Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2- Tanda Tanya

Tanpa berpikir panjang Dina memacu motornya kencang. Rumah bercat biru dengan pohon jagung di depannya menjadi tujuan utama. Rasa gugup tak bisa dipungkiri lagi. Perempuan yang tengah berbadan dua itu ingin segera sampai dan bertemu dengan putranya. Tidak ada lagi waktu tambahan. Jika terlambat satu detik saja ia akan kehilangan kesempatan dan menyesal selamanya. Tiga puluh menit waktu yang ia butuhkan terasa lambat. Meski gas di tangan kanannya sudah ia tarik lebih ke dalam. Perempuan dengan baju gamis dan jilbab cukup lebar melawan angin dari arah berlawanan. Tak peduli lagi dengan lalu lalang di jalanan dan bahaya yang menghadang.

Dina menginjak rem saat ia berhasil sampai di depan rumahnya. Melepas helm dan meletakannya pada spion. Bergegas masuk ke rumah yang menjadi saksi setiap derai air mata miliknya. Jantungnya berdegup kencang. Keringat mulai mengalir di dahinya. Telapak tangan juga basah seperti terkena minyak. Sedang tubuhnya mendapat serangan tremor.

“Bismillah. Lahaula Walakuata Illabillah,” ucapnya lirih. Ia menangkupkan tangannya pada dada. Memastikan jantungnya masih berada pada tempatnya. Dina mengucap salam dengan pelan. Ia memilih pintu depan yang memang sudah terbuka.

“Hai, Din. Tepat tiga puluh menit,” ucap Ardi dengan mengangkat kaki dan menyilangkannya dengan posisi duduk di sofa tamu. Dina menunduk. Ia tak berani menatap wajah itu, lebih tepatnya menolak melihatnya.

“Raihan mana, Mas?”Ardi tersenyum sinis saat mendapati Dina tak menatapnya sama sekali.

“Lihat aku dulu, Din. Tidak begitu juga bertemu calon mantan suami.” Ardi bangkit dari posisi duduknya.

Bocah kecil dengan mainan robot di tangannya keluar dari kamar mandi bersama pengasuh baru di rumah Dina. Ia berjalan pelan menuju ibunya yang ia rindukan. Dina tak kuasa meloloskan tangis. Buru-buru berlari seraya berhambur memeluk tubuh mungil itu. Dina menekuk lututnya.

“Riahan anak ibu, Raihan anak ibu, kamu baik-baik saja sayang?” tanyanya sambil meraba seluruh tubuh putranya. Memastikan tak ada yang kurang seperti sebelum mereka berpisah. “Kamu kenapa kurusan, Nak? Gak pernah makan?” tanya Dina lagi berpindah memegang pipi Raihan.

Tangan Raihan menyambut usapan itu. Mata beningnya yang suci berair. Ia juga merindukan ibunya. “Ibu, Ibu ...,” ucapnya pelan. “Aihan, kangen,” imbuhnya dengan nada pilu. Dina semakin menderaskan tangis. Direngkuhnya kembali putranya dalam peluknya.

“Maafin Ibu, Nak. Maafin, Ibu.” Dina terus meminta ampunan pada putranya.

Ardi mematung di gawang pintu penghubung ruang tengah dan tamu. Hatinya juga terasa ngilu. Terlebih saat setiap malam menyaksikan putranya merengek selama masa pelarian. Ia tak tahan saat akhirnya Raihan mencoba kabur dan meninggalkan kontrakan. Sebuah tangga penghubung dari rumah kontrak itu hampir saja merenggut nyawa putranya. Ardi mengusap wajah. Mendekatkan langkah pada Dina dan Raihan.

Refleks Dina melindungi putranya.

“Tidak, kamu tidak boleh membawanya lagi!” seru Dina saat Ardi hendak mendekat pada mereka.

Ardi mendecih. Kebencian istrinya tak bisa lagi ditahan. Mungkin bagi Dina kini, ia hanyalah sesosok monster menakutkan. Tangan Ardi berusaha meraih Raihan. Secepat mungkin Dina menepisnya.

“Pergi kamu, Mas! Pergi dari sini!” Dina mulai tak bisa menguasai diri. “Aku tidak mau melihatmu lagi, Mas. Aku mau kamu hilang dari hidupku!” ucap Dina pedih. Ia bahkan menyembunyikan Raihan di belakang tubuhnya. Ardi kembali tersenyum. Ia tak menyangka Dina masih saja membencinya. Niatnya bukan untuk menyakiti. Ia hanya akan pamit pada putranya dan segera pergi.

“Lihat Ayah, Raihan,” ucap Ardi dengan tetap tenang. Raihan semakin bersembunyi. Ia merasa tak perlu lagi melihat ayahnya.

“Percumah Mas, Raihan juga bakal trauma lihat kamu. Aku bilang pergi sekarang ,Mas! Pergi!” teriak Dina. Ia tak bisa lagi menahan Ardi lebih lama.

Ardi menengadahkan kepala. Usaha yang ia lakukan pun sia-sia. Niat baik belum tentu disambut baik. Sekali buruk akan selalu dicap buruk. Begitulah hidup yang ia jalani. Laki-laki dengan perawakan sedang dan rambut sudah mulai gondrong berlalu meninggalkan ruangan itu. Membiarkan anak istrinya bertemu dan semakin membencinya. Dina berbalik, secepat mungkin memeluk Raihan yang terlihat ketakutan. Hatinya lega. Belahan jiwanya telah kembali melengkapi dirinya. Dina terhanyut dalam keharuan sekaligus ketakutan yang ia hadapi. Mengabaikan ponsel miliknya bergetar di tas selempang yang ia biarkan teronggok di lantai.

***

Sepuluh pesan ia coba kirimkan. Tiga panggilan suara ditambah dua panggilan video ia coba. Rasa khawatir menyelimutinya saat perempuan yang membuat temu janji dengannya tak kunjung memberi kabar. Sebuah pikiran buruk menyelinap. Ia takut terjadi hal yang tak diinginkan pada perempuan yang membuat hatinya terus berdetak ganjil.

“Kenapa gak diangkat? Kenapa gak dibaca pesannya?” tanya Fatih pada ponsel miliknya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa gugupnya. Asisten rumah tangga yang membantu neneknya, datang membawa dua gelas teh hangat sesuai pesanannya. Meletakkan di meja tamu yang sudah ia rapikan sebelumnya.

“Kenapa, Mas? Kaya galau gitu,” ucap perempuan yang sudah tinggal lama di sana.

“Gak apa-apa, Mbok. Menunggu itu ternyata gak enak ya, Mbok.” Fatih menyandarkan kepalanya pada puncak sofa. Ia frustrasi dengan apa yang di hadapi. Perempuan yang dipanggil Mbok sama Fatih duduk di salah satu sofa. Nampan yang ia bawa, ia letakkan di pangkuannya.

“Memang, Mas. Apalagi menunggu jodoh. Jelas berat sekali. Serasa seribu tahun lamanya.”

“Alah... Mbok bisa aja. Emangnya dulu nunggu jodohnya sampai lama begitu?” tanya Fatih menimpali celoteh Mbok Saniem.

“Gak dong. Mbok, kan pemes. Banyak yang antre,” kekeh Mbok Saniem.

Ponsel Fatih bergetar. Pertanda sebuah pesan masuk. Ia mengusap tombol kunci segera. Membaca susunan kata pada layar. Raut wajahnya berubah. Tubuhnya kembali ia sandarkan pada puncak sofa. Ia bahkan menengadah, menatap plafon rumah neneknya hampa.

“Kenapa? Tamunya gak jadi datang?” tanya Mbok Saniem penasaran. Fatih tak menjawab. Ia justru menutup wajahnya dan menyembunyikan ekpresi di depan Mbok Saniem.

“Hidup itu kadang tak terduga, Mas. Penuh kejutan dan keseimbangan. Bisa jadi penantian Mas Fatih soal jodoh itu sebagai bentuk keseimbangan yang diberikan sama Allah biar Mas Fatih lebih bersyukur.” Mbok Saniem yang sudah hafal betul sikap Fatih memulai pembicaraan berat dengan majikannya. “Apa yang Mas Fatih inginkan bisa didapat dengan mudah. Apa yang Mas Fatih cita-citakan juga sepertinya sudah terkabul semua. Nah, Allah menguji Mas Fatih dalam urusan jodoh ini. Biar Mas Fatih lebih mendekatkan diri.” Kedekatan mereka sudah terjalin lama. Bahkan Mbok Saniem sudah seperti Ibu keduanya di Magelang.

Fatih menoleh. Menatap aneh asisten rumah tangganya.

“Apaan, Mbok? Gak jelas.”

“Lah, yang ditunggu gak jadi datang, ‘kan? Makanya Mas Fatih kayak gitu?” tanya Mbok Saniem polos. Fatih pun tak bisa menyembunyikan kegeliannya.

“Sok tahu, Mbok. Ini Nenek kasih kabar besok mau balik ke Megelang. Dan ... Mama ikut juga ke sini.”

Mbok Saniem menutup mulutnya dengan tangan.“Nyonya ikut?” Ia tak kalah kaget.

Fatih mengangguk. Repot sudah urusan hidupnya jika Mama benar-benar tiba di Magelang. Pasti kejelasan akan masa depannya akan menjadi topik hangat di keluarga.

“Mbok gak ikut-ikutan ya, Mas.” Mbok Saniem beranjak dari ruang tamu. Bersiap kembali ke dapur dan melakukan tugas domestiknya.

Fatih tersenyum memerhatikan tingkah perempuan itu. Lepas Mbok Saniem pergi, ia menatap ponselnya. Mengetuk nomor Dina kembali dan melakukan panggilan suara. Tiga kali percobaannya tak mendapatkan hasil. Hanya sebuah dering tanpa suara lembut yang bisa menggetarkan hatinya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel