Bab 2: Yang Datang dari Masa Depan
Tapi aku tahu, hidupku tidak akan sama lagi sejak hari itu. Hari di mana seseorang yang mengaku dari masa depan datang membongkar rahasia yang bahkan belum terjadi. Hari di mana pikiranku mulai dipenuhi oleh keraguan pada semua hal yang semula terasa pasti.
Sejak itu, langkah-langkahku terasa seperti menyusuri lorong yang samar, penuh teka-teki dan jebakan yang tak bisa kulihat.
Keesokan harinya, aku bangun dengan kepala berat. Aku mencoba menganggap semuanya sebagai mimpi. Tapi foto yang kutemukan di meja belajarku, masih ada di sana. Foto itu seperti hantu yang membayangiku. Aku dan dia. Rayan. Tersenyum, saling menatap seperti pasangan yang jatuh cinta. Tapi aku tahu aku belum pernah menjalani momen itu. Belum.
Jika yang dia katakan benar, mungkin aku akan mengalaminya suatu hari nanti. Atau justru tidak pernah terjadi karena masa kini telah berubah.
Sepanjang hari aku tidak bisa fokus. Di kelas, suara dosen hanya bergema tanpa makna. Di antara kerumunan teman-temanku, aku merasa asing. Aku mulai memperhatikan sekitar dengan lebih waspada, bertanya-tanya siapa orang yang akan datang menghancurkan hidupku.
Dua minggu, katanya. Aku tak tahu kapan hitungan itu dimulai. Apakah sejak dia muncul? Atau sejak aku mulai percaya padanya?
Sore itu, saat hujan turun perlahan dan langit meredup, aku duduk di halte kampus sendirian. Rayan muncul lagi. Seolah dia tahu ke mana harus menemuiku, di waktu yang tepat.
“Aku tahu kamu belum sepenuhnya percaya,” katanya membuka percakapan.
“Aku tidak tahu harus percaya atau tidak. Tapi aku nggak bisa berhenti mikirin semua yang kamu katakan.”
Dia duduk di sampingku. Hujan membasahi ujung sepatunya, tapi dia tidak peduli.
“Aku datang bukan hanya untuk memperingatkanmu. Tapi juga untuk memperbaiki sesuatu yang pernah aku rusak,” ucapnya.
“Apa maksudmu?” tanyaku.
“Aku kembali karena aku yang membuatmu percaya pada orang yang salah. Di masa lalu… atau masa depan, aku yang meyakinkanmu bahwa orang itu bisa diandalkan. Dan kamu… kamu mempercayainya karena kamu percaya padaku. Aku menghancurkan hidupmu tanpa sadar.”
Aku terdiam. Dadaku sesak. Aku tidak tahu apa yang lebih menyakitkan: pengkhianatan, atau kenyataan bahwa semua itu bisa dicegah.
“Aku harus memperbaiki semuanya. Itu satu-satunya alasan aku dikirim kembali.”
“Siapa yang mengirimmu? Kamu bilang waktu tidak bekerja seperti biasanya. Jadi siapa yang membuatmu kembali?”
“Versi masa depanmu,” jawabnya singkat.
Aku menoleh cepat. “Apa?”
“Iya. Kamu yang memintaku untuk kembali. Untuk menyelamatkanmu dari diriku sendiri.”
Aku nyaris tak bisa bernapas. Ini terlalu rumit. Terlalu gila. Tapi anehnya, semua terasa masuk akal.
“Apa aku… mencintaimu di masa depan?” tanyaku lirih.
Dia menatapku lama, lalu mengangguk. “Lebih dari yang bisa kamu bayangkan. Dan aku mencintaimu sampai aku rela menghapus semua kenangan itu asal kamu bisa hidup lebih baik.”
Aku menatap langit yang mulai menggelap. Petir menggantung di ujung awan, seolah menunggu waktu untuk meledak. Aku merasa seperti berdiri di ambang sesuatu yang besar, tapi aku tak tahu harus ke mana melangkah.
“Kalau kamu berhasil mengubah masa depan, bukankah semua kenangan itu akan hilang juga?”
“Iya,” katanya pelan. “Tapi itu harga yang harus kubayar.”
Aku tidak tahu harus merasa apa. Bahagia karena dia peduli, atau sedih karena semua ini mungkin akan berakhir sebelum sempat dimulai.
“Arin,” katanya, menatapku. “Mungkin kamu tidak akan ingat aku suatu hari nanti. Tapi aku akan selalu mengingatmu. Bahkan kalau semesta memilih menghapus keberadaanku sepenuhnya.”
Aku tidak bisa menahan air mata. Aku tidak tahu kenapa aku menangis untuk seseorang yang bahkan tidak benar-benar kuingat. Tapi hatiku… hatiku seperti mengenalnya sangat dalam.
Hujan turun lebih deras. Dia berdiri, melangkah perlahan ke tengah jalan yang basah.
“Aku akan kembali. Saat kamu benar-benar butuh aku. Sampai saat itu, berhati-hatilah. Jangan biarkan siapa pun menanamkan keraguan dalam hatimu, bahkan aku sekalipun.”
Aku hanya bisa menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik tirai hujan. Tidak ada janji, tidak ada perpisahan yang manis. Hanya kenangan samar yang menggantung di udara, dan hati yang entah kenapa terasa kosong. Aku menunduk, membiarkan air hujan menyatu dengan air mata yang tak sempat kuseka. Rasanya seperti kehilangan sesuatu yang belum sempat benar-benar kumiliki. Anehnya, ada ruang dalam diriku yang terasa sudah pernah bersamanya… entah di mana, entah kapan.
Beberapa saat kemudian, suara langkah kaki terdengar mendekat dari arah lain. Aku menoleh. Bukan Rayan. Bukan siapa-siapa. Hanya seorang mahasiswa lewat sambil memegang payung, lalu berlalu begitu saja.
Aku menggenggam foto yang tadi kusimpan di dalam tas. Foto yang entah bagaimana bisa begitu nyata, meski kenangan di dalamnya masih asing. Ada tawa di sana, senyum, kehangatan yang tak bisa kudustai. Dan aku tak tahu bagaimana cara membiarkan semua itu menghilang begitu saja.
Saat aku kembali ke kamar kos, langit sudah gelap total. Suasana sunyi, hanya terdengar suara hujan yang terus mengguyur atap. Aku membuka laptop, niat awal ingin mengerjakan tugas. Tapi jemariku malah mengetik sesuatu yang tidak terencana.
“Tanda-tanda seseorang datang dari masa depan.”
Konyol, mungkin. Tapi otakku tidak bisa berhenti. Aku menelusuri berbagai forum, artikel aneh, bahkan video dengan kualitas buram. Semua itu hanya memperparah kegelisahanku. Tidak ada jawaban. Tidak ada kepastian. Tapi satu hal yang terus terngiang: dua minggu. Waktu yang kupunya sebelum semuanya berubah.
Aku menatap kalender. Menandai tanggal hari ini dengan pena merah. Mulai sekarang, setiap detik punya makna baru. Setiap pertemuan bisa saja menjadi peringatan. Setiap senyuman bisa jadi tipu daya.
Dan mungkin… setiap pilihan bisa jadi penentu antara kehilangan dan kesempatan.
⸻
Jika kamu ingin saya teruskan ke bagian selanjutnya (misalnya kemunculan seseorang misterius yang mulai mendekat atau tanda-tanda bahaya muncul), tinggal beri arahan, ya. Semenjak pertemuan itu, aku mulai merasa ada yang tidak biasa di sekelilingku. Bukan hanya Raka yang muncul tanpa alasan, tapi juga suasana yang perlahan berubah.
Beberapa hari setelahnya, aku mulai merasa diikuti. Saat berjalan ke kampus, langkah kaki asing terdengar di belakangku, tapi saat kutolehkan kepala, jalanan selalu kosong. Di kampus, lokerku pernah terbuka sendiri, dan ada secarik kertas di dalamnya bertuliskan:
“Hati-hati, dia tidak sendirian.”
Aku menggenggam kertas itu erat-erat. Apakah ini berkaitan dengan Raka? Atau ada orang lain yang juga tahu tentang masa depan?
Hari berikutnya, Raka kembali muncul. Tapi kali ini dia terlihat gelisah.
“Ada yang datang ke sini juga. Tapi niatnya tidak seperti aku,” katanya tanpa basa-basi.
“Siapa?”
Dia menggeleng. “Kamu belum siap tahu semuanya. Tapi yang jelas… kamu sedang dalam bahaya.”
Jantungku berdegup kencang. Semakin banyak pertanyaan muncul di kepalaku, tapi tak satu pun punya jawaban pasti. Dan yang lebih menakutkan dari misteri itu… adalah kenyataan bahwa semuanya baru saja dimulai.Aku menatap Raka lekat-lekat. Wajahnya tampak lebih serius dibandingkan sebelumnya. Tidak ada senyum aneh seperti saat pertama kali kami bertemu, tidak ada candaan sok akrab. Hanya tatapan tajam dan suara yang terdengar seperti peringatan.
“Apa maksudmu aku dalam bahaya?” tanyaku akhirnya.
Raka menunduk sesaat, seolah sedang memilih kata. “Ada satu orang lagi yang dikirim ke masa ini. Tapi dia tidak seperti aku. Dia bukan datang untuk melindungimu.”
“Lalu dia mau apa?” Suaraku bergetar.
“Dia ingin memastikan kamu… mati.”
Dunia seolah berhenti berputar sejenak. Aku hanya bisa mematung. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di siang bolong.
“Aku tahu ini gila. Aku tahu kamu belum percaya sepenuhnya padaku. Tapi kamu harus mulai mempercayai firasatmu. Ada yang salah, dan itu dimulai dari malam kamu melihat cahaya aneh di langit waktu pulang dari minimarket.”
Aku langsung teringat malam itu. Memang ada cahaya biru redup yang menyelinap di balik awan. Kupikir hanya pantulan lampu kota. Tapi sejak malam itu, mimpi-mimpiku jadi aneh. Aku melihat reruntuhan kota, darah, dan tangisanku sendiri.
“Kalau kamu tidak bohong… kenapa kamu tidak pergi ke polisi atau orang penting saja?” tanyaku masih berusaha rasional.
“Karena aku bukan bagian dari dunia ini. Aku bukan penduduk asli zaman ini. Identitasku palsu. Aku tidak punya catatan, tidak ada sidik jari, tidak ada bukti kalau aku eksis. Satu-satunya yang bisa mempercayai aku… hanya kamu.”
Aku memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Tapi saat kubuka lagi, aku tahu semuanya sudah berubah. Aku tak bisa hidup normal lagi. Aku tak bisa berpura-pura semua ini hanya mimpi buruk sesaat.
“Jadi, apa yang harus kulakukan?”
Raka menatapku dalam. “Kamu harus bersiap. Kita harus cari tahu siapa dia sebelum dia menemukanmu lebih dulu.”
Aku mengangguk pelan. Meski hati ini gemetar, aku tahu, mundur bukan pilihan. Karena sejak Raka datang ke hidupku, dunia lama yang kutahu telah retak… dan masa depan tak lagi pasti.
