Perjanjian Kontrak
Di dalam ruang kantor pribadi Luna yang mewah, suasana terasa tegang namun tetap formal. Sebuah dokumen kontrak terbuka di atas meja kaca, dengan tiga cangkir kopi yang masih mengepul di hadapan mereka.
Luna duduk tegak di kursinya, mengenakan blazer hitam yang mempertegas wibawanya sebagai CEO. Di sebelahnya, Rina, sahabat sekaligus asisten pribadi, bersikap netral sebagai saksi.
Sementara itu, Andrian duduk di seberang mereka dengan ekspresi tenang. Ia mengenakan kemeja putih lengan panjang yang digulung hingga siku, tampak sederhana namun tetap berkarisma.
Luna membuka pembicaraan, "Jadi, Adrian, aku ingin memastikan sekali lagi. Kau benar-benar setuju dengan perjanjian ini?"
Andrian menatapnya, matanya tajam namun tetap penuh ketenangan. "Iya. Aku sudah membaca semua isi kontraknya. Tidak ada yang memberatkanku."
Rina tersenyum kecil. "Bagus. Jadi kita bisa langsung tanda tangan?"
Andrian mengangguk, lalu melirik isi kontrak sekali lagi sebelum berbicara, "Dalam kontrak ini tertulis bahwa aku akan berpura-pura menjadi pacarmu selama tiga bulan. Aku akan menemanimu ke acara keluarga, pertemuan bisnis, dan situasi lain yang membutuhkan pasangan. Sebagai imbalannya, aku akan menerima lima juta rupiah per bulan selama tiga bulan. Benar begitu?"
Luna mengangguk. "Benar. Dan ada beberapa poin tambahan. Pertama, kau harus menjaga citraku di depan publik. Jangan ada skandal atau perilaku yang bisa mencoreng nama baikku."
Andrian tersenyum tipis. "Aku bukan tipe orang yang suka cari masalah."
Luna melanjutkan, "Kedua, ini hanya hubungan kontrak. Jangan pernah berharap ada keterlibatan perasaan di antara kita."
Andrian tertawa pelan, menatap Luna dengan ekspresi penuh arti. "Aku mengerti. Aku bukan tipe pria yang mudah jatuh cinta."
Luna mengangkat alis, sedikit tersinggung dengan nada Adrian, tapi ia tetap menjaga sikap profesional.
Rina yang dari tadi memperhatikan, ikut menimpali, "Dan yang terakhir, semua hal yang terjadi dalam kontrak ini harus dirahasiakan. Tidak boleh ada pihak luar yang tahu, kecuali orang-orang tertentu yang memang perlu mengetahuinya."
Andrian mengambil pena yang disediakan di meja, memainkannya sebentar di jari-jarinya sebelum akhirnya berkata, "Aku sudah mempertimbangkan semuanya. Jadi, mari kita selesaikan ini."
Tanpa ragu, ia menandatangani kontrak di tempat yang sudah ditentukan.
Luna pun melakukan hal yang sama, lalu menyerahkan dokumen kepada Rina.
"Kontrak resmi dimulai dari hari ini," kata Luna dengan nada tegas.
Andrian menyandarkan punggungnya ke kursi, lalu menatap Luna dengan ekspresi penasaran. "Jadi, kapan kita memulai pertunjukan ini?"
Luna menatapnya tajam. "Besok malam. Aku akan membawamu ke makan malam keluarga."
Andrian tersenyum santai. "Baik. Aku akan memastikan kita tampak seperti pasangan yang sempurna."
Luna menghela napas dalam hati. Ini baru awal dari segalanya. Entah bagaimana, ia merasa tiga bulan ke depan tidak akan berjalan semudah yang ia pikirkan.
Malam itu, suasana di kediaman keluarga Kiem terasa lebih hangat dari biasanya. Ruang makan yang luas dan elegan dihiasi lampu kristal yang berkilauan. Aroma hidangan khas Tionghoa memenuhi ruangan, menambah kesan mewah sekaligus akrab.
Luna menggandeng lengan Andrian, membawanya masuk ke ruang makan di mana keluarga besarnya sudah berkumpul. Semua mata langsung tertuju pada mereka berdua.
"Ah, akhirnya! Luna membawa seseorang!" seru salah satu tante Luna dengan nada menggoda.
Kakek Kiem, pria tua yang masih tampak berwibawa dengan rambut putihnya yang rapi, hanya tersenyum tipis sambil menyesap tehnya. Ia tidak langsung bereaksi, hanya memperhatikan pria yang dibawa cucunya dengan tatapan tajam namun penuh arti.
Luna menarik napas dalam, lalu memperkenalkan Andrian. "Kakek, tante, om, ini Adrian, pacarku."
Andrian melangkah maju, membungkuk sedikit dengan sopan. "Senang bertemu dengan Anda semua. Terima kasih sudah mengundang saya ke makan malam ini."
Kakek Kiem menatapnya sejenak, lalu mengangguk. "Silakan duduk, Nak Andrian."
Mereka pun duduk di kursi masing-masing. Luna di sebelah Andrian, sedangkan Kakek Kiem duduk di kursi utama, mengamati segalanya dengan mata penuh pengamatan.
Makan malam dimulai, dan obrolan pun mengalir. Para tante Luna mulai bertanya-tanya tentang pekerjaan dan latar belakang Adrian.
"Jadi, Andrian, kau bekerja sebagai apa?" tanya Om Herman, kakak tertua ayah Luna.
Andrian dengan tenang meletakkan sumpitnya dan menjawab, "Saya seorang fotografer, Om. Lebih banyak bekerja secara freelance, tapi saya juga sering mengambil proyek besar, seperti pemotretan fashion dan event."
Beberapa anggota keluarga tampak mengangguk-angguk, terkesan dengan jawaban Andrian yang penuh percaya diri.
Tante Vivi menyeringai, "Wah, pasti banyak model cantik yang kau potret, ya? Apa Luna tidak cemburu?"
Luna tersedak sedikit mendengar pertanyaan itu, tapi Andrian hanya tersenyum dan menjawab dengan nada santai, "Luna tahu pekerjaanku. Dia cukup dewasa untuk tidak mudah cemburu. Lagi pula, yang cantik kan cuma Luna di mataku."
Luna melirik Andrian dengan tatapan tajam, tetapi wajahnya justru memerah. Sementara itu, Kakek Kiem yang sejak tadi hanya diam, mulai menunjukkan senyum kecil.
"Menarik," gumam Kakek Kiem pelan.
Ia lalu menatap Andrian lebih dalam, mencoba mencari celah kebohongan. Namun, pria muda ini terlalu tenang dan penuh percaya diri. Tidak ada tanda-tanda gugup atau kepalsuan dalam gerak-geriknya.
"Kau tahu, Adrian," kata Kakek Kiem akhirnya, "keluarga ini sangat melindungi Luna. Kami tidak ingin dia disakiti atau dimanfaatkan. Kau benar-benar serius dengannya?"
Andrian menatap langsung ke mata Kakek Kiem, tanpa sedikit pun keraguan. "Saya tidak akan berani mempermainkan Luna, Kek. Dia wanita luar biasa, dan saya menghormatinya."
Luna terkejut mendengar jawaban Andrian. Bahkan dia sendiri tidak menyangka Adrian bisa berbicara dengan begitu meyakinkan.
Kakek Kiem mengangguk pelan, lalu tersenyum. "Bagus. Kau pria yang menarik, Andrian. Aku suka caramu berbicara."
Para anggota keluarga lain tampak lega dan mulai menerima kehadiran Adrian. Obrolan semakin mengalir, suasana semakin hangat.
Luna yang awalnya tegang mulai merasa sedikit nyaman. Tapi dalam hati, ia tahu bahwa kakeknya bukan orang yang mudah ditipu.
Sementara itu, Kakek Kiem tersenyum dalam hati. "Mari kita lihat sejauh mana kau bisa mempertahankan sandiwara ini, Luna."
Setelah acara makan malam selesai, para anggota keluarga Kiem mulai meninggalkan meja makan dan berbincang-bincang di ruang tamu. Luna berpamitan sebentar ke kamar untuk mengambil sesuatu, meninggalkan Adrian sendirian di dekat meja makan.
Saat itu, Kakek Kiem yang sejak tadi diam, berdiri dan berjalan perlahan mendekati Adrian. Suasana di antara mereka menjadi lebih hening. Adrian bisa merasakan aura kewibawaan yang begitu kuat dari pria tua itu.
"Andrian," suara Kakek Kiem terdengar berat dan tegas. "Ikut aku sebentar."
Andrian menelan ludah, tapi ia tetap menjaga ekspresi wajahnya agar tidak terlihat gugup. Dengan langkah tenang, ia mengikuti Kakek Kiem ke salah satu sudut ruangan yang lebih sepi. Dari kejauhan, beberapa anggota keluarga melirik mereka dengan penasaran, tapi tak ada yang berani mendekat.
Kakek Kiem menatap Andrian dengan tajam, seolah ingin menembus isi pikirannya. Setelah beberapa detik hening, pria tua itu akhirnya berbicara.
"Kau tahu siapa aku, bukan?"
Andrian mengangguk. "Tentu, Kek. Nama besar keluarga Kiem sangat dihormati di dunia bisnis."
"Bagus." Kakek Kiem menyipitkan mata sedikit. "Kalau begitu, kau juga harus tahu bahwa keluarga ini bukan sekadar keluarga biasa. Aku tidak akan membiarkan siapa pun menyakiti Luna. Kau mengerti maksudku?"
Andrian menegakkan tubuhnya. "Saya paham, Kek."
"Aku tidak butuh pemahaman," kata Kakek Kiem, kali ini dengan nada lebih dalam. "Aku butuh kepastian. Aku ingin kau berjanji di hadapanku bahwa kau tidak akan menyakiti cucuku, baik secara fisik maupun emosional."
Andrian menarik napas panjang. Ia menyadari bahwa ini bukan sekadar nasihat biasa. Ini adalah peringatan. Salah langkah sedikit saja, dia bisa berada dalam masalah besar.
Dengan suara mantap, Andrian menjawab, "Saya berjanji, Kek. Saya akan menjaga Luna."
Kakek Kiem mengangguk pelan, lalu mendekat sedikit. "Dunia bisnis itu kejam, Adrian. Aku sudah melihat banyak orang datang dan pergi. Ada yang bertahan, ada yang jatuh, dan ada yang dihancurkan. Aku harap kau tidak masuk dalam kategori yang terakhir."
Jantung Andrian berdebar, tapi ia tetap tenang. "Saya mengerti, Kek."
Kakek Kiem tersenyum tipis. "Bagus. Sekarang, buktikan kalau kau pria yang bisa diandalkan."
Tepat saat itu, Luna muncul kembali dengan tasnya. "Kakek, aku pulang dulu, ya."
Kakek Kiem berbalik dan tersenyum pada cucunya. "Baiklah, hati-hati di jalan."
Luna menoleh pada Andrian.
"Ayo, kita pulang!"
Adrian mengangguk, lalu pamit pada Kakek Kiem. "Terima kasih atas jamuannya, Kek."
Saat Adrian melangkah pergi bersama Luna, ia bisa merasakan tatapan Kakek Kiem masih mengikuti punggungnya.
Di dalam hati, Adrian sadar bahwa ini bukan permainan biasa. Ia harus berhati-hati dalam setiap langkahnya. Salah langkah sedikit saja, ia bukan hanya kehilangan kontraknya, tapi bisa saja kehilangan lebih dari itu.
***
