Laporan Rahasia Naga Hitam
Di sebuah gedung rahasia di pinggiran Surabaya, markas Naga Hitam terlihat sunyi dari luar. Namun, di dalamnya, sekelompok pria dengan tubuh kekar dan tatapan tajam duduk melingkar di ruang rapat kecil.
Joko, pemimpin tim, duduk di kursi utama dengan ekspresi serius. Dia menatap satu per satu anggota timnya yang telah kembali dari tugas masing-masing.
"Baik," Joko membuka rapat dengan suara beratnya. "Laporan."
Budi, pria bertubuh tegap dengan wajah penuh ketegasan, maju lebih dulu.
"Saya mendapat tugas utama memantau nona Luna," lapornya. "Sejauh ini, semua berjalan aman. Tidak ada ancaman mencurigakan. Tapi ada sesuatu yang menarik…"
Joko menyipitkan mata. "Apa itu?"
Budi melirik ke arah Reza, Dika, dan Arif sebelum melanjutkan, "Nona Luna dan sekretarisnya, Rina, sedang mencari pacar bayaran."
Sontak ruangan menjadi hening.
Reza, pria berambut pendek dengan senyum sinis, bersedekap. "Pacar bayaran? Maksudnya seperti di drama-drama itu?"
Budi mengangguk. "Kurang lebih seperti itu. Mereka bahkan mengadakan seleksi di sebuah agensi model. Banyak kandidat yang gagal karena tidak memenuhi kriteria nona Luna."
Dika mengernyitkan dahi. "Apa ini ada hubungannya dengan perintah Bos Kiem?"
Budi menghela napas. "Sepertinya iya. Seperti yang kita tahu, Bos Kiem ingin nona Luna segera punya pasangan. Kalau dalam tiga bulan tidak ada calon, maka beliau akan menjodohkannya."
Joko mengetuk jarinya di meja, berpikir sejenak sebelum bertanya, "Lalu? Apakah sudah ada yang terpilih?"
Budi mengangguk lagi. "Ya. Ada satu pria yang menarik perhatian nona Luna. Namanya Adrian, seorang fotografer freelance. Sejauh ini, dia tidak menunjukkan tanda-tanda mencurigakan, tapi aku tetap akan menyelidikinya."
Joko berpikir sejenak. "Pastikan dia bukan ancaman. Kau tahu sendiri, dunia bisnis ini penuh musuh. Bisa saja ada yang mencoba mendekati nona Luna untuk tujuan lain."
"Aku mengerti," kata Budi tegas.
Joko mengalihkan pandangannya ke Arif. "Bagaimana situasi di perusahaan?"
Arif, pria tinggi dengan sorot mata dingin, menjawab dengan tenang, "Perusahaan dalam kondisi aman. Tidak ada pergerakan mencurigakan dari pesaing. Tapi ada beberapa pihak yang terlihat tertarik dengan kedekatan nona Luna dengan Adrian."
"Siapa saja?" tanya Joko.
"Beberapa investor besar mulai mempertanyakan hubungan itu. Mereka mengira Adrian mungkin punya maksud tertentu mendekati nona Luna."
Joko mengetukkan jarinya ke meja lagi. "Bagus. Terus awasi mereka. Jangan sampai ada yang mencoba merusak rencana Bos Kiem."
Dika yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Kalau memang Adrian hanya pacar bayaran, berarti hubungan ini tidak nyata, kan? Bagaimana kalau nanti situasinya berubah?"
Joko menatap Dika tajam. "Apa maksudmu?"
Dika mengangkat bahu. "Bagaimana kalau ternyata nona Luna benar-benar jatuh cinta? Atau sebaliknya, Adrian yang mulai tertarik? Ini bisa membuat segalanya jadi lebih rumit."
Ruangan kembali hening. Semua anggota Naga Hitam berpikir keras.
Joko akhirnya berbicara, suaranya penuh keyakinan. "Itu bukan urusan kita. Tugas kita adalah memastikan keselamatan nona Luna dan memastikan tidak ada ancaman. Urusan perasaan mereka, biarkan berjalan alami. Kita tetap pada tugas kita."
Semua mengangguk setuju.
"Baik," Joko menutup rapat. "Reza, kau bantu Budi menyelidiki latar belakang Adrian. Arif, tetap awasi pergerakan di perusahaan. Dika, kau perkuat pengamanan di sekitar apartemen nona Luna."
"Siap!" jawab mereka serempak.
Dengan itu, mereka bubar, kembali ke tugas masing-masing.
Namun, di dalam hati, mereka bertanya-tanya—apakah semuanya benar-benar akan berjalan sesuai rencana? Ataukah ada kejutan yang menanti di depan?
Malam itu, udara Surabaya cukup dingin. Di dalam mobil hitam yang diparkir di seberang sebuah studio foto kecil, Budi dan Reza duduk dengan waspada. Mereka sudah hampir seminggu membuntuti Adrian, tapi sejauh ini pria itu tampak bersih—terlalu bersih.
"Menurutmu dia benar-benar cuma fotografer freelance?" tanya Reza sambil memperhatikan Adrian yang baru saja keluar dari studio.
Budi menghela napas. "Sejauh ini, iya. Dia selalu keluar rumah dengan motor CBR 150R, bawa ransel berisi peralatan fotografi, dan pulang ke rumah kos kecil di daerah Gubeng. Tidak ada tanda-tanda dia berhubungan dengan orang mencurigakan."
Reza masih belum puas. "Tapi kita belum tahu siapa dia sebenarnya. Bisa saja dia punya identitas lain yang belum kita temukan."
Budi mengangguk setuju. "Makanya kita harus lebih agresif."
"Bos, sepertinya Andrian mau pergi."
"Kita ikuti kemana dia pergi, jangan sampai lolos, Za!"
"Oke."
Mereka memperhatikan Adrian yang sedang memasukkan ranselnya ke dalam jok motor. Kemudian, pria itu mengenakan helm dan menghidupkan mesin motornya.
"Ayo ikuti dia," kata Budi cepat.
Mobil hitam mereka segera melaju pelan, membuntuti Adrian yang menembus jalanan kota dengan motornya.
Beberapa Kilometer Kemudian...
Adrian masih terus melaju, hingga akhirnya dia berbelok ke jalan kecil yang gelap. Budi dan Reza ikut masuk, menjaga jarak agar tidak ketahuan.
"Terlalu sepi," gumam Reza.
"Jangan sampai kehilangan jejak," Budi mengingatkan.
Mereka melihat Adrian berhenti di sebuah warung kopi pinggir jalan, lalu masuk ke dalam.
Budi menginstruksikan Reza, "Kau tetap di mobil. Aku akan masuk dan pura-pura jadi pelanggan."
Reza mengangguk. "Hati-hati."
Budi turun, merapatkan jaketnya, lalu berjalan santai masuk ke dalam warung. Suasana remang-remang, hanya ada beberapa pelanggan yang duduk menikmati kopi. Adrian duduk di sudut, tampak serius dengan ponselnya.
Budi memesan kopi dan duduk di meja tak jauh dari Adrian, pura-pura melihat ponselnya.
Tiba-tiba, Adrian berdiri dan berjalan ke luar. Budi langsung panik.
"Sial, dia pergi," bisiknya sambil buru-buru merogoh dompet, meletakkan uang di meja, dan keluar.
Di luar, Adrian sudah naik ke motornya.
Budi cepat-cepat kembali ke mobil. "Cepat ikuti dia!"
Mobil kembali melaju, kali ini sedikit lebih dekat. Namun tiba-tiba, Adrian mengurangi kecepatan, seolah sadar kalau ada yang mengikutinya.
"Sial, dia curiga!" kata Reza.
"Kita harus berbelok sebelum dia sadar!" balas Budi.
Terlambat.
Adrian tiba-tiba menepi dan menoleh ke belakang. Sekilas, matanya bertemu dengan Budi di dalam mobil.
"Bajingan, dia melihat kita!" seru Reza.
Budi berpikir cepat. "Terus jalan! Jangan berhenti!"
Reza menginjak gas dan melaju melewati Adrian seolah-olah mereka hanya mobil biasa yang kebetulan lewat. Adrian tetap diam, masih menatap mereka.
Setelah cukup jauh, Budi menarik napas lega. "Nyaris saja."
Reza mengetuk setir dengan gusar. "Kita hampir membuat kesalahan fatal."
Budi mengangguk. "Tapi kita dapat kepastian satu hal."
"Apa?"
"Adrian bukan orang biasa. Dia peka terhadap pengintaian. Itu bukan hal yang dimiliki orang sembarangan."
Reza menatap jalan dengan serius. "Itu berarti, kita harus lebih hati-hati. Dan kita harus tahu siapa dia sebenarnya."
Mereka melaju kembali, dengan tekad baru: Mengungkap siapa Adrian sebenarnya sebelum semuanya terlambat.
***
