Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3 Kembalinya Perasaan Tak Menentu

Dina terus mengamati tubuh putranya. Ia bahkan tak bisa membayangkan apa yang dilalui bocah laki-laki itu. Sebuah es cream yang masih disimpan di freezer miliknya mencairkan suasana. Membuat mereka tersenyum beriringan dengan air mata.

“Enak?” tanya Dina penuh haru. Raihan hanya mengangguk. Tangannya tak berhenti menyendok es di dalam cup itu. “Ibu ambilkan minum, ya. Biar gak batuk.” Raihan menggeleng. “Kenapa?”

Bocah laki-laki itu hanya tersenyum. Bisa jadi ia ingin tetap ditemani. Perlahan tangan Dina mengusap lembut rambut putranya. Membayangkan harus kehilangan Raihan selamanya membuatnya tak percaya saat bisa bersanding kembali. Raihan Ranu Raja adalah separuh jiwanya.

Pintu samping rumah itu berderit. Akses utama penghuni utama menujukkan kehadiran pemilik sebenarnya. Bu Maryam mengucap salam lewat pintu samping. Biasanya ia langsung ke kamar dan tidak menyapa Dina. Setelah Bu Maryam tahu kondisi putrinya yang sebenarnya. Karena tak ada yang lebih menyakitkan lagi baginya selain mengerti tentang fakta putrinya berbadan dua.

“Mbah Putri pulang, Nak,” ucap Dina setelah menjawab salam. Nyaris saja Bu Maryam tak memerhatikan keberadaan Raihan. Namun, ekspresi wajah Dina membuatnya berhenti tepat saat bocah kecil itu menjatuhkan es cream di genggamannya.

“Raihan,” panggil Bu Maryam pelan. Ia membekam mulutnya tak percaya dengan keberadaan cucunya.

“Mba—h ...” Raihan tak kalah senang. Bisa berkumpul kembali bersama keluarganya.

“Mana Ardi? Ibu mau bicara sama dia.” Bu Maryam memang berniat melancarkan serangan balasan. Ia ingin sekali mengumpat pria yang akan memberinya dua cucu.

“Sudah pulang, Buk. Mas Ardi hanya mengantar Raihan.” Dina berbohong. Ia tak mau ibunya terlalu banyak tahu. Beberapa menit mereka bertiga larut dalam keharuan. Tak ada lagi perasaan kesal di hati wanita paruh baya itu.

Ponsel Dina berdering. Menginterupsi keharuan di rumah itu. Kali ini Dina sadar di mana meletakan ponselnya. Ia meraih tas dan mengangkatnya.

“Ya, Pak. Bagaimana?” tanya Dina tetap di ruang tengah bersama Raihan dan Bu Maryam.

‘Kamu tidak jadi datang?’ Dari rumahnya yang sudah dirapikan Fatih juga bertanya.

“Astaghfirulloh, saya lupa, Pak. Saya ndak ingat kalau ada janji sama Bapak.” Bu Maryam mengangkat alisnya. Ingin tahu dengan siapa putrinya bicara. Dina pun menutup sejenak ponsel dengan tangannya. Menjauhkan agar ucapannya tak didengar. “Pak Fatih, Buk.”

“Oh ... ya, ya. Lanjutin Din. Biar Raihan sama Ibu.” Bu Maryam menggendong Raihan. Ia memberi keleluasaan pada Dina.

“Maaf, Pak. Hari ini saya tidak bisa datang. Saya sudah sampai rumah lebih awal,” ucap Dina. Suaranya terdengar lebih ringan.

‘Kenapa? Ada masalah mendadak?’ Fatih tak mau hilang kesempatan. Ia ingin lebih mengetahui segala sesuatu tentang Dina.

“Tidak, Pak. Ada kabar bahagia. Hari ini Raihan pulang.” Dina berseru senang. Memang tak ada yang lebih melegakan baginya selain bisa kembali bertemu dengan putranya.

‘Serius, Din? Alhamdulillah. Ya sudah, kamu lanjutin dulu aktivitasmu. Maksimalkan waktu yang ada biar Raihan juga senang.’ Fatih menutup obrolannya dengan Dina. Ia tak mau menjadi penganggu di kebahagiaan perempuan itu. Meski ada perubahan dari getar suaranya.

Dina meletakkan ponselnya di atas meja. Ia bersiap menyusul Raihan dan Bu Maryam. Sebelum itu ia sengaja memberikan kabar pada kerabatnya. Bahwa Raihan sudah kembali bersamanya. Atmosfir bahagia menyelimuti rumah Dina. Membuat suasana nyaman kembali hadir di sana. Namun, tak ada yang tahu pasti. Itu hanya sementara atau bertahan selamanya.

Dina melanjutkan langkahnya menuju tempat putra dan ibunya berada. Pohon jagung di halaman rumah itu sudah waktunya dipanen. Kepiawaian Bu Maryam menanam dan merawat memang tiada tanding. Apa saja di tanganya selalu menjadi lebih baik. Ia merasa mampu mengatur segalanya termasuk tumbuh dan matinya setiap tanaman di kebun miliknya. Baginya semua hal buruk, kesialan serta ketidaksesuaian yang terjadi dalam hidupnya bukan mutlak karena faktor dalam dirinya sendiri. Melainkan faktor dari orang lain.

Raihan tak bicara banyak. Ia menjadi semakin pendiam. Entah hal apa yang dialami bocah kecil itu sampai keceriaannya seperti terenggut akan sesuatu. Wajar saja. Tinggal bersama ayah tanpa hadirnya seorang ibu pasti memberatkan baginya yang masih balita. Dina menatap punggung kedua orang terkasihnya dari jendela kaca dengan teralis yang melindungi. Ia merasakan betul kasih sayang Bu Maryam terhadap putranya. Darah memang selalu lebih kental. Ikatan itu tak akan pernah bisa saling meninggalkan. Selalu ada keterkaitan di sana.

“Ehem, asyik sekali sama Mbah Putri, Raihan,” ucap Dina seraya duduk di kursi panjang. Ia tahu satu bulan berlalu tak bertegur sapa dengan ibunya membuat canggung suasana.

“Jelas, ya Han. Mbah Putri selalu baik sama Raihan,” timpal Bu Maryam sembari memeluk cucunya. Mereka bertiga menatap lurus pohon jagung.

“Wah, Nak Raihan sudah pulang liburannya?” Tetangga rumah yang biasanya tak pernah peduli dengan apa pun kejadian di rumah itu menyadari saat Bu Maryam terlihat memangku Raihan dari terasnya. Ia mendekat, menyambangi rumah Bu Maryam.

“Iya, Bu. Sudah diantar sama ayahnya. Kelamaan liburan gak baik juga katanya.” Bu Maryam selalu pandai memainkan peran. Tak mau rumor yang beredar semakin menyudutkan keluarganya ia menutupi dengan membuat semua tampak baik-baik saja.

“Tuh, Mbak Dina. Gak kasihan apa sama anak. Mbok gak usah cerai saja. Dibatalkan dulu itu sidangnya. Rujuk lagi sama Mas Ardi. Biar bisa kumpul terus sama-sama,” timpal tetangga yang terkenal mulutnya bicara sembarangan. Dina tersenyum canggung. Ia tak mau meladeni sebenarnya.

“Banyak kok, Bu orang bercerai tapi baik-baik saja. Tidak perlu terus-terusan bersama kalau ujungnya gak cocok juga. Yang penting komunikasi keduanya soal anak tetap terjalin baik.” Bu Maryam tak mau kalah. Lebih baik ia menginjak daripada diinjak.

“Oh, gitu, ya. Lagian juga Mbak Dina masih muda, cantik pula. Janda anak satu yang ndeketin juga tetep banyak, ya Bu. Ada yang bawa mobil juga, kan?” ejek tetangga mereka yang selalu terkenal nyinyir pada siapa saja.

“Nah tepat sekali, Bu. Cuma semuanya tetap harus sesuai aturan. Nunggu sidang kelar dan beres baru memikirkan kedepannya, Bu.” Bu Maryam menyunggingkan senyum sinisnya. Obrolan basi dengan tetangga tak perlu lagi diteruskan. Sejak awal mereka adalah pendatang.

Pak Zahir dan Bu Maryam orang perantauan. Obrolan tetangga dan Bu Maryam terhenti saat Dina memilih masuk kembali sembari membawa Raihan. Yang dilihat selalu soal penampilan. Yang dipandang selalu soal kemapanan. Fokus ibunya tak pernah berubah. Menjadikan dirinya tak ubahnya sebuah barang yang bisa dijual. Dina tak mau memikirkan banyak hal yang memberatkan. Ia sedang ingin fokus merasakan kebahagiaan atas kehadiran Raihan. Tiga bulan lagi statusnya akan berubah. Menjadi janda dengan satu anak sesuai dengan ucapan mereka.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel