
Ringkasan
21+ KHUSUS UNTUK DEWASA! Novel ini berisi berbagai kisah panas, dari berbagai kalangan. Cocok untuk menambah fantasi, hiburan dan bacaan untuk malam hari. Penasaran akan sepanas apa cerita-cerita dari berbagai tokoh-tokohnya. Yuk di baca setiap chapternya.
1. Kontrak gairah (part 1)
Hujan malam itu turun seperti hukuman. Deras, bising, dan membuat seluruh isi kota tenggelam dalam basah dan dingin. Nayla berdiri di bawah atap halte kosong, tangan memeluk tubuhnya sendiri. Payungnya rusak, dan ponselnya mati sejak siang.
Dia sudah menyerahkan puluhan lamaran kerja hari itu, dari barista hingga penjaga toko. Tak ada satupun yang menjanjikan harapan. Utang keluarganya menumpuk, ibunya sakit, dan semester kuliahnya tertahan di titik buntu.
Saat itu, suara mobil mewah berhenti tepat di depannya. Mobil hitam mengkilap, jenis yang bahkan tak bisa ia sebut mereknya. Kaca belakang terbuka perlahan, memperlihatkan seorang pria muda bersetelan abu-abu gelap.
"Naiklah," katanya. Suaranya dalam, tenang, dan nyaris tak memberi ruang untuk penolakan.
Nayla ragu. "Maaf... saya—"
"Namamu Nayla Anindya, kan? Kami tahu kamu sedang kesulitan. Dan Tuan Leonard ingin membuat penawaran."
Hati Nayla berdegup lebih cepat.
“Siapa Tuan Leonard?”
"Orang yang bisa menyelesaikan semua masalahmu malam ini," jawabnya. “Dengan satu syarat. Naiklah. Biar dia jelaskan langsung.”
Tubuh Nayla gemetar. Apakah ini penipuan? Perdagangan manusia? Tapi... jika benar dia tahu nama dan situasinya, lalu kenapa dia tetap berdiri di sini? Pilihannya cuma dua: kembali ke kontrakan bocor dengan nasi instan basi... atau mengambil risiko.
Nayla masuk.
Mobil itu sunyi dan harum. Pria tadi tidak bicara lagi. Mereka hanya meluncur dalam diam menyusuri jalan basah menuju pusat kota, ke sebuah gedung tinggi yang seluruh dindingnya dari kaca. Saat Nayla turun, dua orang wanita berseragam hitam menunggu dan membawanya ke lift pribadi.
Di lantai paling atas, pintu terbuka ke ruangan gelap yang hanya diterangi cahaya temaram lilin. Langit-langitnya tinggi, dengan jendela menghadap kota Jakarta yang basah dan gemerlap.
Dan di tengah ruangan, berdiri pria itu.
Tuan Leonard.
Tinggi, rapi, berwajah tenang seperti patung dewa Yunani. Jas hitamnya pas tubuh. Matanya tajam dan gelap, seolah bisa melihat semua kelemahan dalam detik pertama.
"Nayla," katanya tanpa senyum. "Terima kasih sudah datang."
Nayla menelan ludah. "Saya... saya tidak punya pilihan."
"Itu sebabnya kamu sempurna untuk ini."
Ia meletakkan selembar kertas di meja kaca. Sebuah kontrak, dengan kop perusahaan yang asing tapi tampak sah.
Durasi: 30 hari.
Hak milik atas tubuh klien selama durasi.
Tidak boleh menolak, kecuali untuk batas fisik/medis berat.
Privasi tidak dijamin.
Hadiah akhir: Rp 1 miliar + pelunasan semua utang.
Nayla membaca ulang. Napasnya tercekat di kalimat terakhir: Segala bentuk penetrasi, eksplorasi, dan penggunaan tubuh akan dikendalikan sepenuhnya oleh Leonard Atmaja.
Matanya menatap Leonard. "Apa ini... semacam... kerjaan seks?"
Leonard tertawa pelan. "Sebut saja... eksplorasi eksklusif. Aku tidak membayar untuk bercinta. Aku membayar untuk kendali. Aku membayar untuk tubuhmu, tapi bukan hanya untuk disentuh. Untuk dimiliki. Untuk dibentuk. Untuk dibuat tunduk."
"Kenapa saya?" Nayla berbisik.
"Karena kamu putus asa. Tapi masih punya harga diri. Kombinasi yang langka dan menarik."
Nayla berdiri diam. Tubuhnya tegang. Tapi di antara takut dan jijik, ada rasa yang tak bisa ia tolak: penasaran. Gairah. Dan anehnya... rasa ingin tahu yang memabukkan.
Leonard mendekat. Jarak mereka tinggal satu langkah.
"Kalau kamu tanda tangan, malam ini dimulai. Kamu tidak bisa pergi sampai hari ke-30. Tapi kamu akan bebas dari segalanya setelahnya."
“Dan kalau saya menolak?”
“Aku akan tetap tidur nyenyak malam ini. Tapi kamu?” Ia menatap dalam. “Kamu kembali ke hidup penuh air mata dan nasi basi. Pilihanmu.”
Tangan Nayla gemetar saat memegang pulpen.
Ia menandatangani.
Dan dunia bergeser.
Leonard langsung melepas jasnya dan menggulung lengan kemeja. “Lepas bajumu. Sekarang.”
Nayla kaget. "Apa?"
"Tidak ada waktu membangun kepercayaan. Kamu bukan pacar. Kamu milikku. Mulai sekarang."
Dengan jantung meledak-ledak, Nayla melepas kausnya. Lalu bra. Udara dingin membuat putingnya mengeras. Tangannya melayang ke pinggang celana.
“Biar aku,” kata Leonard.
Tangannya dingin, tapi tegas. Ia membuka kancing, menurunkan celana Nayla, lalu celana dalam. Dalam hitungan detik, Nayla berdiri telanjang di depan jendela besar, dengan tubuhnya sepenuhnya terekspos ke kota.
“Balik badan.”
Nayla menurut.
Tiba-tiba, tangan Leonard meraih rambutnya dan menariknya pelan ke belakang. Napasnya panas di telinga Nayla.
"Ada kamera tersembunyi di sini. Malam ini direkam. Kamu akan menonton dirimu sendiri nanti, untuk tahu seberapa liar tubuhmu saat kau menyerah."
Sebelum Nayla bisa membalas, dia mendorongnya ke dinding kaca.
Tubuhnya menempel dingin pada jendela. Leonard menunduk, menjilat dari leher hingga ke tulang selangka, lalu menggigitnya ringan. Tangan kirinya menyusuri perut Nayla dan langsung masuk di antara pahanya, tanpa ragu.
"Basah," gumamnya. "Tubuhmu jujur meski mulutmu belum terbiasa mengakuinya."
Ia mengangkat satu kaki Nayla, menekannya ke kaca, membuka tubuhnya lebar-lebar. Lalu memasukkan jari. Nayla mengerang pelan. Ia ingin menolak. Tapi tubuhnya meleleh, terangsang dan malu pada saat bersamaan.
“Jangan bersuara,” bisiknya. “Kalau kamu bersuara, aku tambah satu jari lagi.”
Nayla menggigit bibir.
Tapi saat Leonard menjilatinya dari belakang—basah, kasar, penuh hasrat terpendam—dia tak bisa menahan erangan.
Jari kedua masuk. Lalu yang ketiga.
Ketika akhirnya dia berhenti, Nayla sudah terengah-engah, lututnya lemas, dan cairannya membasahi paha. Leonard membiarkannya terjatuh perlahan ke karpet, lalu menatapnya sambil membetulkan kancing kemeja.
"Selamat datang di dunia barumu," katanya pelan.
"Kamu tidak akan mengenali dirimu sendiri setelah ini."
***
Nayla terbangun oleh suara pelan yang menggelitik telinganya. Rasanya seperti mimpi. Tapi saat matanya terbuka, yang ia lihat bukan langit-langit kontrakan reot, melainkan plafon putih tinggi, dikelilingi ornamen emas dan lampu gantung kristal.
Ia telanjang. Selimut tipis hampir tak menutupi tubuhnya. Kamar ini—besar, dingin, dan mewah, tak punya sekat. Semua terbuka. Bahkan kamar mandi, dengan bathtub bundar di tengahnya, tak punya pintu. Cermin besar tergantung di seberang tempat tidur, memantulkan citra tubuhnya yang masih bergetar oleh kejadian semalam.
Pintu terbuka.
Leonard masuk tanpa suara. Kemeja putihnya digulung sampai siku. Celana hitam pas pinggang. Tidak ada senyum, hanya tatapan menelanjanginya kembali tanpa menyentuh.
“Kau terlihat bingung.”
Nayla menarik selimut erat ke dadanya. “Saya... ini nyata?”
“Ini hanya permulaan.” Ia melangkah ke sisi ranjang dan duduk di tepinya. “Hari ini kau akan belajar tiga hal: diam, patuh, dan menahan diri.”
Tangannya bergerak cepat, menarik selimut yang menutupi Nayla. Ia langsung terekspos, tubuhnya telanjang penuh dalam sorot cahaya pagi yang masuk dari jendela besar.
“Berdiri.”
Nayla ragu, tapi perlahan mengikuti perintah. Kakinya masih lemas. Tubuhnya sedikit menggigil, bukan karena takut, tapi karena antisipasi yang aneh, mendalam.
“Putar badan. Angkat tanganmu.”
Ia menurut. Leonard menyentuhnya, perlahan. Satu jari menelusuri tulang belikatnya, turun ke lekuk punggung, lalu ke pinggul. Dingin, tapi membakar.
“Tubuhmu milikku. Aku bisa menyentuh, mencium, mengikat, memukul, menjilat, atau menusuknya kapanpun aku mau. Tidak ada permintaan. Tidak ada diskusi. Hanya satu aturan: jika aku bilang diam, kau diam. Jika aku bilang tahan, kau tahan. Mengerti?”
Nayla menelan ludah. “Mengerti…”
Sebuah choker hitam tipis tiba-tiba dilingkarkan ke lehernya. Kulit halus, seperti satin. Di bagian depannya tergantung bandul kecil bertuliskan satu kata: MINE.
“Pakai ini setiap saat,” bisik Leonard. “Di rumah, di luar, bahkan di kantor.”
Nayla terkejut. “Kantor?”
Leonard tersenyum samar. “Hari ini kau ikut aku ke tempat kerja.”
Tiga jam kemudian, Nayla berdiri di lift kaca gedung Atmaja Corp, mengenakan setelan rapi hitam putih yang disiapkan untuknya. Blusnya pas tubuh, rok pensil hitam hanya sejengkal di atas lutut, dan di balik semuanya—tidak ada bra, tidak ada celana dalam.
Perintah Leonard.
Choker hitam masih melingkar di leher, disamarkan oleh helaian rambutnya. Tapi tetap terasa, seperti pengingat bahwa tubuhnya sekarang bukan miliknya lagi.
Lift berhenti di lantai tertinggi. Pintu terbuka ke ruang kantor megah dengan pemandangan kota. Beberapa staf menunduk sopan menyapa Leonard, tapi hanya sedikit yang melirik Nayla. Dia seperti bayangan, mengikuti di belakang.
Pintu ruang CEO ditutup. Leonard mengunci dari dalam. Nayla berdiri canggung di dekat meja kerjanya.
“Ke sini,” perintah Leonard.
Nayla mendekat. Leonard duduk di kursinya, lalu menarik Nayla duduk di pangkuannya—menghadapnya, mengangkang.
“Aku bisa membawamu ke hotel mahal, kamar merah, atau ruang gelap. Tapi aku ingin kau belajar satu hal hari ini: gairah tidak mengenal tempat.”
Tangan Leonard meraih pinggul Nayla, mengangkatnya sedikit, lalu menurunkannya perlahan tepat di atas tonjolan keras di balik celana panjangnya.
“Rasakan itu?” bisiknya di telinga Nayla. “Aku keras hanya dengan melihatmu berdiri.”
Tangannya masuk ke balik blus Nayla, menyentuh payudara langsung—keras, menggoda, dan langsung mencubit putingnya sampai Nayla menggigit bibir.
“Jangan bersuara. Kita tidak sendiri di lantai ini.”
Dia membuka satu kancing blus Nayla. Lalu satu lagi. Hingga terbuka sempurna dan memperlihatkan payudara montok Nayla yang naik turun karena napasnya tertahan.
Tiba-tiba Leonard berdiri, membalik tubuh Nayla, membungkukkannya ke atas meja kerja, lalu mengangkat rok ketatnya ke atas pinggul.
“Kaki buka lebar. Tangan di meja. Jangan bergerak.”
Nayla menurut, napas tercekat.
Leonard menciumi bagian belakang pahanya, menjilat perlahan dari lutut hingga ke bokong. Lalu satu jari masuk dari belakang—cepat, licin, dan membuat Nayla menggeliat.
“Diam,” bisiknya, dan menepuk pantat Nayla. “Tahan.”
Dia membuka celananya. Nayla bisa merasakannya menekan pelan di antara belahan pantatnya. Lalu masuk, perlahan tapi dalam. Napas Nayla terputus.
“Diam.”
Desahannya tertahan. Dada menempel meja dingin. Tubuhnya bergetar, sensasi bercampur rasa malu, takut, dan candu.
Leonard bergerak—pelan, terkontrol, tapi tiap dorongannya membuat meja bergeser. Suara gesekan terdengar jelas. Di luar ruangan, para staf bekerja tanpa tahu bahwa CEO mereka sedang menanamkan hasratnya dalam tubuh seorang wanita muda di balik pintu kayu mahal.
Atau... mungkin tahu?
Sensasi itu membuat Nayla semakin liar. Tapi dia bertahan. Dia diam. Dan dia mulai menikmati rasa dimiliki ini.
Setelah beberapa menit yang terasa seperti seumur hidup, Leonard menarik keluar dan menyemprotkan cairan panas di punggung Nayla. Tidak ada sentuhan lembut setelahnya. Tidak ada kata cinta.
Hanya bisikan: “Bersihkan dirimu. Jangan pakai pakaian dalam. Kita lanjut setelah makan siang.”
Saat Nayla berdiri kembali, tubuhnya lengket, lututnya gemetar, dan hatinya berdetak tak karuan. Tapi satu hal kini jelas:
Hari pertama menjadi milik Leonard belum apa-apa dibandingkan yang akan datang.
Dan diam-diam, ia menantikannya.
***
