanya terus terdengung di telinga Fatih.
Tak ada yang salah dari Sasha. Gadis itu tulus mencintainya sejak mereka masih sering berantem saat reuni kantor kedua orang tuanya. Harusnya Fatih segera menyatakan cinta dan meminangnya. Namun, perasaan Fatih pada gadis itu tak pernah berbeda. Ia selalu menganggap Sasha adalah adiknya. Menjadi anak tunggal dan mendapatkan Sasha yang selalu membuntutinya membuat Fatih tidak bisa menumbuhkan cinta.
“Ini Pak, sudah selesai. Bisa langsung dibawa,” ucap penjual bunga di toko langganannya.
“Makasih, Pak. Harga masih sama?” tanya Fatih setelah mencium harum mawar putih pilihanya.
“Sama, Pak. Seperti biasa.” Penjual bunga berseru senang. Ia bahkan sering mendapat banyak orderan dari Fatih.
“Baik, Pak. Ini, ya. Kembalian diambil saja.” Fatih berlalu saat penjual bunga mengucap terima kasih padanya. Mawar putih nan suci ia letakkan di jok belakang mobil. Nanti sore tiga wanita yang mengelilinginya akan duduk bersama.
Perjalanan menuju bandara Adi Sucipto Yogyakarta terasa lama. Selain karena macet di beberapa titik juga karena fokus Fatih sedang terbagi. Ia tak mungkin bisa mengenalkan Dina sebelum memastikan apakah perempuan itu mau menjadi istrinya. Ia juga belum bisa menyatakan penolakan perjodohan yang sudah berlangsung lama. Pikiran Fatih kacau seketika. Suara penyanyi terkenal dari frekuensi radio mobilnya sedikit membuatnya terhibur.
"Maka izinkanlah aku mencintaimu atau boleh kah aku sekedar sayang padamu." Suara Ariel Noah menggema, membuat Fatih memikirkan makna liriknya.
Ya. ia hanya perlu menyayangi Dina setulus dan semampu yang ia bisa. Bahkan status Dina beserta Raihan tak membuat perasaannya berkurang. Bukankah itu bukti cinta yang tulus adanya? Tanpa pamrih dan harap lebih selain bisa bersanding bersama? Fatih terus menghayati setiap lirik lagu itu. Ia berhasil mmbuat opsi terbaik yang akan ia pilih nanti.
Mobil Fatih melaju. Tak masalah ia datang duluan dan harus menunggu. Baginya jauh lebih baik dibandingkan terlambat. Mobil Fatih berhasil terparkir di area bandara. Ia menenteng mawar putih untuk wanita terkasihnya. Ponsel miliknya ia keluarkan. Memberikan informasi tentang posisinya kini. Lagi-lagi Fatih memilih nomor mamanya bukan nomor Sasha.
Dari kejauhan tiga wanita dengan dua koper dan tas pakaian berukuran sedang menuju ke arah di mana Fatih menunggu. Menyadari mereka segera sampai, Fatih berlari. Menghampiri perempuan yang sudah lama ia rindukan.
“Hai, Ma, gimana kabarnya?” Fatih menyalami punggung tangan wanita dengan rambut potongan bob lurus.
“Baik, Sayang. Kamu gimana?”
“Baik juga, Ma. Ah, ya ini buat Mama.” Buket bunga yang ia beli ia tunjukkan.
Mama Fatih menerima dengan senang. Mencium sedikit ujungnya lantas berkata, “Makasih Sayang, kamu emang anak Mama yang paling baik.”
“Emang anaknya ada berapa Tante?” timpal Sasha yang sejak tadi tak disapa.
“Ah, iya jadi lupa. Bentar lagi anak Mama jadi dua dong sama kamu.” Mama Fatih tersenyum manis.
“Hai, Kak,” sapa Sasha dengan senyum terhias di wajahnya.
“Hallo ... Nenek gak sakit punggung, 'kan?” tanya Fatih menyadari neneknya mulai terlihat lelah.
“Cepetan. Nanti kangen-kangennya bisa kok di rumah,” ucap Nenek Fatih.
Fatih pun meraih koper yang dibawa mamanya. Ia menggandeng neneknya. “Ayo, Nek. Kita ke mobil duluan.” Mama Fatih dan Sasha hanya bisa tersenyum mengamati sikap Fatih yang begitu penyayang dengan anggota keluarganya.
Hari ini rumah di salah satu perumahan elit di kota Magelang akan sangat ramai. Jika biasanya pemilik rumah sibuk dengan kegiatan mengajarnya di kampus, tidak untuk minggu ini. Fatih terkenal sebagai Dosen yang tidak bisa diganggu gugat jadwalnya saat sedang ada keluarganya. Apa pun ia batalkan dan tunda segera demi bersama keluarganya. Prinsipnya keluarga adalah nomor satu. Konsekuensi tidak mau tinggal dekat dengan keluarga membuatnya berusaha memberikan pelayanan terbaik saat keluarganya berkunjung.
Mobil Fatih bersiap kembali ke Magelang. Dengan riuh dan tawa tiga penumpang di dalamnya.
Sasha terus mengamati jalanan dari Jogja ke Magelang. Mengudarakan angan dan khayal. Bahkan dari segi fasilitas Bandung jauh lebih mumpuni. Dari segi kemudahan mendapatkan uang juga sama. Di Bandung Fatih tak perlu memikirkan masalah itu. Posisinya jelas langsung tinggi jika ia mau terjun ke perusahaan orang tuanya. Namun, Fatih menolak itu semua. Berdiri sendiri di kota kecil tempat kelahirannya. Menjalani profesi yang bagi sebagian anggota keluarganya tidak mentereng.
“Apa benar hanya karena Nenek yang memilih tinggal sendiri dan tidak mau ke Bandung? Atau karena alasan tertentu sampai Fatih tetap nyaman tinggal di kota itu?” Sasha terus mengungkapkan tanya dalam hatinya. Ia mengamati pria yang tengah memegang kemudi di sampingnya. Cinta pertama yang sulit ia lupakan dan tak akan tergantikan.
