Bab 4 – Saat Luka Tidak Lagi Menyiksa
Aurel berdiri di depan kaca, menatap pantulan dirinya yang tampak jauh lebih tenang dibanding beberapa bulan lalu. Rambutnya sudah tidak lagi kusut, wajahnya tidak sepucat dulu, dan mata yang dulunya selalu sembab kini terlihat lebih tegas. Tapi yang paling berubah adalah caranya melihat diri sendiri—bukan lagi dengan kasihan, tapi dengan penerimaan.
Ia pernah mencintai seseorang sepenuh hati, mempercayai setiap janji, dan menyerahkan seluruh dunia yang ia miliki kepada Raka. Tapi pada akhirnya, yang menyakitinya adalah orang yang dulu bersumpah takkan pernah meninggalkannya.
Raka pergi dengan kata-kata yang membuat segalanya runtuh.
“Aku butuh ruang, Aurel. Aku merasa kita berjalan terlalu cepat.”
Padahal, Raka yang dulu mengejarnya. Raka yang dulu bilang tidak bisa hidup tanpa Aurel. Dan ketika Aurel mulai merasa nyaman dan percaya, lelaki itu justru yang meninggalkan tanpa menoleh sedikit pun.
Tapi malam ini berbeda. Kali ini, Aurel menyalakan lampu meja bukan untuk menangis, tapi untuk menulis.
Kali ini, bukan untuk menang. Tapi untuk sembuh.
Ia menulis pelan-pelan, setiap kata seperti serpihan luka yang dirangkai ulang menjadi kekuatan. Ia tak lagi menulis tentang cinta yang menyakitkan, tapi tentang menemukan kembali dirinya sendiri. Ia menyadari bahwa selama ini ia terlalu sibuk mencintai orang lain, sampai lupa memeluk dirinya sendiri.
Aurel menatap layar laptopnya yang menampilkan dokumen baru bertuliskan:
“Catatan untuk Diriku yang Sempat Hilang.”
Ia menulis tanpa ragu.
“Aku tahu kamu pernah terluka. Tapi kamu hebat, karena kamu masih berdiri sampai hari ini.”
Kalimat itu sederhana, tapi terasa berat dan dalam. Ia mengulang membacanya, lalu menghela napas pelan. Bukan napas lelah, melainkan napas lega.
Malam itu, Aurel tidak tidur dengan mata sembab seperti biasanya. Ia menutup laptop, mematikan lampu, lalu merebahkan tubuhnya dengan senyum kecil di bibir.
Esok harinya, saat mentari pagi menyentuh tirai jendelanya, Aurel bangun dengan semangat baru. Ia mengenakan pakaian sederhana dan mengambil tas kanvas favoritnya. Ia hendak pergi ke taman kota, bukan untuk menunggu siapa pun, tapi untuk menghabiskan waktu dengan dirinya sendiri.
Di taman, aroma kopi dan buku-buku bekas yang dijual membuat hatinya hangat. Ia berhenti di sebuah lapak kecil dan memandangi buku berjudul “Perempuan yang Patah Tapi Tidak Hancur”. Entah mengapa judul itu terasa sangat akrab.
Seseorang berdiri di sampingnya. Dio.
“Tumben kamu datang pagi-pagi ke sini,” ujar Dio sambil tersenyum kecil.
Aurel menoleh, lalu mengangguk. “Aku butuh udara segar.”
Dio menatap wajah Aurel lebih lama, seolah sedang membaca sesuatu yang baru. “Kamu terlihat beda, tahu nggak?”
“Beda gimana?”
“Kayak… udah nggak nyimpen beban berat lagi.”
Aurel tertawa pelan. “Mungkin karena memang sudah aku lepas.”
Percakapan itu ringan, tapi bermakna. Dio tak pernah mencoba menggantikan Raka, tak pernah juga memaksa Aurel untuk lupa. Ia hanya ada, diam-diam, tapi konsisten. Dan bagi Aurel, itu sudah cukup.
Aurel duduk di bangku taman, membuka buku barunya, dan mulai membaca. Angin meniup rambutnya pelan. Sesekali ia menengadah ke langit, merasakan damai yang sudah lama tak ia temukan.
Sore harinya, ia kembali ke rumah. Ia membuka kotak kecil di bawah tempat tidurnya yang berisi foto-foto lama bersama Raka. Tanpa air mata, tanpa drama, ia membakar semuanya satu per satu di halaman belakang. Abu-abu itu terbang tinggi, bersama kenangan yang sudah tidak ingin ia simpan.
Di hari itu, Aurel resmi mengikhlaskan.
Bukan karena sudah melupakan, tapi karena sudah tidak ingin kembali.
Aurel tahu, kenangan tak akan pernah benar-benar hilang. Ada saat-saat tertentu ketika hujan turun, atau ketika mendengar lagu yang dulu sering mereka dengarkan bersama, hatinya masih bergetar. Tapi tidak lagi sakit. Getaran itu hanya pengingat bahwa ia pernah mencintai seseorang dengan sangat dalam, dan bahwa ia pernah disakiti oleh cinta itu.
Malam itu, ia duduk di balkon rumah sambil menyeruput cokelat hangat. Hening. Tapi bukan sepi yang menyakitkan—melainkan keheningan yang menenangkan. Dari kejauhan, suara motor sesekali melintas, bercampur dengan gemericik air dari pot tanaman yang baru saja disiram ibunya.
Ia menarik napas panjang.
Dulu, malam seperti ini membuatnya merasa sendiri dan tersesat. Tapi kini, malam yang sama justru memberinya ruang untuk berdamai. Mungkin ini yang disebut orang-orang sebagai “akhir dari luka”. Bukan karena semuanya jadi sempurna, tapi karena ia sudah tidak melawan lagi.
Ponselnya bergetar.
Satu pesan masuk dari Dio.
“Lusa ada event penulis pemula di taman budaya. Ikut yuk, siapa tahu cocok buat kamu yang sekarang suka nulis.”
Aurel tersenyum kecil. Dio memang selalu tahu cara mendorongnya maju, tanpa memaksa. Ia mengetik balasan.
“Boleh. Makasih udah ngajak.”
Saat ia hendak meletakkan ponsel, pandangannya sempat tertumbuk pada satu nama yang sudah lama tidak ia buka: Raka. Kontaknya masih ada. Tapi sudah lama tidak pernah diklik, apalagi dibuka pesannya. Dulu, hanya melihat namanya saja membuat jantungnya berdegup kencang. Tapi kali ini, hanya hening. Tidak ada rasa apa-apa.
Tanpa ragu, ia menekan tombol “hapus kontak”.
Satu ketukan ringan. Dan semuanya hilang.
Bukan sebagai bentuk balas dendam, bukan juga untuk pura-pura kuat. Tapi karena ia benar-benar sudah tidak membutuhkannya lagi.
Dua hari kemudian, Aurel datang ke taman budaya dengan mengenakan kemeja putih dan celana jeans. Simpel, tapi manis. Dio sudah menunggunya di depan pintu masuk dengan dua tiket di tangan. Mereka masuk ke dalam aula kecil, di mana banyak anak muda berkumpul dengan catatan, buku, dan semangat baru.
Aurel duduk di bangku kedua dari depan, membuka buku catatannya, dan mencatat beberapa hal yang menarik dari pembicara pertama. Ia merasa seperti sedang memasuki dunia yang sama sekali baru—dunia yang memberinya harapan, bukan rasa takut.
Dio menyodorkan air minum saat jeda.
“Kamu serius banget nyatatnya,” ucap Dio sambil tertawa kecil.
“Ini menarik. Aku baru sadar menulis itu bisa jadi terapi juga,” jawab Aurel, tanpa mengalihkan pandangan dari halaman catatannya.
Dio hanya mengangguk. Ia tidak menanggapi panjang lebar. Ia tahu, momen ini bukan tentang dia—tapi tentang Aurel yang mulai berdiri lagi di atas kaki sendiri.
Sepulang dari acara, Aurel berjalan kaki sebentar menyusuri taman. Lampu-lampu taman mulai menyala, menerangi jalan setapak. Ia terdiam sebentar di depan air mancur kecil yang memantulkan cahaya jingga senja.
Dalam benaknya, ia berkata pada dirinya sendiri:
“Aku tidak menyesal pernah jatuh cinta. Tapi aku juga tidak akan pernah kembali ke cinta yang membuatku kehilangan diriku sendiri.”
Hatinya lebih tenang dari sebelumnya. Ia bukan lagi perempuan rapuh yang menangisi pesan terakhir. Ia bukan lagi gadis yang berharap pintu masa lalu terbuka lagi. Kini, ia adalah perempuan yang sedang membangun pintu baru—menuju masa depan yang lebih utuh, meski harus ia tempuh sendirian.
Dan itu tidak apa-apa.
Malamnya, Aurel menulis lagi. Tapi kali ini bukan sekadar tulisan pengingat atau catatan harian. Ia mulai menulis cerita—tentang perempuan yang berani sembuh, bukan karena ingin membuktikan apa pun, tapi karena pantas bahagia.
Setiap ketikan jari membawa kepingan hatinya kembali pada tempat semestinya. Ia tidak tahu akan jadi cerita panjang atau hanya sekadar lembaran yang hilang di antara tumpukan file. Tapi yang jelas, tulisan itu bukan lagi tentang Raka.
Melainkan tentang Aurel.
Tentang dirinya sendiri.
Tentang perjalanan pulang—bukan ke seseorang, tapi ke hatinya yang sempat kosong dan kini mulai terisi kembali.
Dan malam itu, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, Aurel berkata dalam hati:
“Aku bangga sama diriku sendiri.”
Kalimat itu terus terngiang di kepala Aurel, seperti mantra yang perlahan membentuk kekuatan baru dalam dirinya. Dulu, setiap malam selalu menjadi momok menakutkan. Ia lebih sering menangis daripada tidur. Tapi malam itu berbeda. Tidak ada air mata. Hanya ada keheningan yang terasa damai.
Ia menutup laptopnya pelan, memandang kamar yang dulu sering menjadi saksi luka, kini terasa lebih hangat. Tanpa sadar, ia menyentuh dadanya sendiri. Masih ada bekas luka di sana, tapi tidak lagi perih. Seperti luka lama yang akhirnya kering, hanya meninggalkan jejak samar.
Ponselnya bergetar lagi. Kali ini dari ibunya.
“Kamu udah makan? Jangan lupa istirahat ya, jangan maksain diri.”
Senyum Aurel terbit. Ia membalas singkat, “Sudah, Bu. Terima kasih, aku sayang Ibu.”
Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa utuh hanya dengan hal-hal sederhana. Bukan ucapan manis dari laki-laki, bukan janji palsu, bukan pelukan yang ternyata hanya sebentar. Tapi perhatian kecil dari orang-orang yang tak pernah benar-benar pergi.
Ia berjalan ke cermin. Menatap pantulan dirinya yang kini jauh berbeda dari dulu. Mata itu masih sama, tapi sorotnya tidak lagi kosong. Ia merasa… pulih. Mungkin belum seratus persen, tapi ia sudah jauh lebih baik dari hari pertama ia ditinggalkan.
Hidup memang tidak pernah benar-benar memberi peringatan sebelum menghantam. Tapi Aurel belajar, bahwa luka tidak selamanya berarti akhir. Justru dari luka itu, ia menemukan jati dirinya yang sempat hilang.
Kini, jika suatu hari ia kembali mencintai, itu bukan karena ia butuh diselamatkan. Tapi karena ia ingin berbagi kebahagiaan, bukan mengemis cinta.
Ia menarik napas panjang dan berkata sekali lagi, pelan namun mantap.
“Aku nggak akan pernah jadi perempuan yang sama lagi.”
