Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4- Sebuah Permintaan

Genap punggung tetangganya yang membuat geram tak terlihat dari teras, Bu Maryam bergegas masuk. Mengunci pintu dan memastikan tak ada lagi orang yang bisa menganggu. Bahkan di daerahnya dinding pun bisa mendengarkan obrolan mereka. Mengabarkan dari satu tempat ke tempat lain. Menjadi bahan gunjingan serta santapan mantap saat belanja di tukang sayur atau tukang bubur keliling. Semuanya manggut-manggut begitu salah satu anggota grup rumpi membawa gosip baru. Dulu Bu Maryam sama dengan mereka. Namun, saat usianya tua, ia sudah taubat. Sudah bosan melakukan hal seperti itu.

“Dasar ibu-ibu gak tahu malu. Ngomong seenak sendiri saja,” ungkap Bu Maryam setelah selesai mengganti baju dinasnya. Baju rumahan gamis panjang dan kerudung terusan berukuran sedang. Ia tak pernah meninggalkan kerudungnya di mana pun berada.

Selepas ini ada banyak hal yang ingin ia bicarakan dengan putrinya. Satu bulan mendiamkan satu-satunya anggota keluarga yang tinggal satu rumah membuatnya lelah. Bu Maryam merasa perlu mendiskusikan perihal yang membuatnya kepikiran. Bu Maryam beranjak dari kamarnya. Ia menyempatkan diri melihat Dina dan Raihan di kamar mereka. Mengulas sedikit senyum.

“Ibu tunggu di dapur, Din. Pastikan Raihan sudah terlelap.”

“Baik, Bu.” Dina berseru senang.

Kepulangan Raihan membuka jalan untuk bicara dengan ibunya yang kejam. Dina terus mengusap punggung Raihan. Bocah kecil itu berbaring membelakangi ibunya dan mendekap guling. Ia tampak begitu nyaman. Setelah memastikan putranya terlelap, Dina beranjak dari kamarnya. Memenuhi perintah Bu Maryam.

Kursi pendek yang hanya tersisa dua Dina ambil satu. Ia mendudukan diri dan bersiap membuka percakapan dengan ibunya. Sebuah pisang goreng buatan asisten rumah tangga baru di rumah itu, ia ambil. Perlahan Dina mengunyahnya.

“Enak?” tanya Bu Maryam seraya mengambil pisang tersebut juga.

“Enak, Bu. Cuma agak asin.”

“Asin? Yang bener?” Dina mengangguk. Bu Maryam mencoba sedikit potongan pisang goreng dan merasakan hal yang sama. Sontak ia menggeleng.

“Kenapa, Bu?” tanya Dina melihat ekspresi aneh ibunya.

“Mau gimana lagi yang mau tinggal cuma Mbak Ningsing aja. Yang lain sudah termakan omongan duluan.” Bu Maryam mengingat masa sulitnya mencari asisten rumah tangga. Pengasuh Raihan yang dulu mengambarkan banyak hal tidak mengenakan tentang keluarganya.

“Gak apa-apa, Buk. Nanti bisa kita bantu Mbak Ninhsih, ya.”

Lengang. Mereka menghabiskan pisang dalam diam. Sambil menunggu Mbak Ningsih selesai menanak nasi dan mengarahkannya untuk menjaga Raihan di kamar. Bu Maryam ingin memulai obrolan penting yang sudah lama ia pendam. Bu Maryam menenggak minuman teh pahit yang ia buat sendiri. Ia meletakkan gelasnya pada meja dan mulai berbicara.

“Tadi Fatih yang nelpon?”

“Iya, Buk.”

“Bagaimana perkembangannya? Apa dia sudah menyatakan cinta?” tanya Bu Maryam lugas.

“Maksud Ibu?”

“Lah kalian, kan dekat. Jadi apa dia sudah menyatakan cinta untukmu?”

“Kami hanya dosen dan mahasiswa, Buk. Tidak lebih.” Dina cepat membantah pertanyaan ibunya.

“Oke, saat ini hanya begitu hubungannya. Siapa tahu dengan sidang kamu selesai dan status kamu sudah berubah, dia mau menyatakan cinta.” Bu Maryam berharap besar pada pria itu. Pria yang jelas-jelas menyukai putrinya sejak masih menjadi istri.

“Tidak seperti itu, Bu. Kami hanya sebatas rekan saja.” Dina tak mau mengiyakan ucapan ibunya. Hatinya kukuh menolak segala macam bentuk paksaan.

“Dibilangin kok susah banget kamu Din. Kamu sudah periksa kandunganmu? Bagaimana kondisinya? Apa benar-benar sudah gugur?” tanya Bu Maryam tanpa lagi peduli.

Dina menggeleng. Ia belum memeriksakan dan belum juga memastikan. Obat pelancar haid, buah nanas dan aktivitas berat yang ia lakukan belum membuahkan hasil. Setiap malam bisikan kuat selalu mengusiknya seolah meminta agar ia tak dilenyapkan dari rahim ibunya. Dina juga tidak mau menjadi perempuan yang tak mau menerima takdirnya sendiri. Ia siap dengan segala macam konsekuensi.

“Nah, Ibu pastikan anak itu kalau dibiarkan terus akan menghalangimu. Kamu tidak hanya janda beranak satu tapi bahkan hamil saat masa cerai berlangsung. Bagaimana kata orang nanti? Mau ditaruh mana muka keluarga kita?” Mata Bu Maryam menatap tajam putrinya. Ia memang ingin mengatur kehidupan putrinya.

Dina tertunduk kembali. Hatinya pedih saat kata-kata itu meluncur justru dari ibunya sendiri. Memangnya apa yang salah? Itu sebuah kecelakaan. Ketidaksengajaan yang disebabkan suaminya. Dan hadirnya janin di rahimnya juga tidak akan mengubah keputusan. Ia sanggup serta kuat membesarkan kedua anaknya nanti. Ia bisa menjaga dan memastikan mereka hidup layak.

“Nangis tidak akan jadi solusi, Dina. Kamu harus mulai memikirkannya.” Bu Maryam mencoba mengendalikan putrinya.

Dina mendongak. “Dina ndak mau diperintah, Bu. Dina gak suka dipaksa-paksa.”

“Ini bukan perintah, Dina. Ini permintaan. Permintaan seorang Ibu pada putrinya.” Dina semakin tak bisa menahan kesedihannya.

Baru saja ia merasa hidup dan menapak di bumi dengan kehadiran Raihan. Dunianya sudah runtuh kembali. Apa salahnya menjadi janda dengan kondisi tak biasa seperti dirinya? Mata Dina terus berair. Bel pintu rumah membuyarkan fokus mereka. Mbak Ningsing membuka dan mempersilakan tamu yang sudah akrab dengannya menuju dapur. Kinasih membawa bingkisan untuk ibunya.

“Ada apa, Din? Kenapa menangis?” Kinasih menyalami Bu Maryam. Ia heran dengan sikap adiknya. Dina menggeleng. Tak bisa ia menceritakan semuanya sekarang.

“Kenapa, Buk? Ada apa lagi?” Kinasih beralih menatap ibunya. Bu Maryam tersenyum. Ia tipe perempuan pengotrol segalanya.

“Dina hamil lagi, Sih.” Ucapan Bu Maryam menggema di langit dapur itu.

“Buk,” ucap Dina lirih.

“Tidak apa-apa. Kinasih juga kakak kamu. Dia berhak tahu. Ibu tidak akan lagi menutupi. Siapa tahu dia punya solusi untuk urusan ini.”

“Sebentar, Kinasih gak paham, Bu. Hamil? Dengan siapa? Bukannya mereka sudah tidak tinggal bersama. Apa mungkin dengan laki-laki lain?” Kinasih membekam mulutnya. Ia tak percaya dengan kenyataan yang ada. Pikirannya berlarian dan macam-macam.

Dina semakin merasa dirinya disudutkan. Orang terdekatnya juga berpikir demikian apalagi orang-orang di luar keluarganya. Dina semakin terisak. Kali ini dadanya terasa sesak. Kinasih beralih mendekat pada adiknya. Mendekap serta menenangkan Dina. Ia benar-benar pandai memainkan peran. Sejatinya hatinya tertawa. Merasa aneh sekaligus menerima berita bagus.

“Bukan dengan laki-laki lain, itu tetap anak Ardi. Cuma Dina tidak mau melanjutkan pernikahan. Praktis saat anak itu lahir akan menjadi bahan gunjingan. Kamu paham, kan, Kinasih?”

“Ya, Bu. Ya, Kinasih paham. Nanti kita cari solusi sama-sama. Kalau perlu kita libatkan Ardi.” Mulut Kinasih merangkai saran. Ia tetap menenangkan adiknya. Dina menggeleng. Ia tidak mau melibatkan Ardi lagi. Cukup dirinya saja yang terbebani. “Gak boleh gitu, Din. Kalau memang kamu mau mempertahankan anak itu kamu harus meilibatkan suamimu. Jangan biarkan anakmu lahir tanpa seorang ayah. Mbak yakin Ardi akan memaklumi.” Kinasih benar-benar menjadi seorang kakak yang baik.

Dina terus menggeleng. Ia tidak mau melibatkan Ardi. “Permintaan Ibu, Dina terima. Kapan Ibu akan mengajak Dina?” Bu Maryam terhenyak. Ia sudah punya rencana besar untuk putrinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel