Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kontrak gairah (part 2)

Nayla duduk diam di sudut ruang kerja Leonard, di atas sofa panjang berlapis kulit. Tangannya bertumpu di pangkuan, kakinya menyilang seperti seorang sekretaris muda yang baru saja direkrut.

Padahal, dalam kenyataannya, ia tidak mengenakan pakaian dalam, kulitnya masih terasa lengket oleh sisa permainan pagi tadi, dan rasa geli itu masih membayang setiap kali ia bergeser sedikit.

Jam baru menunjukkan pukul sebelas. Belum siang. Tapi tubuhnya sudah dijelajahi berkali-kali oleh tangan Leonard. Sudah disentuh, dijilat, dan dimiliki tanpa jeda. Dan sekarang... ia menunggu perintah berikutnya.

Leonard sibuk di balik meja besar dengan laptop di depannya. Jari-jarinya mengetik cepat, sesekali membuka dokumen, menandatangani berkas. Seolah-olah tidak ada yang terjadi. Seolah tubuh Nayla bukanlah sesuatu yang baru saja ia jamahi dengan liar satu jam lalu.

Tapi Nayla tahu: Leonard tidak lupa.

Ia hanya menunggu momen.

Dan saat detik jarum jam memantul ke angka dua belas tepat, Leonard menutup laptopnya, lalu menatap Nayla seperti seekor serigala lapar yang baru saja mencium bau darah.

“Ke sini.”

Nayla berdiri, lututnya masih lemah. Ia melangkah ke arah meja Leonard, tubuhnya menegang.

“Naik ke atas meja. Duduk di tepi, hadap aku.”

Tanpa sepatah kata, Nayla menaati. Meja kerja besar dari kayu hitam itu dingin menyentuh pantatnya. Ia duduk dengan kaki menggantung, sementara Leonard berdiri di hadapannya dan mulai melonggarkan dasi.

“Saat kau duduk di sini,” katanya pelan, “semua tahu posisi kekuasaan ada padaku. Tapi sekarang, aku akan perlihatkan bahwa bahkan di meja ini, kendali bisa berubah... sebentar.”

Ia meraih kancing blus Nayla, melepaskannya satu per satu, membuka bajunya perlahan, penuh kenikmatan seperti membongkar hadiah. Saat terbuka, ia menatap payudara Nayla yang mengeras karena udara dingin—atau mungkin karena hasrat.

“Kamu akan duduk di sini selama jam makan siang. Terbuka, basah, dan bisa dilihat siapa saja yang aku izinkan masuk.”

Nayla menegang. “T-tunggu… orang lain?”

Leonard mengangkat dagunya, menatapnya tajam. “Tak ada yang akan menyentuhmu. Tapi mereka akan melihat. Aku ingin kau tahu rasa menjadi properti di depan mata publik.”

Nayla menelan ludah. Rasa malu dan panas bersatu membakar pipinya.

Tapi bagian dalam tubuhnya berdenyut.

Leonard mencium puting Nayla, menjilatnya bulat, lalu menggigit ringan hingga gadis itu mengejang. Kemudian ia membuka rak mejanya dan mengeluarkan dua penjepit logam kecil—nipple clamp dengan rantai penghubung tipis berwarna perak.

“Baru hari ketiga,” katanya, “dan tubuhmu sudah siap untuk mainan.”

Ia menjepit puting Nayla dengan penjepit itu, perlahan, hingga tekanan terasa. Nayla menggigit bibir menahan jeritan. Sensasi tajam itu langsung menjalar ke bawah, ke pusat gairah yang tak bisa ia kendalikan.

“Sekarang, buka kakimu. Letakkan di atas lengan meja.”

Nayla membuka kakinya. Posisi itu membuat seluruh pusat tubuhnya terbuka—langsung di depan Leonard, dan di atas meja kerja tempat orang-orang datang membawa proposal dan kesepakatan penting.

“Pegang kakimu sendiri. Jangan gerakkan. Dan jangan tutup kakimu, kecuali kau ingin dihukum.”

Leonard duduk kembali di kursinya, lalu menekan interkom.

“Rani, tolong bawakan laporan keuangan kuartal ini ke ruangan saya.”

Jantung Nayla seolah berhenti.

“Leonard… tolong…”

“Diam.”

Langkah sepatu hak tinggi terdengar mendekat dari luar. Suara ketukan di pintu.

“Masuk.”

Seorang wanita muda, tinggi dan profesional masuk dengan map di tangan. Wajahnya kaku. Matanya sempat menoleh cepat ke arah Nayla—yang masih duduk dengan kaki terbuka, blus terlepas, puting terjepit, dan wajah membara.

Tapi wanita itu hanya menyodorkan map ke Leonard, seperti biasa.

“Terima kasih, Rani.”

“Baik, Pak Leonard.”

Dia keluar. Tidak ada komentar. Tidak ada kejut. Hanya satu kedipan mata kecil, seolah ini bukan pertama kalinya dia menyaksikan hal seperti ini.

Ketika pintu kembali tertutup, Nayla hampir terisak karena malu dan terangsang bersamaan.

Leonard berdiri dan membuka resleting celananya.

“Sekarang… giliranmu.”

Ia menarik Nayla turun dari meja dan menundukkannya di depan kursi. Dengan satu tangan, ia menekan bahu Nayla hingga gadis itu berlutut. Dengan tangan lain, ia menyodorkan dirinya.

“Isap. Tapi jangan selesaikan. Kalau kau membuatku klimaks, kau tidak akan menyentuh dirimu sendiri sampai malam.”

Nayla menatapnya, lalu perlahan membuka mulut.

Dia menjilat ujungnya dulu, lalu memasukkan perlahan, bergerak maju dan mundur, mengatur ritme dengan bibirnya. Suara hisapan pelan terdengar memalukan, tapi itu justru membuat Leonard menunduk dan mencengkeram rambutnya.

“Lebih dalam.”

Nayla melakukannya.

Lidahnya bekerja cepat. Air liurnya mulai membasahi bagian dalam pahanya. Dan di dalam pikirannya, tidak ada lagi rasa malu—hanya satu hal: bagaimana membuat Leonard mendesah.

Tapi sebelum dia terlalu larut, Leonard menariknya menjauh.

“Cukup.”

Ia mengangkat Nayla dan kembali meletakkannya di atas meja, lalu menunduk dan menjilatnya dengan agresif. Satu tangannya meremas payudara Nayla dengan penjepit masih terpasang, membuat gadis itu menggeliat dan hampir menjerit.

“Diam,” perintahnya. “Kamu tidak akan keluar sampai aku izinkan.”

Dia terus menjilat, lebih cepat, lebih basah. Lidahnya bermain-main di titik puncak Nayla, kadang menghisap, kadang menggigit, hingga tubuh gadis itu mulai gemetar hebat.

Ketika Nayla hampir mencapai klimaks, Leonard berhenti.

“Tidak,” katanya. “Belum.”

Ia berdiri. Merapikan kembali celananya.

“Kau akan duduk di sini. Menunggu. Menyentuh dirimu sendiri pelan… tapi tidak boleh keluar sampai jam satu.”

Nayla terengah-engah. “Tapi—”

“Kalau kau keluar tanpa izin,” bisik Leonard di telinganya, “aku akan mengikatmu di kamar mandi dan memaksa tubuhmu menahan orgasme sampai tiga hari.”

Ia meninggalkannya di sana—terbuka, basah, dan menggigil.

Dan Nayla tahu… 30 hari adalah neraka kecil yang nikmat.

***

Malam datang terlalu cepat. Sejak siang, Nayla tak mampu melupakan rasa mengambang yang tertinggal di tubuhnya, seperti hidupnya tidak sedang dijalani, tapi dipentaskan. Di meja kerja, di bawah sorot mata orang lain, ia belajar bahwa gairah tidak hanya tentang sentuhan, tapi juga tentang bagaimana rasanya dilihat.

Saat mobil Leonard berhenti di depan sebuah bangunan misterius di kawasan Senopati, jantung Nayla langsung berpacu. Itu bukan hotel, bukan rumah, bukan kantor. Bangunannya bergaya minimalis modern, dengan dinding kaca hitam dan pagar tinggi.

“Kita di mana?” tanyanya pelan, berbisik seperti takut jawabannya.

Leonard menoleh, tatapannya lembut tapi tajam. “Tempat untuk kita bicara. Dengan tubuh. Dengan hasrat.”

Mereka masuk. Lorong panjang dan sunyi menyambut mereka, lantainya gelap mengkilap. Tidak ada jendela. Hanya cahaya lampu putih hangat yang memantul ke dinding kaca… tunggu—itu bukan dinding biasa.

Itu cermin.

Sepanjang lorong, ke kiri dan kanan, yang tampak hanya bayangan tubuh mereka berdua. Nayla mulai merasa telanjang padahal ia masih mengenakan dress hitam pendek yang disiapkan Leonard. Tubuhnya terpampang dari segala sudut.

Mereka tiba di ujung lorong. Sebuah pintu terbuka otomatis. Di dalam: ruangan berlapis kaca dari lantai hingga langit-langit. Semua sisi adalah cermin.

Di tengah ruangan, hanya ada satu kursi kayu dan satu kamera kecil di atas tripod. Nyala merahnya menyala.

“Kau ingin merekam?” tanya Nayla dengan suara nyaris tak terdengar.

Leonard tersenyum. “Ini bukan untuk publik. Ini untukmu.”

Ia membimbing Nayla masuk. Pintu tertutup otomatis. Gemuruh napas Nayla terasa lebih keras, bergema dari segala arah. Tak ada tempat untuk bersembunyi.

“Kupanggil tempat ini Kamar Pengakuan,” ujar Leonard sambil melingkarkan jari ke leher Nayla, mengelus choker bertuliskan MINE itu. “Di sini, kau harus berkata jujur. Tentang hasrat. Tentang ketakutan. Tentang apa yang kau inginkan. Dan apa yang kau takuti akan kau nikmati.”

Leonard menekan sebuah tombol. Lampu berubah menjadi lembut, agak keunguan. Musik ambient mengalun pelan.

“Lepas bajumu.”

Nayla menatap pantulan dirinya sendiri. Lima, sepuluh, dua puluh bayangan dirinya terlihat dari segala sisi. Setiap gerakan—menggigit bibir, tangan gemetar membuka resleting, semuanya terlihat. Ia pelan-pelan melepaskan dress-nya. Jatuh ke lantai dengan bunyi halus.

Sekarang ia telanjang. Di hadapan Leonard. Di hadapan dirinya sendiri yang terpantul dari semua arah.

Leonard duduk di kursi. Sambil menatap Nayla, ia berkata pelan, “Sentuh dirimu.”

Nayla menelan ludah. “Dengan… cara apa?”

“Dengan cara paling jujur. Jangan akting. Jangan mencoba terlihat cantik. Aku ingin melihatmu kehilangan kendali.”

Ia berdiri, masih menatap Leonard, lalu duduk bersila di lantai yang dingin. Tangannya perlahan turun ke antara paha. Ia mulai membelai dirinya sendiri, pelan—ragu-ragu. Tapi Leonard hanya menatap, tidak menyentuh, tidak memerintah lagi.

“Lihat pantulanmu,” katanya. “Lihat betapa cantiknya tubuhmu saat menginginkan sesuatu.”

Nayla menoleh. Ia melihat dirinya menyentuh diri, bibirnya terbuka sedikit, napasnya mulai memburu. Jemarinya menyusup lebih dalam, mencari titik hangat itu, mengusap pelan. Pinggulnya ikut bergerak mengikuti irama.

Tiba-tiba, Leonard berdiri dan bergerak ke belakangnya. Ia duduk di lantai, mengapit Nayla dari belakang. Tangannya meraih pergelangan Nayla dan membimbingnya.

“Lebih dalam. Lebih cepat. Lupakan aku. Lupakan semuanya. Rasakan saja.”

Dengan tubuh bersandar ke dada Leonard, Nayla menyerah. Jemarinya bergerak lebih cepat, suaranya tertahan di tenggorokan. Pinggulnya mulai bergetar. Ia mendesah tanpa suara, menggigit bibir sampai nyaris berdarah.

“Lihat,” bisik Leonard. “Lihat betapa gilanya kamu saat kau izinkan dirimu menikmati rasa malu.”

Dan ia melihat.

Tubuhnya bergetar, kakinya gemetar, putingnya keras. Jemarinya basah, dan pantulan dirinya menangis… entah karena malu, atau karena nikmat yang begitu tajam, yang akhirnya meledak dalam satu hentakan tubuh ke belakang.

Nayla orgasme.

Tangannya mencengkeram udara. Tubuhnya kejang. Cairan hangat mengalir di paha. Leonard memeluknya erat, menahan tubuhnya agar tak ambruk.

Napasnya berat. Tubuhnya lemas.

Dan yang terdengar hanyalah detak jantungnya sendiri.

Beberapa menit kemudian, Leonard membopong tubuh Nayla ke sofa panjang di sudut ruangan. Ia menyelimuti tubuhnya dengan selimut lembut. Nayla masih berkeringat, pipinya merah, tapi matanya berbinar.

“Kenapa kau lakukan ini?” bisiknya pelan.

Leonard menatapnya. “Karena sebelum tubuh bisa jadi milikku sepenuhnya… kau harus mengakuinya sebagai milikmu sendiri lebih dulu.”

Nayla diam. Tapi dalam hatinya, sesuatu berubah.

Mungkin... mulai malam ini, rasa malu bukan lagi musuh.

Tapi bahan bakar.

Dan ia siap membakarnya.

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel