Kontrak gairah (part 4)
Malam itu, restoran Élan Rouge dipenuhi aroma anggur tua dan makanan gourmet. Musik piano mengalun lembut, para tamu berdandan rapi, menahan suara bicara seolah setiap kalimat bisa menggores ketenangan ruangan.
Nayla melangkah masuk dengan gaun panjang hitam berbelahan tinggi, tubuhnya anggun… namun rahasia besar tersembunyi di balik senyum tenangnya.
Sebelum keluar dari penthouse, Leonard memasangkan vibrator peluru kecil ke dalam tubuhnya—licin, nyaris tanpa suara, dikendalikan oleh remote mungil di kantong jasnya.
Dan satu instruksi terakhir:
“Kau harus tetap tenang. Jangan berisik. Jangan keluar.
Tapi kau akan bergetar kapan pun aku inginkan. Dan kau akan duduk di sebelahku, pura-pura normal, saat tubuhmu memohon dilepaskan.”
Mereka duduk di meja pojok VIP, dua gelas wine merah telah terisi. Leonard tampak santai, berbicara dengan rekan bisnisnya yang duduk di seberang, seorang wanita CEO dengan rambut keperakan dan mata tajam. Nayla hanya perlu tersenyum, menjadi aksesori, menjadi hiasan manis milik Leonard.
Tapi di balik meja…
Leonard mengaktifkan tombol.
Nayla menggigit bibir bawahnya keras. Getaran kecil itu menyala di dalam tubuhnya—berdenyut perlahan tapi pasti, mengirim kejutan dari dalam ke setiap sarafnya. Kakinya menegang. Tangannya mencengkeram pangkuannya sendiri. Tapi wajahnya tetap… anggun.
“Bagaimana kabar bisnis logistikmu, Leonard?” tanya sang wanita CEO.
Leonard menyandarkan tubuh. “Lancar, seperti biasa. Tapi akhir-akhir ini aku sedang tertarik mengelola sesuatu yang lebih… organik.”
Ia melirik Nayla.
Sambil tetap tersenyum pada tamu mereka, Leonard menaikkan level getaran ke tahap dua.
Nayla nyaris tersedak wine-nya. Ia menahan napas. Pinggulnya menggeliat perlahan di kursi, bibir bawahnya digigit sampai memerah. Tapi ia tidak berkata sepatah kata pun.
Wanita seberang memperhatikan Nayla. “Kekasih barumu?”
Leonard melirik Nayla dan menjawab dengan datar, “Bukan kekasih. Milik.”
Wanita itu menaikkan alis, lalu tersenyum. “Beruntung sekali kau.”
Getaran tiba-tiba berhenti. Nayla menghela napas lega diam-diam. Tapi tak lama, Leonard bersandar dan berbisik di telinganya,
“Berjalanlah ke kamar mandi. Pelan. Dan jika ada yang menyapa, tetap jawab dengan sopan. Tapi kau tahu: aku bisa menyalakan alat itu kapan saja.”
Jantung Nayla berpacu. Ia berdiri, menyusuri lorong menuju kamar mandi wanita. Sepatu hak tingginya mengetuk lantai marmer. Beberapa tamu pria meliriknya—mungkin karena gaun, mungkin karena ekspresi wajahnya yang aneh: antara gugup dan panas.
Ketika ia hampir sampai, getaran menyala lagi. Kuat.
Nayla nyaris menabrak pelayan yang lewat. Tapi ia tetap melangkah. Masuk ke bilik. Mengunci diri. Bersandar pada pintu. Tubuhnya bergetar hebat. Ia menahan suara sekuat tenaga—gigi menggertak, paha mengejang.
Oh Tuhan, aku akan keluar kalau ini terus menyala…
Dan saat itu, pintu bilik diketuk pelan. Suara Leonard.
“Buka.”
Nayla membuka. Leonard masuk, mengunci lagi. Di dalam bilik sempit itu, Leonard mencium Nayla dengan buas, tangan menyelip ke balik gaunnya.
“Tubuhmu menjerit minta disentuh,” gumamnya. “Padahal aku hanya mengaktifkan satu tombol kecil.”
“P-please… Tuan… aku…” Nayla menggeliat.
Leonard tidak berkata apa-apa. Ia hanya mendorong Nayla ke dinding bilik, mengangkat sebelah kakinya, lalu menarik celana dalam tipis itu—dengan vibrator kecil masih di dalam.
Dan tanpa melepas pakaiannya, Leonard memasuki Nayla dari samping.
Gerakannya cepat. Kasar. Dan senyap.
Nayla menggigit pundaknya. Tubuhnya gemetar. Suaranya tercekat. Tapi gairahnya meledak tanpa bisa ditahan. Ia datang dalam diam—panas, basah, sempurna.
Leonard menahan napasnya sendiri. Lalu menyusul dengan satu hentakan terakhir, memenuhi Nayla dengan deras.
Beberapa detik mereka hanya diam. Berkeringat. Bernapas keras dalam ruang sempit itu.
Lalu Leonard menarik keluar perlahan, merapikan pakaiannya, dan mencium bibir Nayla singkat.
“Kau tampil sangat baik malam ini.
Dan lihat? Tak ada satu pun yang sadar…
bahwa aku mengendalikanmu dari awal sampai akhir.”
Nayla memejamkan mata. Tubuhnya lemas. Tapi di balik kelelahan, ada sesuatu yang membakar.
Ia ingin… lebih.
Beberapa menit kemudian, mereka kembali ke meja makan. Tamu wanita itu menatap Nayla dan tersenyum penuh arti.
“Kau tampak… bercahaya, sayang.”
Nayla membalas dengan senyum tipis.
Jika saja wanita itu tahu bahwa tubuhnya masih gemetar karena sisa getaran yang tak sempat padam...
***
Nayla berdiri di balik pilar hotel bintang lima, tubuhnya tersembunyi dari pandangan, tapi matanya tak bisa berpaling.
Di pelataran depan, Leonard sedang tersenyum—senyum yang biasa ia berikan hanya untuk Nayla. Tapi kali ini, senyum itu tertuju pada seorang wanita bergaun merah marun, rambut blonde bergelombang, kaki jenjang dan tawa renyah yang menggoda.
Mereka berbicara terlalu dekat. Terlalu akrab.
Tangan wanita itu sempat menyentuh dada Leonard, dan Leonard… tidak menolak.
Nayla menahan napas. Jantungnya berdetak tidak karuan. Rasa panas menjalar dari dada ke perut, lalu ke selangkangan—campuran antara marah, tersinggung, dan... terangsang.
Kenapa terangsang?
Karena ia cemburu. Dan karena ia sadar, ia tidak punya hak.
Ia hanya kontrak.
Tiga puluh hari.
Mainan. Properti.
Tapi kenapa rasanya seperti ditusuk saat melihat Leonard menyentuh wanita lain?
Nayla berbalik, berjalan cepat ke arah taksi, matanya mulai panas. Ia ingin pergi. Keluar. Lari. Tapi sebelum ia melangkah masuk ke dalam mobil, seseorang menarik pergelangan tangannya—kuat dan dingin.
Leonard.
“Satu langkah lagi dan kau melanggar kontrak,” bisiknya tajam.
Nayla menahan diri untuk tidak menangis. “Kontrak? Aku hanya barang, kan? Kau bisa pegang siapa pun. Kau bisa cium siapa pun. Aku tak berhak marah, kan?”
Leonard menatapnya dalam. Matanya gelap, penuh bara. Lalu, tanpa berkata apa pun, ia menyeret Nayla ke arah limosin hitam yang menunggu di sisi jalan. Pintu belakang dibuka, ia mendorong Nayla masuk.
Mobil melaju begitu pintu ditutup. Tirai hitam menutupi jendela. Dan dalam sekejap, Leonard mencengkram wajah Nayla dan menciumnya—bukan ciuman lembut, tapi brutal. Mendalam. Marah.
“Jangan pernah berani berpaling dariku lagi,” desisnya. “Kau cemburu? Bagus. Itu artinya kau tahu siapa pemilikmu.”
Leonard mendorong tubuh Nayla ke jok kulit panjang. Tangannya kasar, membuka resleting gaun Nayla dengan paksa. Dalam hitungan detik, gaun itu terlepas, tubuh Nayla hanya berbalut bra tipis dan celana dalam renda hitam.
“Kau pikir aku inginkan perempuan lain? Kau pikir aku bisa mengisi mulut mereka seperti mulutmu? Melihat mata mereka berkaca saat kubenamkan ke ranjang?”
Ia mencengkram rambut Nayla dan menariknya hingga wajah mereka nyaris bertemu.
“Aku. Inginkan. Kau.”
Leonard membuka celananya. Nayla nyaris tak sempat bernapas ketika Leonard memaksanya berlutut, menuntunnya untuk membuka mulut. Ia melakukannya—tanpa ragu, tanpa malu. Isapan Nayla dipenuhi emosi: kesal, lapar, terbakar.
“Dalam mulutmu… aku merasa pulang.”
Leonard menarik tubuh Nayla ke pangkuan, dan dengan sekali dorong, menancapkan dirinya dalam. Nayla memekik, tapi Leonard menutup mulutnya dengan tangannya sendiri.
“Jangan berisik. Biarkan sopir dengar suara getar jok, tapi tidak desahanmu. Itu milikku.”
Setiap hentakan keras, cepat, penuh klaim. Leonard mencengkram pinggang Nayla, lalu memiringkan tubuhnya agar bisa mendorong lebih dalam dari sudut yang membuat Nayla bergetar hebat.
“Siapa yang punya tubuh ini, ha?”
“Tuan… Tuan… milikku... semua milik Tuan!”
“Bilang lagi!”
“AKU MILIK TUAN! TUBUHKU MILIK TUAN!”
Leonard mencium leher Nayla, menggigitnya, menandainya. Nayla datang lebih dulu—keras, mencakar bahu Leonard, punggungnya melengkung, tubuhnya kejang, tapi Leonard tidak berhenti.
Ia membalik tubuh Nayla, menarik tangannya ke belakang, dan kembali menghujamnya dari belakang, seperti binatang.
Nayla menangis dan tertawa dalam waktu bersamaan.
“Kenapa… kenapa terasa… lebih dari seks?”
Leonard membisik di telinganya, kali ini suaranya berat.
“Karena ini bukan lagi permainan. Aku tidak sekadar ingin miliki tubuhmu. Aku ingin rusak kau dari dalam, biar tak ada ruang untuk siapa pun selain aku.”
Ledakan terakhir datang dengan hentakan brutal—Leonard menumpahkan seluruh gairahnya di dalam tubuh Nayla, dan untuk sesaat, waktu berhenti.
Mobil masih melaju.
Tirai masih tertutup.
Tapi dunia mereka hanya dua tubuh berkeringat, berlumuran rasa sakit, gairah, dan… ketergantungan.
Beberapa menit kemudian, dalam diam, Leonard memeluk Nayla dari belakang, menyandarkan dagunya di bahu wanita itu.
Dan pelan-pelan, ia berbisik:
“Kau tidak akan pernah jadi milik orang lain. Bahkan setelah kontrak selesai.”
***
