
Ringkasan
Luna, seorang CEO sukses PT. Kiem Tekstil, selalu fokus pada bisnisnya hingga lupa memikirkan cinta. Kakek Kiem, sang pengusaha legendaris, mendesaknya untuk segera menikah atau menerima perjodohan yang telah dipersiapkan. Terdesak oleh ultimatum itu, Luna membuat keputusan nekat—menyewa seorang pria untuk berpura-pura menjadi pacarnya. Adrian, pria tampan dengan masa lalu misterius, setuju menjalani peran sebagai pacar bayaran dengan syarat ketat: tidak ada perasaan yang boleh terlibat. Namun, sandiwara mereka justru membawa kejadian-kejadian kocak, penuh drama, dan romansa yang tak terduga. Saat cemburu mulai menyelinap, rahasia terungkap, dan perasaan mereka semakin nyata, Luna dan Adrian harus memilih: tetap bertahan dalam kebohongan atau mengakui cinta yang tumbuh di antara mereka?
Luna Kiem
Luna duduk tegap di balik meja kerjanya, menatap layar laptop dengan tatapan tajam. Di hadapannya, beberapa eksekutif perusahaan PT. Kiem Tekstil duduk dengan raut wajah serius. Rapat strategi bisnis baru saja dimulai, dan seperti biasa, Luna selalu memegang kendali.
"Kita harus meningkatkan kualitas bahan baku tanpa mengorbankan biaya produksi," ujar Luna dengan suara tegas. "Saya ingin semua lini produksi tetap berjalan efisien tanpa ada kendala distribusi."
Seorang manajer pemasaran, Pak Aditya, mengangguk dan mencatat sesuatu di tabletnya. "Kami sedang bernegosiasi dengan pemasok baru dari India, Bu Luna. Mereka menawarkan harga lebih murah, tapi kita harus memastikan kualitasnya."
Luna menyandarkan tubuhnya, menautkan jemarinya di atas meja. "Saya ingin laporan rinci sebelum kita menandatangani kontrak. Kualitas tetap jadi prioritas utama. Kiem Tekstil sudah punya reputasi tinggi, dan saya tidak akan mengorbankannya demi harga murah."
Para eksekutif mengangguk setuju. Di dunia bisnis tekstil, nama Kiem Tekstil adalah raksasa. Dan semua itu berkat kepemimpinan Luna yang cerdas dan penuh dedikasi.
Setelah rapat usai, sekretaris pribadinya, Rima, masuk ke ruangan dengan ekspresi ragu.
"Bu Luna, Kakek Kiem menelepon. Beliau ingin bertemu malam ini untuk makan malam keluarga."
Luna menghela napas panjang, "Pasti soal jodoh lagi, kan?"
Rima tersenyum simpul. "Sepertinya begitu, Bu."
"Terus apa lagi yang dikatakan, Rim?"
Rima diam sejenak untuk mengingat pesan bos Kiem yang dirasa masih lupa, tak berapa lama tersenyum karena ingat.
"Eem..anu Bu, kata bos Kiem, ibu malam ini diminta harus datang. Kalau tidak ingin dicoret dari pewaris tunggal."
Luna berdiri dan merapikan jasnya. "Baiklah. Aku akan datang. Tidak ada pilihan lain."
Dia segera siap-siap untuk pergi ke rumah kakek sore ini. Sebetulnya Luna bosan bila ketemu kakek, pasti yang dibahas masalah jodoh.
Malam harinya dia datang dengan mengendarai mobil. Luna duduk di meja makan besar rumah keluarga Kiem. Kakek Kiem, pria tua dengan rambut putih rapi dan mata yang masih tajam meskipun usianya sudah senja, menatap cucunya dengan serius.
"Luna, kamu sudah 28 tahun. Sampai kapan kamu hanya fokus bekerja?" Tanya Kakek Kiem dengan nada penuh wibawa.
Luna meletakkan sendoknya dan menatap sang kakek. "Kakek, aku belum menemukan orang yang tepat. Lagipula, aku masih sibuk membangun perusahaan."
Kakek Kiem menggeleng.
"Jangan jadikan pekerjaan sebagai alasan. Kamu harus menikah. Kalau dalam tiga bulan kamu masih sendiri, Kakek yang akan menjodohkan kamu."
Luna hampir tersedak, "Apa? Tiga bulan? Itu terlalu cepat, Kek!"
"Kalau kamu tidak mau dijodohkan, buktikan bahwa kamu punya pacar." Kakek Kiem menatapnya tajam, tidak membuka ruang untuk perdebatan.
Luna terdiam. Kali ini, ancaman Kakek Kiem bukan main-main.
Setelah makan malam selesai, Luna berjalan ke luar rumah sambil menghubungi Rina. Dengan perasaan tak menentu dia duduk di bangku taman samping rumah.
Dreeet.... dreeet... dreeet... suara getar handphone Ratna di atas meja rias. Dia segera meraih handphone, ada nama Nona Luna Kiem tertera di layar.
"Hallo, Lun, ada apa, kok tumben telepon!? Pasti ada masalah?"
"Aku butuh pacar dalam waktu tiga bulan. Dan aku tidak bisa menunggu keajaiban datang sendiri." Jawab Luna tanpa basa-basi.
Rina terkekeh di ujung telepon, "Mungkin kamu perlu menyewa pacar bayaran?"
"Rin, aku serius nih, pikiran lagi kacau!"
"Ya, udah, aku tunggu di apartemen kamu," kata Rina. "Mending sekarang kamu pamit sama bos Kiem pulang."
"Oke."
Luna menutup telepon, tersenyum kecut. Ide itu terdengar gila, ada-ada saja itu Rina, beri solusi cari pacar bayaran.
----
Tekanan Ultimatum Kakek Kiem
Luna menarik napas dalam sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. Meja makan besar di rumah keluarga Kiem kini hanya menyisakan dirinya dan Kakek Kiem, yang masih duduk dengan tenang, menyesap teh hijaunya dengan tatapan penuh arti.
"Kek, aku pamit pulang. Aku janji, dalam tiga bulan aku akan membawa pacarku," kata Luna, mencoba terdengar meyakinkan meskipun di dalam kepalanya, ia sendiri tidak tahu bagaimana mewujudkan janji itu.
Kakek Kiem menurunkan cangkirnya, menatap Luna dengan tatapan tajam yang sudah biasa ia lihat sejak kecil. "Tiga bulan, Luna. Itu waktu yang cukup lama untuk seseorang sepertimu yang cerdas dan punya banyak koneksi."
Luna tersenyum tipis. "Iya, Kek. Aku akan menemukannya."
Tapi Kakek Kiem tidak tertawa. Wajahnya tetap serius, bahkan lebih dari sebelumnya. "Kalau sampai tiga bulan tidak ada kabar, kamu harus menerima perjodohan yang Kakek pilihkan."
Darah Luna seperti berhenti mengalir sejenak. "Kakek, aku sudah bilang aku bisa menemukan pacarku sendiri. Kenapa harus ada ancaman seperti ini?"
Kakek Kiem menghela napas. "Kakek ini sudah tua, Luna. Kakek ingin melihat cucu Kakek bahagia. Kakek ingin melihat kamu menikah sebelum Kakek pergi dari dunia ini."
Luna mengepalkan tangannya di bawah meja. Tekanan itu begitu kuat, seakan-akan hidupnya dipaksa masuk ke dalam skenario yang tidak ia inginkan.
"Aku mengerti, Kek," jawab Luna lirih.
Kakek Kiem menatapnya dalam-dalam, lalu mengangguk. "Bagus. Kakek harap kamu tidak mengecewakan Kakek."
Luna berpamitan, mencium tangan kakeknya sebelum melangkah keluar rumah dengan perasaan campur aduk.
---
Di dalam mobil, Luna menatap kosong ke arah jalanan kota Surabaya yang diterangi lampu-lampu jalan. Malam itu terasa lebih berat dari biasanya.
Rina, yang sudah menunggu di apartemen Luna, langsung berdiri begitu sahabatnya masuk. "Gimana? Kakek Kiem masih keras kepala?"
Luna menjatuhkan tubuhnya di sofa dan mengusap wajahnya dengan frustrasi. "Bukan hanya keras kepala, dia bahkan memberi ultimatum. Tiga bulan. Kalau dalam tiga bulan aku tidak punya pacar, dia akan menjodohkan aku!"
Rina mengerutkan dahi. "Gila! Terus, kamu mau gimana?"
Luna menatap langit-langit. "Aku enggak tahu. Aku enggak punya pacar, dan aku juga enggak mau dijodohkan."
Rina duduk di sebelahnya, menatap Luna dengan penuh pemikiran. "Luna, kamu itu cantik, cerdas, CEO sukses. Masa sih enggak ada satu pun pria yang bisa kamu ajak kerja sama untuk pura-pura jadi pacarmu?"
Luna mendesah. "Kalau ada, aku enggak akan stres begini."
Rina tiba-tiba menepuk paha Luna, membuatnya sedikit tersentak. "Gimana kalau kita sewa pacar bayaran?"
Luna menoleh dengan tatapan tak percaya. "Rina, kamu serius?"
Rina mengangkat bahu. "Kenapa enggak? Daripada dijodohkan sama pria yang bahkan kamu enggak kenal, lebih baik cari seseorang yang bisa berpura-pura jadi pacarmu selama tiga bulan. Setelah itu, beres. Nggak ada yang tahu, dan kamu tetap punya kendali atas hidupmu."
Luna terdiam. Ide itu memang terdengar gila. Tapi semakin dipikirkan, semakin masuk akal.
"Jadi, kita mulai cari dari mana?" tanya Luna akhirnya.
Rina menyeringai. "Serahkan padaku. Aku punya beberapa kenalan yang mungkin bisa membantu."
Luna menghela napas panjang. Keputusan ini mungkin akan mengubah hidupnya. Tapi setidaknya, ia masih bisa mempertahankan kebebasannya—untuk sekarang.
***