Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kontrak gairah (part 3)

Suara gelas beradu, tawa renyah, dan musik jazz klasik memenuhi aula besar rumah Leonard malam itu. Udara dipenuhi aroma mahal: parfum, wine, dan kayu manis dari lilin-lilin aromaterapi. Semua orang tampak elegan—laki-laki dengan tuksedo rapi, perempuan mengenakan gaun berkilau yang membentuk tubuh seperti pahatan.

Dan di tengah mereka semua, berdiri Nayla.

Malam ini, tubuhnya dibungkus dress sutra merah marun tanpa bra, begitu tipis dan licin hingga setiap gerakan kecil memperlihatkan garis tubuhnya yang menggoda. Di lehernya—seperti biasa—terpasang choker hitam bertuliskan PROPERTY OF L dengan emas halus. Dan hanya Leonard dan Nayla yang tahu: ia tak mengenakan apa pun di balik gaun itu.

Pesta itu bukan pesta biasa. Ini adalah pesta khusus, eksklusif. Undangan hanya diberikan kepada kalangan terbatas—orang-orang yang, seperti Leonard, bermain di wilayah abu-abu antara kekuasaan, kesenangan, dan dominasi.

Mereka adalah tuan-tuan dan nyonya-nyonya yang punya milik.

Dan malam ini, Nayla akan diperkenalkan sebagai milik Leonard.

“Jangan bicara kecuali aku izinkan,” bisik Leonard di telinganya saat mereka melangkah ke tengah ruangan. “Dan kalau kau melihat seseorang menatapmu, kau balas dengan tatapan patuh. Bukan malu. Bukan tantang. Patuh.”

Nayla hanya mengangguk pelan.

Jantungnya berdetak kencang, tapi tubuhnya terasa lebih panas dari gugup. Ada sesuatu yang tumbuh dalam dirinya—rasa diterima, diinginkan, bahkan dimiliki. Ia bukan lagi gadis biasa. Ia adalah milik dari pria yang ditakuti dan dihormati di ruangan ini.

Leonard memperkenalkannya satu per satu. “Ini Nayla,” katanya singkat kepada seorang pria tua berkacamata, seorang wanita cantik bergaun transparan, sekelompok pasangan muda dengan tatapan penuh rahasia. Tak ada yang mempertanyakan statusnya. Tak ada yang bertanya “siapa dia” — karena semua tahu.

Dia milik Leonard.

Ketika jam menunjukkan pukul sepuluh malam, Leonard menggandeng Nayla menuju sebuah ruangan khusus di lantai atas. Ruangan itu gelap, hanya diterangi lampu sorot hangat dari langit-langit. Di dalamnya: sofa besar melingkar, meja panjang penuh wine dan buah, dan satu benda yang membuat Nayla menahan napas.

Sebuah kursi pajangan dari besi hitam dan kulit cokelat—didesain seperti singgasana, tapi dengan posisi kaki terbuka dan tangan terikat ke samping.

“Duduklah,” ujar Leonard, suaranya tenang namun penuh perintah.

Nayla melirik ke sekeliling. Beberapa tamu lain mulai masuk ke dalam ruangan. Mereka membawa gelas anggur, duduk dengan santai, seolah menonton pertunjukan.

Ia tahu ini akan terjadi. Tapi tidak menyangka akan secepat ini.

Tangannya sedikit gemetar, tapi ia melangkah maju. Perlahan, ia duduk di kursi itu. Leonard membantunya membuka gaunnya, menurunkannya perlahan hingga terjatuh ke lantai. Sekarang ia telanjang, hanya mengenakan choker.

Leonard menatapnya lekat-lekat. “Lepas kendali. Tapi jangan pernah lupa… kau milikku.”

Ia mengikat pergelangan tangan Nayla ke sisi kursi. Lalu kaki Nayla, diikat terpisah ke dua lengan sandaran, membuat bagian paling pribadi dari tubuhnya terbuka lebar ke arah penonton.

Beberapa tamu mulai tersenyum. Seorang wanita muda menggigit bibir. Seorang pria tua menyeruput wine sambil menatap tanpa berkedip.

Dan di tengah semua itu, Leonard mulai menyentuh Nayla.

Tidak dengan tangan.

Tapi dengan pena bulu angsa—halus, menggelitik, dan menyiksa. Ia menyapukannya dari leher, ke puting Nayla yang langsung menegang, lalu ke bagian bawah yang basah perlahan karena rasa malu bercampur gairah.

Nayla mendesah, tubuhnya bergerak refleks, tapi ikatan membuatnya tak bisa kemana-mana.

Lalu Leonard mengganti pena itu dengan alat kecil bergetar, diletakkan tepat di atas klitoris Nayla. Getarannya pelan, menyiksa. Nayla menjerit kecil, tapi Leonard menekannya kuat.

“Jangan keluar sebelum aku izinkan. Atau semua orang di ruangan ini akan mendapat kesempatan memainkanmu.”

Mata Nayla membelalak. Tapi tubuhnya tak bisa berbohong. Pinggulnya bergerak. Napasnya kasar. Putingnya menegang. Cairannya menetes ke kursi.

Leonard menyeringai. Ia menatap ke sekeliling.

“Siapa pun di sini boleh memberi perintah suara. Tapi tak boleh menyentuh.”

Dan satu per satu… tamu mulai bermain.

“Bilang kau pelacur milik tuanmu,” ujar wanita bergaun hitam.

Nayla terisak, lalu mengucap, “Aku pelacur milik Tuan Leonard...”

“Putar pinggulmu lebih keras,” perintah pria di sudut.

“Cium udara di depanmu, seperti cium kemaluan Tuanmu,” bisik pasangan muda dari sofa.

Perintah demi perintah dilontarkan. Nayla tak bisa memilih. Tapi tubuhnya bergerak, menari dalam rasa malu dan gairah yang membakar. Ia menggelinjang, merintih, menggigit bibir sampai darah keluar.

Dan ketika Leonard akhirnya membisikkan, “Keluarlah sekarang,” tubuh Nayla meledak dalam orgasme paling memalukan sekaligus memuaskan yang pernah ia alami.

Suara jeritannya memenuhi ruangan.

Tamu-tamu bertepuk tangan.

Tubuhnya lemas, napasnya tercekat, dan air matanya jatuh.

Tapi bukan karena sakit.

Melainkan karena akhirnya, ia menerima sepenuhnya—

Bahwa dirinya milik Tuan-nya.

Leonard melepaskan ikatan itu. Memeluk Nayla dari belakang. Membisik di telinganya,

“Dan kau belum melihat yang paling liar, sayang.”

***

Pagi itu, untuk pertama kalinya sejak kontrak dimulai, Nayla bangun tanpa catatan perintah. Tidak ada pesan dari Leonard. Tidak ada jadwal. Tidak ada alat yang dipasangkan. Hanya sebuah tulisan kecil di atas bantal satin:

Hari ini milikmu. Tapi tubuhmu sudah bukan milikmu lagi, kan?

Nayla tersenyum getir. Tangannya meraba tengkuk. Masih ada bekas merah dari cengkeraman Leonard semalam. Punggungnya pun nyeri… bukan karena luka, tapi kenangan. Ia melangkah ke dapur apartemen, telanjang, membiarkan udara pagi menggigit kulitnya. Ia membuat kopi. Duduk. Diam.

Lima menit. Sepuluh menit.

Tubuhnya mulai resah.

Tanpa perintah, tanpa dominasi, tanpa kendali… tubuhnya bingung harus bagaimana. Pinggulnya sesekali bergerak sendiri di atas kursi. Putingnya menegang meski tak ada yang menyentuh. Dan ketika ia menyilangkan kaki, basahnya sudah tak bisa disangkal.

Ia menyentuh diri. Tapi tidak seperti biasa. Tidak dengan gairah. Tapi… frustrasi.

Karena bukan itu yang ia inginkan.

Ia tidak ingin masturbasi.

Ia ingin diperintah.

Siang menjelang. Nayla mencoba sibuk. Menonton film, membuka media sosial, membaca buku. Tapi setiap bab yang ia baca berubah makna. Setiap kalimat seakan menjelma bisikan Leonard:

“Sentuh dirimu.”

“Lepas kendali.”

“Tunduk.”

Saat sore datang, Nayla berdiri di depan cermin. Ia menatap dirinya sendiri. Dan satu kalimat muncul dalam pikirannya, begitu jelas:

“Tubuhku milik Tuan.”

Tanpa sadar, ia mengenakan mantel panjang tipis, tidak memakai pakaian dalam, dan memesan taksi menuju penthouse Leonard.

***

Leonard membukakan pintu dengan ekspresi santai. Ia sedang membaca buku, kaus putih dan celana hitam longgar.

“Bukankah hari ini hari bebasmu?” tanyanya.

Nayla masuk tanpa bicara. Menutup pintu. Berdiri di depan Leonard. Lalu perlahan membuka mantelnya, menunjukkan bahwa tubuhnya telanjang. Lembut. Siap. Dan basah.

“Aku... mau dipakai,” bisiknya.

Leonard menutup bukunya perlahan.

“Begitu cepat merindukan perintah?”

“Aku pikir aku bisa sendiri. Tapi tubuhku... menolak.”

Ia menunduk, lalu merangkak ke arah Leonard. “Aku butuh... Tuan.”

Leonard mengangkat dagunya. “Kalau begitu, buktikan. Ambil kendali. Buat aku percaya bahwa kau memang haus dikendalikan.”

Nayla berdiri. Perlahan menaiki tubuh Leonard di sofa. Ia duduk di pangkuannya, meraih tangan Leonard dan meletakkannya di dadanya sendiri. Ia mencium bibir Leonard perlahan—lembut, ragu, lalu dalam. Pinggulnya menggoyang perlahan, gesekan halus memancing gairah.

Tangannya menyentuh dada Leonard, mencakar lembut, menarik rambutnya. Napasnya tak teratur, tapi ia mencoba memimpin.

“Bilang aku milikmu…” bisiknya.

Leonard tersenyum. “Aku tak perlu bilang. Kau sudah tahu.”

Nayla mencengkeram kerah baju Leonard. Menggesek lebih keras, tubuhnya mulai mengejang. Tapi sebelum ia bisa meledak, Leonard menangkap pinggangnya kuat-kuat. Sekali gerakan, tubuh Nayla dibalik dan dibanting ke sofa, wajahnya menempel bantal, bokongnya diangkat tinggi.

“Dan sekarang… biar aku yang ambil kendali lagi.”

Dengan cepat, Leonard menampar bokong Nayla sekali—nyaring dan panas. Nayla berteriak tertahan, tapi tubuhnya justru semakin basah. Leonard membuka celananya, dan dalam sekali dorongan, ia menghunjam Nayla dari belakang tanpa peringatan.

Nayla menjerit.

“Tuan! Aah—!”

Tubuhnya terguncang. Leonard menghentak tanpa belas kasih, setiap gerakannya kasar, cepat, mendalam. Tangannya menarik rambut Nayla, menahannya dalam posisi tunduk total.

“Kau pikir kau bisa mengaturku?” desis Leonard. “Kau hanya budak dari hasratmu sendiri. Dan aku—pemiliknya.”

Nayla tak bisa menjawab. Hanya jeritan. Tubuhnya pasrah, terbakar. Air liurnya menetes ke bantal. Tangannya mencakar sofa. Dan ketika Leonard memasukkan dua jari ke mulutnya, ia mengisap tanpa ragu.

“Liar, haus, dan patuh,” gumam Leonard. “Submissive alami.”

Gerakannya semakin brutal. Dan dalam hitungan detik, Nayla datang—keras, panjang, memekik, tubuhnya kejang tak terkendali.

Tapi Leonard belum selesai. Ia membalik Nayla, menariknya ke pinggir sofa, dan kembali menghujam dari atas. Kali ini mereka saling menatap. Mata Nayla basah. Tapi bibirnya tersenyum.

“Aku milikmu…” bisiknya.

Leonard menahan napas, lalu datang bersamaan dengannya, deras, dalam, dan penuh. Mereka jatuh bersamaan, basah oleh keringat, jantung mereka berlomba.

Beberapa menit kemudian, Leonard menatapnya, mengusap pipinya, dan berkata,

“Kau bukan hanya milikku, Nayla.

Tapi kau submissive alami dan tubuhmu akan selalu haus untuk diperintah.”

Nayla menutup mata. Dan untuk pertama kalinya, ia merasa tidak bebas.

Tapi sangat… sangat bahagia.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel