Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 – Jalan Baru Tanpa Bayang-Bayang

Hari itu Aurel melangkah ke luar rumah tanpa membawa beban di pundaknya. Matahari terasa lebih hangat, angin lebih ramah. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia tidak takut menghadapi hari. Tidak ada notifikasi yang ditunggu, tidak ada chat yang dicek berulang-ulang. Dunianya kini tidak lagi bergantung pada kehadiran seseorang yang sudah memilih pergi.

Langkahnya mantap menyusuri trotoar kota yang biasa ia hindari. Tempat-tempat yang dulu terasa menyakitkan kini berubah menjadi ruang baru untuk dirinya sendiri. Ia masuk ke sebuah kafe kecil di sudut jalan, tempat yang dulu ia janjikan akan dikunjungi bersama seseorang. Tapi kali ini, ia datang sendiri. Dan itu tidak membuatnya sedih.

Ia memesan secangkir cokelat panas dan duduk di dekat jendela. Dari balik kaca, ia melihat orang-orang berlalu-lalang. Ada pasangan yang tertawa, ada anak kecil yang berlari mengejar balon, ada nenek yang menggandeng cucunya dengan lembut. Dunia terus berjalan, dan ia pun kini ikut berjalan bersamanya.

Aurel membuka bukunya dan mulai menulis. Bukan tentang rasa sakit, bukan tentang kehilangan. Tapi tentang perjalanan yang sedang ia tempuh—perjalanan menemukan dirinya yang sempat hilang. Tangannya menari di atas kertas, menulis tentang harapan-harapan kecil yang mulai tumbuh. Ia tidak lagi ingin kembali ke masa lalu. Karena kini, masa depan terasa lebih menjanjikan.

Tanpa sadar, senyumnya muncul lagi. Bukan senyum terpaksa, bukan senyum untuk menutupi luka. Tapi senyum yang lahir dari hati yang mulai pulih.

Dia tidak butuh seseorang untuk menyembuhkannya. Karena ternyata, dirinya sendiri cukup kuat untuk bangkit.

Ia baru sadar, bahwa selama ini ia hanya terlalu menggantungkan harapan pada orang yang bahkan tidak bisa menjaga hatinya sendiri. Aurel menarik napas dalam. Cokelat panasnya sudah mulai dingin, tapi ada kehangatan yang perlahan tumbuh di dalam dirinya.

Ia membuka layar ponsel. Tidak untuk menunggu pesan dari siapa pun, melainkan membuka galeri—melihat foto-foto lama yang dulu membuatnya lemah. Tapi kini, wajah di foto itu tak lagi membuat dadanya sesak. Ia menatap matanya sendiri di salah satu selfie yang diambil sebelum semua kekacauan itu dimulai. Matanya dulu bercahaya, polos, percaya. Kini ia ingin matanya kembali memancarkan cahaya yang sama, tapi bukan karena cinta orang lain, melainkan karena cinta pada dirinya sendiri.

“Aku bisa hidup tanpamu,” gumamnya pelan. Bukan dalam nada dendam, tapi dalam penerimaan. Kalimat itu seperti mantra kecil yang memberi keberanian untuk terus berjalan. Ia tidak butuh validasi, tidak butuh pembuktian. Ia hanya ingin damai.

Keesokan harinya, Aurel memutuskan mengambil cuti beberapa hari. Ia pergi ke kota kecil di pinggiran pantai, tempat yang pernah ia impikan untuk dikunjungi—dulu bersama seseorang, tapi kini sendiri pun tak masalah. Perjalanan itu bukan untuk melarikan diri, tapi untuk memberi ruang bagi dirinya sendiri.

Ia menyewa kamar kecil di sebuah penginapan yang menghadap langsung ke laut. Angin pantai menyambutnya begitu ia membuka jendela. Langit biru luas membentang, debur ombak berirama. Ia tersenyum kecil. Ini bukan pelarian, ini adalah penyembuhan.

Setiap pagi ia berjalan di pasir yang dingin, membiarkan kakinya basah terkena air laut. Ia tidak buru-buru. Ia tidak lagi terburu oleh perasaan ditinggalkan, tidak diburu waktu untuk sembuh. Ia hanya ingin menikmati setiap detik sebagai bagian dari dirinya yang baru.

Di pantai itu, ia mulai menulis kembali. Bukan puisi patah hati, bukan catatan penuh air mata. Tapi daftar kecil hal-hal yang membuatnya bahagia. Bau kopi pagi hari, suara ombak, tawa anak-anak, warna langit saat senja. Ia mulai menghargai hal-hal kecil yang dulu luput karena terlalu sibuk mencintai orang lain.

Beberapa hari kemudian, ia bertemu seorang wanita tua yang menjual gelang-gelang kerang di tepi jalan. Wanita itu duduk di kursi plastik, dengan tatapan lembut dan senyum yang tulus.

“Kamu kelihatan sedang mencari sesuatu,” kata wanita itu pelan sambil menata gelangnya.

Aurel tersenyum. “Mungkin saya sedang mencari cara untuk merasa utuh lagi.”

Wanita itu hanya mengangguk pelan. “Kadang, kita tidak benar-benar hancur. Kita hanya lupa caranya mencintai diri sendiri.”

Kata-kata itu menempel di benaknya sepanjang hari.

Malamnya, Aurel duduk di beranda kamar, memandangi laut yang gelap dengan lampu-lampu perahu di kejauhan. Ia memeluk lututnya dan memejamkan mata. Dulu, malam seperti ini terasa sepi dan mengerikan. Tapi malam ini, sepi justru terasa menenangkan.

Ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor lama yang masih tersimpan: “Aku rindu kamu. Apa kabar?”

Jantungnya berdebar. Tangannya gemetar ringan. Tapi tidak ada lagi dorongan untuk langsung membalas. Ia menatap layar ponsel itu lama, lalu meletakkannya perlahan di meja. Ia tahu, balasan tidak akan membawa kedamaian. Ia tahu, kerinduan yang datang dari orang yang pernah menyakitinya bukan lagi sesuatu yang harus disambut. Karena kali ini, ia sudah terlalu jauh berjalan untuk kembali ke tempat yang sama.

Besoknya, Aurel ikut kelas seni kecil di galeri kota itu. Ia melukis. Tangannya masih kaku, tapi setiap goresan kuas terasa seperti luka yang pelan-pelan disembuhkan. Ia menggambar langit, laut, dan sosok perempuan berdiri menghadap matahari.

“Itu kamu?” tanya salah satu peserta lain.

Aurel tersenyum. “Ya. Aku yang sedang belajar berdiri sendiri.”

Perjalanan Aurel belum selesai. Tapi ia sudah tidak lagi berjalan dengan luka terbuka. Ia kini membawa bekas luka sebagai tanda kekuatan. Ia masih belajar, masih sesekali jatuh, masih bisa sedih. Tapi bedanya, kali ini ia tidak menghindari semua itu. Ia tidak lagi takut.

Beberapa minggu kemudian, ia kembali ke kota. Rambutnya kini lebih pendek, wajahnya tampak lebih segar. Teman-temannya menyambutnya hangat. “Kamu berubah,” kata salah satu dari mereka.

Aurel hanya tersenyum. “Aku kembali jadi diriku sendiri.”

Malam itu, ia kembali duduk di kafe yang dulu ia kunjungi. Cokelat panas di depannya mengepul pelan. Ia menatap keluar jendela. Dunia masih sama, tapi dirinya tidak lagi sama. Ia tidak lagi mencari cinta yang membuatnya kehilangan arah. Kini ia mencari damai. Dan ia tahu, damai itu bisa ia temukan… dalam dirinya sendiri.

Hari-hari setelahnya menjadi langkah-langkah kecil yang membuat Aurel semakin mengenali siapa dirinya. Ia mulai bangun pagi tanpa rasa berat, ia mulai membuka jendela dengan senyum, dan ia mulai menata ulang kamar kos kecilnya yang dulu terasa hampa, kini penuh dengan harapan baru.

Di meja belajar, ia meletakkan lukisan kecil hasil dari kelas seni itu—lukisan perempuan yang berdiri menghadap matahari. Setiap kali ia melihatnya, ia merasa diingatkan bahwa dirinya tak lagi butuh pelarian. Yang ia butuhkan adalah keberanian untuk menghadapi hidup tanpa topeng.

Suatu sore, hujan turun deras. Aurel sedang berjalan pulang dari minimarket, menenteng tas kecil berisi camilan dan buku. Ia tidak membawa payung. Dulu, ia mungkin akan panik, merasa sendirian dan kesal. Tapi kini, ia justru menengadahkan wajah dan membiarkan tetesan air membasahi rambut dan bajunya.

Ia tertawa kecil, bukan karena bahagia yang meledak-ledak, tapi karena ada rasa syukur yang sederhana. Untuk bisa tertawa di tengah hujan setelah sebelumnya merasa dunia runtuh—itu adalah bukti bahwa ia sudah melangkah lebih jauh dari yang pernah ia kira.

Di dalam kamar, ia membuat teh hangat dan duduk sambil membaca. Tak ada pesan dari siapa-siapa, tapi ia tidak merasa kesepian. Ia merasa cukup. Ia merasa utuh. Ia menulis satu kalimat di notes kecilnya sebelum tidur: Aku tidak menunggu siapa pun. Aku menunggu diriku sendiri pulang sepenuhnya.

. Ia tidak lagi menunggu pesan dari seseorang yang telah mengkhianatinya. Ia tidak lagi berharap pada sosok yang dulu bersumpah takkan pergi, tapi meninggalkan luka paling dalam. Aurel sudah selesai dengan masa lalu. Dengan luka. Dengan mantan dari neraka yang pernah hampir menghancurkannya.

Hidupnya kini seperti halaman kosong yang siap ditulis ulang. Bukan oleh orang lain. Tapi oleh dirinya sendiri.

Saat ia menutup jendela dan hendak mematikan lampu kamar, notifikasi tak dikenal muncul di layar ponselnya. Satu pesan dari akun yang tidak tercatat di kontak:

“Jangan takut jatuh cinta lagi. Aku datang… dari masa depanmu.”

Aurel membeku. Ia membuka pesan itu. Tidak ada foto profil. Tidak ada nama. Tapi ada sesuatu dalam kata-kata itu yang terasa… hangat. Aneh tapi tidak menakutkan. Seperti cahaya kecil di ujung lorong yang gelap.

Beberapa detik kemudian, pesan kedua masuk.

“Aku tahu semua lukamu. Tapi aku bukan dia. Aku datang bukan untuk menyakiti… tapi menemanimu pulih.”

Aurel menatap layar ponselnya lama. Ada keraguan. Tapi juga ada rasa penasaran yang perlahan menyusup.

Malam itu, Aurel tersenyum kecil. Bukan karena ia ingin langsung jatuh cinta lagi. Tapi karena semesta seolah berkata, kisahnya belum benar-benar selesai.

Ia sudah pulang ke dirinya sendiri. Tapi mungkin, kali ini, ia tidak harus berjalan sendirian.

Dan siapa tahu… cinta sejati justru datang dari masa depan, membawa harapan yang tak pernah ia duga sebelumnya.

TAMAT

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel