Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Gamelan yang Berdarah

Hujan turun diam-diam malam itu. Tidak deras, hanya rintik pelan yang seperti bisikan rahasia dari langit. Desa Ngadirejo tenggelam dalam sunyi. Tak ada suara jengkerik, tak ada gonggongan anjing. Bahkan desir angin seperti tak berani menyentuh pepohonan.

Di balai desa, gamelan yang digunakan untuk pentas semalam masih tertata rapi. Seharusnya sudah dipindahkan ke rumah Pak Lurah, tapi entah kenapa, tak satu pun warga berani menyentuhnya.

Mereka bilang, malam tadi ada suara gamelan berbunyi sendiri.

Tak ada orang di sana.

Tak ada satu pun tangan yang memukul kendang, atau menabuh bonang.

Tapi suara itu terdengar... lirih... sedih... seperti ratapan dari arwah yang lama terkurung.

Dan pagi ini, saat Pak Lebe—tukang gamelan desa—datang untuk mengecek, ia menemukan sesuatu yang membuatnya jatuh terduduk.

Di atas gambang, tertinggal bercak merah—merah tua seperti darah beku—melingkar seperti telapak tangan. Dan di bawah gong, kain hitam kecil tergantung. Bukan milik siapa pun. Tapi semua orang desa mengenalnya.

Itu adalah kain susuk, kain yang hanya dimiliki sinden-sinden yang "berilmu".

Dan satu-satunya sinden yang pernah memakai kain seperti itu di desa mereka... adalah Kantil.

---

Kabar itu menyebar seperti api di tengah musim kemarau. Dalam hitungan jam, nama Kantil kembali jadi bahan bisik-bisik. Warga yang semula menyambutnya hangat, mulai meliriknya dengan curiga. Bahkan Bu Marni, yang selama ini memujanya, mulai menjaga jarak.

“Maaf ya, Bu Kantil. Mungkin besok sudah bisa cari tempat lain. Bukan apa-apa, saya takut Ragil tambah parah...” ujarnya dengan nada bersalah.

Kantil hanya tersenyum. Ia sudah terbiasa.

Ia menatap Ragil yang masih terbaring lemah. Anak itu tak sadar, tapi bibirnya terus komat-kamit. Seperti sedang menyanyikan sesuatu. Kantil mendekat, mendengarkan bisikannya.

Itu tembang Jawa. Tapi bukan tembang biasa.

Itu tembang milik Ni Srimpi.

Tembang pemanggil.

Mata Kantil membelalak. Ia menggigit bibir, lalu berdiri. “Aku harus ke balai desa malam ini,” bisiknya pada diri sendiri.

---

Tengah malam, Kantil kembali ke balai desa. Ia membawa pelita dan kain putih. Tak ada yang tahu ia ke sana. Ia tak butuh izin. Panggung dan gamelan itu bukan lagi milik manusia biasa.

Ia membuka pintu balai perlahan. Lampu padam. Hanya cahaya pelita yang menari di udara, menerangi gong yang kini tampak menghitam. Suara lirih terdengar dari balik kendang. Seperti bisikan. Seperti tangis.

Ia meletakkan kain putih di tengah ruangan. Duduk bersila. Matanya terpejam.

Dan tembang itu pun kembali mengalun.

Suara Kantil melengking lirih, pelan, penuh kesedihan dan permohonan. Suara itu bukan untuk manusia. Itu adalah tembang pemanggil roh penjaga panggung. Tembang yang hanya boleh dinyanyikan oleh sinden yang sudah “dipilih”.

Udara di ruangan mendadak menebal. Lampu pelita berkedip, lalu padam.

Gelap total.

Kemudian...

Dummm...!

Gong berbunyi sendiri.

Tak… tak… tak…

Bonang bergemerincing, satu per satu, seolah ada tangan tak kasat mata menabuhnya.

Kantil tetap duduk, keringat dingin mengalir dari pelipisnya. Tapi ia tidak bergerak.

Sampai akhirnya, dari sudut ruangan, muncul sosok samar. Wajahnya perempuan. Tapi matanya kosong. Rambutnya panjang menyentuh lantai. Bajunya koyak. Di tangannya, ia membawa sisir.

Sisir kayu. Sama seperti milik Kantil.

Sosok itu mendekat, pelan... lalu berhenti tepat di depan Kantil.

“Aku datang memenuhi janji,” bisiknya dengan suara dua lapis—suara perempuan dan gema lelaki yang menyatu aneh.

Kantil menatapnya.

“Aku juga. Tapi jangan ganggu anak itu. Ragil tidak punya urusan dengan kita.”

Sosok itu tertawa kecil. “Kau lupa, Kantil. Kau pernah berjanji menyerahkan suaramu. Suara itu sudah kami beri daya. Dan setiap yang mendengarnya, akan terikat…”

“Kalau begitu, biar aku yang bayar semuanya.”

Tiba-tiba, sosok itu menghilang.

Dan dari kegelapan, suara baru terdengar.

Langkah kaki berat... lalu sebuah suara serak:

“Kantil?”

Kantil menoleh cepat.

Wira.

Lelaki dari masa lalunya.

Rambutnya kini beruban, wajahnya lebih tirus. Tapi matanya masih sama—mata lelaki yang pernah mencintai Kantil sepenuh hati.

“Wira... kenapa kamu di sini?” bisik Kantil, suaranya tercekat.

“Aku dengar kau datang lagi. Dan ada yang bilang... kamu bangkitkan susuk lamamu...”

Kantil menunduk. Ia tak bisa menjawab.

Wira berjalan mendekat, lalu meletakkan sesuatu di tangan Kantil.

Sebuah cermin kecil.

Di baliknya, tertulis: “Keindahan tak bisa bertahan tanpa pengorbanan.”

Dan di permukaan cermin itu... pantulan wajah Kantil mulai berubah. Bukan wajahnya kini. Tapi wajahnya dulu, saat muda, saat belum mengenal susuk.

Dan di belakang pantulan itu... ada sosok perempuan rambut panjang sedang tersenyum.

Kantil menatap Wira lekat-lekat. Tubuhnya gemetar, bukan karena takut, melainkan karena kenangan yang tiba-tiba meledak seperti gending yang dipukul terlalu keras.

Lelaki itu... lelaki yang dulu memintanya menikah dan berhenti jadi sinden.

Lelaki yang ia tolak—bukan karena tak cinta, tapi karena ia sudah terikat pada sesuatu yang lebih besar dari cinta: janji pada panggung, pada pesona, pada kekuatan yang membentuk dirinya hari ini.

“Wira... aku... seharusnya kau tak ke sini,” suara Kantil pecah di ujung lidahnya.

Wira melangkah pelan ke tengah ruangan, menyingkirkan pelita yang nyaris padam.

“Aku mendengar gamelan itu berbunyi sendiri semalam. Orang-orang takut, Tantri kerasukan, dan... Ragil mengigau, seolah-olah melihat dunia lain lewat matanya. Kau tahu lebih banyak dari siapa pun, Kan.”

Kantil memalingkan wajah. “Aku tak ingin orang lain ikut terbakar dalam api yang kuciptakan sendiri. Bahkan kau pun tak seharusnya kembali.”

Wira menarik napas dalam. “Aku pernah mencintaimu, Kantil. Dan mungkin... aku tak pernah berhenti. Tapi aku juga tahu, apa pun yang bersamamu sekarang... bukan lagi sepenuhnya manusia.”

Kantil menunduk, air mata mulai menetes. “Aku tak pernah ingin ini terjadi. Aku hanya ingin bertahan di panggung. Jadi cahaya. Jadi suara yang tak dilupakan. Tapi ternyata, setiap nada yang kudendangkan, mengikatku semakin dalam.”

Ia berdiri perlahan dan menatap gong di sudut ruangan yang kini menghitam, nyaris seperti arang. Di permukaannya, tergores simbol aneh. Aksara Jawa yang melingkar, dengan satu garis memanjang yang seolah berdarah.

Kantil mendekat, tangannya terulur... tapi sebelum menyentuh, gong itu bergetar sendiri.

Duuuuummmm...!

Suara itu bergema seperti raungan. Pelita padam seketika. Ruangan bergetar. Dan di langit-langit, suara-suara lirih mulai terdengar. Tangis. Tertawa. Bisikan.

“Wira! Mundur! Jangan di sini!” teriak Kantil.

Tapi terlambat.

Salah satu bonang terpental dari raknya, melayang dan menghantam tubuh Wira, membuatnya terlempar ke belakang.

Kantil berlari, menarik Wira ke sudut ruangan. Wajah lelaki itu pucat, darah mengalir dari pelipisnya. Namun ia tetap sadar.

“Apa... itu... Kantil?”

Kantil tak menjawab. Ia berdiri, membentangkan kedua tangannya, dan mulai menembang.

Tembang lama. Tembang larangan. Tembang yang hanya boleh dilantunkan untuk menenangkan arwah yang tidak diterima bumi maupun langit.

Suara Kantil mulai mengisi ruangan. Nada-nadanya mendayu, lalu mengeras, lalu lirih lagi. Tubuhnya seperti melayang, rambutnya bergerak meski tak ada angin. Dari tubuhnya, sinar samar kekuningan muncul, membentuk garis seperti jaring.

Dan dari tengah gamelan, muncul sesosok bayangan perempuan tua, dengan wajah keriput tapi matanya menyala merah.

Ni Srimpi.

“Aku tak pernah memberimu kekuatan cuma-cuma, Kantil,” katanya. “Kau pernah bersumpah akan menyerahkan tubuh dan suaramu ketika waktunya tiba.”

“Aku tahu,” kata Kantil lirih, “dan aku siap.”

Srimpi tertawa keras. Suaranya seperti piring pecah dan logam ditarik di atas batu.

“Tapi aku tak hanya ingin tubuhmu, anak manisku. Aku ingin panggungmu. Aku ingin... semua yang kau punya. Sekarang dan nanti.”

Tiba-tiba, dari gong yang retak, muncul wajah-wajah kecil. Bayi. Anak-anak. Perempuan tua. Mereka semua menangis. Suara mereka saling tumpang tindih.

Wira yang kini sudah duduk setengah sadar di lantai, menatap pemandangan itu dengan wajah ngeri.

“Apa itu... korbanmu?” bisiknya.

Kantil menggigit bibir. “Bukan... mereka bukan korbanku. Mereka korban Srimpi. Perjanjian yang dia buat... dengan para sinden sebelum aku.”

Srimpi mendesis. “Dan kau akan jadi yang berikutnya. Tapi kali ini, bukan hanya sinden. Kau akan jadi jembatan.”

Lalu suara gong meledak.

Ruangan terangkat. Gamelan melayang di udara. Pelita menyala sendiri, tapi apinya membiru. Kantil berteriak keras, menantang Srimpi.

“Kalau kau mau tubuhku... datang dan ambil! Tapi lepaskan semua roh yang kau ikat!”

Srimpi melayang ke depan, menyatu dengan api, dan menghantam tubuh Kantil.

Tubuhnya terpental, tapi suara tembangnya tak berhenti.

Ia terus menembang. Sekuat tenaga.

Dan dari balik lantai yang retak, muncul tangan-tangan. Mereka menarik Srimpi ke bawah. Menariknya kembali ke dunia tempat ia berasal.

Srimpi menjerit—tapi jeritannya seperti bunyi kendang dibanting, memekakkan telinga. “KAU AKAN KEMBALI PADAKU, KANTIL!”

Tiba-tiba semuanya hening.

Pelita mati. Gong diam. Udara kembali dingin seperti semula.

Kantil terjatuh di lantai. Tubuhnya lemah. Tapi ia masih sadar.

Wira merangkak ke arahnya.

“Kau... kau berhasil?”

Kantil menggeleng lemah. “Tidak. Aku hanya menundanya. Ia akan kembali. Dan kali ini... bukan aku yang akan ia incar. Tapi... anak-anak yang mendengar suaraku. Itulah kutukannya.”

Wira menggenggam tangannya. “Lalu apa yang akan kau lakukan?”

Kantil menatap langit-langit balai desa yang retak. “Aku harus membungkam suaraku. Aku harus membuat dunia lupa bahwa aku pernah jadi sinden.”

Wira menggenggam tangan Kantil lebih erat. “Kalau itu harus terjadi... aku akan ikut. Menjagamu.”

Untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Kantil tak menjawab. Ia hanya menangis.

Dan di luar balai desa, hujan mulai turun lebih deras.

Namun dari kejauhan, dari arah hutan bambu di barat desa, terdengar gamelan dipukul sekali.

Dummm...

Lalu hening.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel