Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Luka yang Tak Terlihat

Hujan masih turun di luar jendela warung sederhana milik Bu Siti. Aurel duduk memeluk lutut di sudut ruangan, menatap kosong ke arah jalanan yang basah. Tangannya gemetar, bukan karena dingin, tapi karena pikirannya belum berhenti mengulang kejadian pagi tadi.

Raka datang dengan tatapan yang tak bisa ia baca. Bukan marah, bukan juga sedih. Tapi dingin. Dingin seperti seseorang yang sudah memutuskan sesuatu sejak lama.

“Kita sudah beda arah, Rel,” kata Raka dengan suara tenang yang menusuk.

Aurel hanya bisa diam. Kata-kata seperti itu bukan pertama kali ia dengar. Tapi kali ini terasa seperti akhir. Ia tak sempat bertanya kenapa. Tak sempat membela diri. Tak sempat menjelaskan bahwa ia hanya mencintai dengan caranya sendiri.

Setelah Raka pergi, Aurel berlari ke warung Bu Siti. Tempat yang selalu jadi pelarian saat dunia terlalu kejam. Tapi bahkan aroma teh hangat dan suara lembut Bu Siti tak bisa menenangkan hatinya kali ini.

“Kamu harus kuat, Nak. Orang yang baik memang sering disakiti,” kata Bu Siti sambil mengelus punggung Aurel.

Aurel hanya mengangguk. Ia tahu, hidup tak selalu adil. Tapi ia tak menyangka, yang menyakitinya adalah orang yang dulu bersumpah takkan pernah meninggalkannya.

Kini luka itu tak bisa dihindari lagi. Luka yang menyesakkan dada, mengoyak hati, dan menenggelamkan Aurel dalam sepi yang paling menyiksa. Nama Raka berputar-putar di kepalanya seperti mantra yang berubah jadi kutukan. Ia masih ingat setiap detik kebersamaan mereka, dari pertama saling sapa di kampus, hingga hari terakhir Raka menggenggam tangannya dan berbisik, “Aku nggak akan ke mana-mana. Kamu satu-satunya.”

Kini janji itu tak lebih dari abu. Terkoyak oleh kenyataan bahwa Raka telah memilih orang lain, dan lebih menyakitkannya lagi—Raka tak mengatakannya langsung. Ia hanya mengirim pesan singkat yang merobek seluruh kepercayaan Aurel terhadap cinta.

“Maaf. Aku udah nggak bisa lanjut. Aku bertunangan dengan Rania. Semoga kamu bisa bahagia.”

Tidak ada penjelasan. Tidak ada perpisahan yang layak. Hanya kata ‘maaf’ yang sama sekali tidak menyembuhkan apa-apa.

Aurel duduk di lantai kamarnya yang dingin. Tangannya memegang ponsel erat-erat, seakan bisa meremas kembali waktu dan membatalkan semua ini. Tapi kenyataan tak pernah bisa ditolak. Ia telah ditinggalkan. Disakiti oleh orang yang dulu berjanji melindunginya.

Dia ingin marah. Ingin meneriakkan semua kekecewaannya. Tapi yang keluar hanya isakan pelan. Tangis yang terpendam selama berhari-hari akhirnya runtuh malam ini. Ia menangis tanpa suara, hanya air mata yang membasahi wajahnya. Hatinya terasa seperti tanah retak yang lama tak tersiram hujan. Kering, rapuh, dan nyaris pecah.

Ibunya mengetuk pintu pelan, “Aurel… kamu belum makan, Nak.”

Aurel buru-buru menyeka air matanya. Ia tak ingin ibunya khawatir. “Iya, Bu. Nanti Aurel makan.”

“Ada apa? Kamu sakit?” suara ibunya penuh kekhawatiran.

Aurel tersenyum kecil, walau ia tahu ibunya tak bisa melihat dari balik pintu. “Nggak, Bu. Aurel cuma capek kuliah.”

“Kamu bisa cerita ke Ibu kalau kamu ada masalah, ya?”

“Iya, Bu…”

Setelah suara langkah ibunya menjauh, Aurel kembali tenggelam dalam pikirannya. Ia sadar, ini bukan hanya tentang ditinggalkan. Tapi tentang kehilangan bagian dari dirinya yang selama ini ia bangun bersama Raka. Semua impian, semua harapan, semua masa depan yang mereka rancang—hancur hanya dalam satu pesan.

Esok paginya, Aurel tetap bangun. Ia tetap mandi, berdandan, dan pergi ke kampus seperti biasa. Tapi ada yang berbeda. Tatapan kosong di matanya tak bisa disembunyikan. Senyumnya tak lagi hangat. Suaranya terdengar datar. Orang-orang mengira ia baik-baik saja, karena Aurel selalu bisa menyembunyikan rasa sakitnya dengan sangat rapi.

Di kampus, ia duduk sendiri di taman kecil dekat perpustakaan. Tempat yang dulu sering jadi lokasi kencan diam-diam dengan Raka. Tapi sekarang, bangku itu hanya menyimpan kenangan pahit.

“Rel…”

Suara itu membuatnya menoleh. Lala, sahabatnya, berdiri dengan wajah prihatin.

“Kamu belum jawab chat aku. Kamu nggak sendiri, tahu?”

Aurel tersenyum hambar. “Aku tahu. Makasih udah ada, La.”

Lala duduk di sampingnya, menatap Aurel lekat-lekat. “Kamu nggak harus pura-pura kuat. Nggak apa-apa kok kalau kamu hancur.”

Aurel menggigit bibir bawahnya, menahan air mata yang hampir tumpah lagi.

“Dia ninggalin aku begitu aja, La. Tanpa alasan. Tanpa penjelasan. Padahal dulu dia bilang aku dunianya…”

“Kadang, orang berubah. Dan kita nggak bisa maksa mereka tetap sama,” ujar Lala lembut.

“Aku cuma… aku cuma pengin tahu salahku apa.”

“Kamu nggak salah. Dia aja yang brengsek.”

Aurel tertawa lirih. Tawa yang getir. “Aku pikir cinta itu cukup. Tapi ternyata nggak.”

Lala mengangguk. “Cinta aja nggak cukup kalau nggak dibarengi komitmen dan tanggung jawab.”

Mereka terdiam sejenak. Angin sore berhembus pelan, membawa aroma bunga yang mulai bermekaran. Tapi keindahan itu tak bisa mengobati luka Aurel.

“Kamu tahu,” kata Aurel pelan, “yang paling nyakitin itu bukan ditinggal. Tapi tahu bahwa semua janji itu cuma omong kosong.”

“Karena itu kamu harus sembuh, Rel. Biar kamu bisa buktiin bahwa kamu nggak butuh dia buat bahagia.”

Aurel memejamkan mata. Kalimat Lala menancap di hatinya. Mungkin ini saatnya ia berhenti menjadi korban. Mungkin ini saatnya berdiri lagi—bukan demi Raka, tapi demi dirinya sendiri.

Dua minggu berlalu. Aurel mulai pelan-pelan bangkit. Ia mengisi waktunya dengan ikut kegiatan kampus, membaca buku-buku pengembangan diri, bahkan mulai menulis cerita pendek lagi. Lala terus ada di sisinya, menjadi pundak yang tak henti menguatkan.

Suatu malam, saat ia sedang duduk di balkon kosnya, ponselnya berbunyi. Notifikasi pesan dari nomor yang sangat ia kenal.

Raka:

“Maaf kalau aku menyakitimu. Aku bingung waktu itu. Tapi sekarang aku sadar… aku masih sayang kamu.”

Aurel menatap layar ponsel itu lama sekali. Dulu, ia mungkin akan langsung membalas. Tapi tidak sekarang. Tidak setelah ia belajar bahwa luka tak bisa ditambal dengan kata ‘maaf’ semudah itu.

Ia tidak membalas. Ia hanya tersenyum kecil, lalu mematikan ponsel dan memandang langit malam. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa tenang.

Ia belum sepenuhnya sembuh. Tapi ia tahu, ia sudah berjalan ke arah yang benar.

Dan yang paling penting—ia tahu kini, bahwa mencintai diri sendiri adalah langkah pertama menuju kebahagiaan sejati.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel