Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Pencarian Pacar Palsu

Luna duduk dengan ekspresi serius di ruang VIP sebuah agensi model ternama di Surabaya. Ia mengenakan blazer putih dengan celana panjang senada, tampak berwibawa seperti seorang CEO sejati. Di sampingnya, Rina, sahabatnya sekaligus manajer di agensi itu, tersenyum lebar dengan clipboard di tangan.

"Aku masih nggak percaya aku melakukan ini," gumam Luna sambil menyilangkan tangan di dada.

Rina terkekeh. "Hei, ini cara paling praktis! Daripada kamu dijodohkan sama orang yang nggak kamu kenal, lebih baik kamu pilih sendiri. Anggap aja ini audisi buat peran 'Pacar Luna'."

Luna menghela napas panjang. "Aku cuma mau seseorang yang bisa meyakinkan kakek, itu aja. Nggak perlu yang terlalu tampan atau terlalu romantis, asal pintar bersikap dan nggak gampang grogi."

Rina menepuk clipboard-nya. "Siap! Kita udah dapat lebih dari 20 pendaftar hari ini. Siap untuk seleksi?"

Luna mengangguk pasrah. "Baiklah, ayo kita mulai."

---

Peserta 1: Andre, Model Pemula

Seorang pria tampan dengan tubuh atletis masuk ke ruangan. Ia tersenyum penuh percaya diri.

"Hai, aku Andre. Aku model baru di agensi ini. Aku bisa jadi pacar bayaranmu dengan sangat meyakinkan."

Luna mengamati pria itu dari atas ke bawah. "Oke, seandainya kita bertemu dengan kakekku, apa yang akan kamu lakukan?"

Andre tertawa kecil, lalu menyandarkan tubuh ke kursi dengan gaya sok cool. "Gampang. Aku akan menggandeng tanganmu, menatap matamu dalam-dalam, dan bilang, 'Sayang, aku beruntung banget bisa bersamamu.'"

Luna menatapnya datar. "Kamu terdengar kayak tokoh drama murahan."

Rina menahan tawa.

Andre mengedipkan sebelah mata. "Yakin nggak mau coba?"

Luna langsung memberi isyarat pada Rina. "Selanjutnya."

Andre keluar dengan wajah kecewa.

---

Peserta 2: Bimo, Anak Gaul yang Sok Romantis

Seorang pria berkacamata hitam dengan jaket kulit masuk dengan langkah percaya diri.

"Yo, nama gue Bimo. Cewek mana pun bakal luluh kalau ada di samping gue."

Luna mengangkat alis. "Oh ya? Coba yakinkan aku kalau kamu pacar yang meyakinkan."

Bimo meraih tangan Luna, lalu berkata dengan suara yang dibuat-buat lembut, "Beb, aku bakal bikin dunia ini cuma milik kita berdua."

Luna cepat-cepat menarik tangannya dan melotot. "Terlalu lebay. Selanjutnya!"

Bimo mengangkat bahu dan keluar dengan santai.

---

Peserta 3: Denny, Si Pemalu yang Gagap

Denny duduk di hadapan Luna dengan gugup. Tangannya gemetar saat berbicara.

"A-a-a-ku Denny. S-s-senang bertemu denganmu, Luna."

Luna mencoba bersikap ramah. "Denny, kalau kita harus berpura-pura pacaran, kamu harus bisa lebih santai. Bisa kan?"

Denny mengangguk, tapi keringatnya sudah bercucuran. "A-a-ku… s-s-sangat menghormati wanita. T-tapi aku nggak tahu g-g-gimana harus bersikap sebagai pacar."

Luna tersenyum simpati. "Sepertinya ini bukan untukmu, Denny."

Denny hanya menunduk dan keluar dengan wajah merah padam.

---

Peserta-peserta Lainnya

Satu per satu peserta lain masuk dan keluar. Ada yang terlalu berlebihan, ada yang tidak cukup meyakinkan, ada juga yang malah sibuk pamer keahlian aneh seperti menari atau berakting menangis.

Hingga akhirnya…setelah dua jam penuh ujian kesabaran, Luna menyandarkan kepalanya ke meja dan mengeluh.

"Kenapa nggak ada yang cocok, Rina? Aku butuh seseorang yang profesional, bukan badut!"

Rina tertawa. "Tenang, masih ada satu peserta lagi. Katanya dia spesial."

Luna mengangkat kepala dengan lesu. "Siapa lagi?"

Rina tersenyum misterius. "Lihat saja sendiri."

Luna duduk dengan ekspresi bosan di kursi ruang VIP agensi. Sudah lebih dari dua puluh orang datang dan pergi, tapi tak satu pun yang cocok.

"Aku menyerah, Rina," keluhnya sambil memijat pelipis.

Rina tersenyum misterius. "Sabar, Luna. Ini kandidat terakhir. Katanya, dia cukup menarik."

"Semoga kali ini berhasil, minimal mendekati kriteria yang aku butuhin."

"Aku yakin kali ini berhasil," ujar Rina santai, "Namun sejauh ini aku belum tahu identitas pribadi, baru tahu ketika dia ikutan daftar."

"Jadi kamu belum tahu sebelumnya?"

"Belum."

"Aduh, mati aku Rin..." Cetus Luna lemes, "Gimana kalau dia berasal dari orang mafia?"

"Lun, meskipun aku belum tahu sebelumnya, tapi aku yakin dia orang baik kok."

Luna mendesah. "Kita lihat saja."

Pintu terbuka, dan seorang pria melangkah masuk.

Dia tinggi, berkulit bersih, dengan rahang tegas dan tatapan mata tajam. Rambutnya sedikit berantakan tapi terlihat alami, seolah dia tidak terlalu peduli dengan penampilannya. Dia mengenakan kaus hitam polos dan jaket denim, sangat kontras dengan kandidat-kandidat sebelumnya yang terlalu berusaha tampil sempurna.

Luna menatap pria itu dengan penuh minat.

"Nama saya Andrian," ucapnya singkat.

Luna melirik Rina yang hanya mengangkat bahu, memberi isyarat untuk melanjutkan.

"Andrian," ulang Luna, "kenapa kamu tertarik dengan pekerjaan ini?"

Andrian menatapnya sebentar, lalu menjawab dengan nada datar, "Butuh uang."

Luna terkejut dengan jawabannya yang jujur. "Hanya itu?"

Andrian mengangkat bahu. "Aku fotografer freelance. Kadang ada proyek besar, kadang sepi. Jadi kalau ini bisa membantu keuanganku, kenapa tidak?"

Luna tersenyum tipis. "Setidaknya, kamu jujur. Aku butuh seseorang yang bisa berpura-pura jadi pacarku di depan kakekku. Harus terlihat meyakinkan, bisa bersikap sopan, dan… tidak berlebihan."

Andrian mengangguk. "Terdengar mudah."

Luna menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap pria di hadapannya. Ada sesuatu dalam sikap Andrian yang berbeda dari kandidat sebelumnya. Dia tidak terlalu berusaha mengesankan, tapi justru itulah yang membuatnya menarik.

"Aku punya beberapa syarat," lanjut Luna. "Kalau kamu setuju, kita bisa lanjut ke tahap berikutnya."

Adrian menatapnya dengan ekspresi tak terbaca. "Apa saja?"

Luna mengambil selembar kertas di meja dan mulai membaca.

"Pertama, ini hanya kontrak profesional. Tidak ada perasaan yang terlibat."

"Baik."

"Kedua, kamu harus bisa menyesuaikan diri dengan gaya hidupku. Aku CEO, jadi kita mungkin akan sering bertemu di acara bisnis atau keluarga."

"Dimengerti."

"Ketiga, tidak boleh membocorkan kontrak ini ke siapa pun. Termasuk teman, keluarga, atau media."

Andrian menatap Luna dengan ekspresi sedikit heran. "Kamu pikir aku akan menjual cerita ini ke media?"

Luna mengangkat bahu. "Hanya berjaga-jaga."

Andrian tersenyum tipis. "Aku tidak tertarik dengan drama selebriti."

Luna menutup kertas kontrak dan menatapnya. "Kalau begitu, tinggal tanda tangan."

Andrian menatap Luna lekat-lekat, lalu bertanya, "Kapan kita mulai?"

Luna terdiam sejenak. Dia belum benar-benar memutuskan kapan harus mulai memainkan sandiwara ini.

"Aku akan menghubungimu," jawabnya akhirnya. "Sekarang, anggap saja kamu sudah terpilih. Aku hanya butuh waktu sebelum benar-benar menjalankannya."

Andrian mengangguk santai. "Baik. Aku tunggu kabar darimu."

Tanpa berkata banyak lagi, Adrian mengambil pena, menandatangani kontrak, lalu bangkit berdiri.

"Sampai jumpa nanti, Luna," ucapnya sebelum melangkah keluar.

Luna hanya bisa menatap punggungnya dengan perasaan campur aduk.

"Menarik," gumam Rina di sampingnya. "Kali ini, aku rasa kamu menemukan orang yang tepat."

Luna tersenyum kecil. "Kita lihat saja nanti."

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel