Pustaka
Bahasa Indonesia

PESONA SINDEN KANTIL

64.0K · Tamat
cheevhya
45
Bab
72
View
9.0
Rating

Ringkasan

Di balik pesona suara emas dan wajah awet mudanya, Sinden Kantil menyimpan rahasia yang hanya diketahui segelintir orang: ia memakai susuk. Di masa kejayaan panggung wayang dan klenik masih bersinar, nama Kantil menjelma jadi legenda. Namun, ketenaran yang datang dari jalur gaib tak pernah gratis. Ada harga yang harus dibayar, dan Kantil tahu waktunya semakin dekat.

MenyedihkanWanita CantikSupranaturalMengungkap MisteriKehidupan MisteriusIblisPembullyBalas DendamCerita

Panggung di Tengah Sawah

Langit sore di Desa Ngadirejo berwarna jingga keemasan. Angin semilir mengayun-ayunkan dedaunan bambu, membawa aroma khas tanah dan bunga kenanga dari pekarangan warga. Di pelataran balai desa yang sederhana, warga mulai berdatangan, membawa tikar, anak-anak, dan bekal kecil—pisang goreng, getuk, serta teh manis dalam termos.

Pentas kecil dari kayu sudah berdiri sejak pagi. Di atasnya, alat-alat gamelan tertata rapi: bonang, kendang, saron, gong. Spanduk bertuliskan "Pentas Wayang Kulit Spesial Bersama Dalang Ki Surono dan Sinden Legendaris, Kantil" terbentang di belakang panggung, agak miring karena diikat tergesa-gesa.

"Eh, bu, Kantil beneran datang? Katanya sekarang tinggalnya di kota?" tanya seorang perempuan muda sambil menata anaknya di tikar.

"Datang, lho. Aku tadi liat dia turun dari mobil kijang biru. Duh... cantik tenan. Kayak ndak tua-tua!" sahut yang lain dengan suara kagum bercampur nada iri.

Desa Ngadirejo memang punya legenda hidup: Kantil, sinden yang dulu sering tampil dari panggung ke panggung sejak usia lima belas. Ia bukan hanya dikenal karena suara merdunya, tapi juga karena parasnya yang ayu, anggun, dan entah kenapa... memesona. Bukan cantik biasa. Cantik yang membuat orang tak bisa berpaling. Tak ada yang tahu bagaimana caranya, tapi Kantil seperti tak menua. Sudah lebih dari tiga puluh tahun berlalu, namun ia masih seperti dulu.

Sore itu, dari balik tirai panggung, suara-suara riuh penonton menyusup ke ruang rias kecil di belakang. Kantil sedang duduk di depan cermin besar dengan bingkai kayu ukir. Seorang penata rias sibuk menata sanggul dan menghias kebayanya dengan bros-bros antik.

"Bu Kantil... rasane saya nyandingin panjenengan jadi grogi," kata si perias sambil terkekeh kecil.

Kantil hanya tersenyum. Senyuman yang lembut namun sulit ditebak. Matanya menerawang ke luar, seolah mendengar sesuatu yang tidak didengar orang lain.

"Apa masih banyak yang datang, Mbak?" tanyanya pelan.

"Astaga... banyak, Bu! Lha wong ini kayak pasar malam. Semua pengin liat panjenengan. Ibu itu lho, sinden pujaan sejak jaman saya SD!" jawab perias itu dengan semangat.

Kantil menatap cermin. Wajahnya terpoles rapi, tapi ia tahu ada sesuatu yang tak bisa dihapus make-up: kenangan. Panggung ini bukan sekadar tempat menyanyi. Ini adalah tempat di mana segalanya bermula—mimpi, ketenaran, dan... rahasia yang ia simpan rapat selama puluhan tahun.

"Ya sudah. Bismillah," gumamnya.

Tak lama kemudian, gamelan mulai mengalun. Penonton bersorak ketika sosok Kantil muncul di panggung, melangkah pelan, duduk bersila di depan mic, dan tersenyum kecil. Sorot lampu menyinari wajahnya, dan semua mata terpaku.

Dalam sekejap, suasana berubah hening. Tak ada suara selain denting gamelan dan suara emas itu:

"Lir ilir... lir ilir..."

Seketika, suara-suara obrolan terdiam. Anak-anak berhenti berlarian. Dan angin berhenti berhembus. Seolah malam ikut mendengarkan.

Kantil kembali. Dan malam itu, pesonanya menyelimuti desa seperti kabut tipis yang tak tampak mata.

"Lir ilir... lir ilir..."

Suara Kantil mengalun lembut, seolah menari bersama angin dan gemerincing gamelan. Tak seperti sinden muda lain yang sering memaksakan nada tinggi, suara Kantil mengalir seperti air sungai. Tenang, dalam, namun menggetarkan hati. Bahkan para lelaki tua yang duduk di barisan belakang, yang biasanya tertidur saat dalang belum keluar, kini duduk tegak dengan mata berbinar.

Di antara penonton, seorang gadis muda bernama Sari menggenggam tangannya sendiri erat-erat. Ia sinden pemula, baru tiga kali naik panggung bersama dalang keliling. Guru vokalnya pernah berkata, "Kalau mau belajar nyanyi sinden, dengarkan Kantil. Ia tidak hanya menyanyi, ia menyihir."

Tapi malam itu, Sari merasa ada yang lain. Suara Kantil bukan hanya indah. Ada semacam getaran halus yang merayap ke kulit, menusuk ke dada, membuat bulu kuduknya meremang meski angin tidak bertiup. Ia mencoba menepis perasaan itu.

“Mungkin cuma gugup,” gumamnya.

Dari balik tirai panggung, Ki Surono sang dalang mengintip ke arah penonton. Pria paruh baya itu tersenyum puas. “Ora sia-sia,” gumamnya. Ia tahu, menghadirkan Kantil malam ini bukan keputusan biasa. Bayarannya dua kali lipat dari sinden biasa, belum lagi ia harus mengantar sendiri undangan secara pribadi ke rumah Kantil di Solo.

Namun ia juga tahu satu hal: panggung dengan Kantil di atasnya, tak akan pernah sepi.

Di sela tembang, Kantil menyeka pelipisnya perlahan. Ia bisa merasakan sesuatu mulai menggelitik di balik telinga—bukan keringat. Tapi hawa. Hawa yang ia kenal sejak lama. Dulu, hawa itu hangat. Kini terasa berat dan dingin. Seperti kabut.

Ia menunduk sejenak, menutup mata.

Dalam hatinya, ia berucap pelan. Bukan doa. Tapi semacam mantra kecil, pengikat yang biasa ia bisikkan sejak dulu sebelum tampil.

"Aja nganti metu sadurunge rampung... aja nganti njaluk sadurunge janjine lunas..."

Begitu mata Kantil terbuka kembali, suaranya kembali mengalir, lebih tajam, lebih memikat.

Di barisan depan, seorang ibu tua mencubit lengan suaminya.

“Pak, iki beneran Kantil tho? Mosok isih ayu ngono?” bisiknya.

Sang suami mengangguk pelan. “Iyo... ndelok wajahé kok rasane merinding.”

Tepat saat itu, gong berbunyi panjang. Ki Surono mulai memainkan tokoh Semar, membuka kisah malam itu.

Namun dari belakang panggung, penabuh kendang termuda, seorang pemuda bernama Ragil, terlihat gusar. Ia menunduk, menahan mual yang tiba-tiba menyerangnya sejak Kantil menyanyi. Tangannya dingin, dan pandangannya kabur.

Seorang sesepuh karawitan menepuk bahunya.

“Le, awakmu kedinginan?”

Ragil menggeleng. “Mbok, aku ngrasakke aneh... pas Bu Kantil nyanyi, ndak kaya biasanya.”

“Kowe ngerti opo?” bisik si sesepuh pelan. “Kantil kuwi... dudu sinden sembarangan. Ana sing ngreksa.”

Ragil menoleh cepat. “Ngreksa?”

Sang sesepuh menatap panggung, lalu berucap lirih, “Kantil wis suwé dadi kekasih panggung. Tapi panggung kuwi duwé tumbal...”

Sementara itu di atas pentas, Kantil menatap langit malam yang mulai gelap sempurna. Cahaya lampu panggung menyilaukan, namun matanya tak berkedip. Sejenak, ia merasa ada yang menatapnya dari balik sawah. Jauh di kegelapan, di antara batang padi yang bergoyang, seolah ada bayangan berdiri diam. Ia tahu ia tak sendiri. Seperti malam-malam sebelumnya, seseorang... atau sesuatu... menunggunya menyanyi.

Bukan penonton. Tapi pemilik janji.

Pertunjukan wayang berlanjut. Kisah Bima Suci mengalir dari suara berat dan bergema milik Ki Surono. Lakon itu menceritakan perjalanan Bima mencari kesucian dan jati diri, hingga akhirnya bertemu dengan Dewa Ruci di dasar samudera.

Para penonton tenggelam dalam cerita. Anak-anak mulai mengantuk, digendong orang tuanya. Kaum muda, yang biasanya sibuk main ponsel, kini duduk diam, terpikat oleh kekuatan suara, gamelan, dan tentu saja—sosok sinden utama malam itu.

Kantil masih duduk di posisi terdepan, sedikit lebih tinggi dari para niyaga. Ia seolah tak bergerak, hanya sesekali tersenyum tipis dan melirik ke arah penabuh kendang, Ragil, yang sejak awal terlihat gelisah. Kantil bisa merasakannya. Ia tahu energi panggung malam itu tidak stabil.

Bukan karena pemainnya. Tapi karena sesuatu yang ikut menonton.

Angin tiba-tiba bertiup lebih kencang. Tenda kain di atas panggung bergoyang, satu ujungnya sempat terlepas dan membuat sebagian kain jatuh menutupi salah satu saron. Penabuh saron kaget dan menoleh ke kanan.

“Bu Kantil, badainya kok cepet banget ya datangnya?” gumamnya sambil membetulkan alat.

Kantil tidak menjawab. Matanya lurus menatap ke arah sawah. Bukan hanya sekali ia merasa dilihat. Bukan hanya dari depan. Tapi dari balik panggung, dari tanah, dari udara. Seolah ribuan mata yang tak kasatmata tengah menikmati pertunjukan.

Dan seperti biasanya, ia tidak takut. Ia sudah terbiasa.

Justru yang membuatnya risau adalah... salah satu dari mereka, malam ini, membawa sesuatu.

Tiba-tiba, suara kendang Ragil meleset. Suatu hal yang sangat jarang terjadi. Irama tabuhannya menjadi kacau, membuat gamelan lain berhenti mendadak.

Dalang Ki Surono menghentikan cerita dan tertawa ringan, mencoba mencairkan suasana.

“Lha kok kendangé kesambet angin kenceng, to?” katanya sambil mengibaskan tangannya.

Penonton ikut tertawa. Tapi Kantil tidak.

Ia bangkit dari tempat duduknya dan melangkah pelan ke arah Ragil yang kini menunduk, wajahnya pucat.

“Kowe nggak apa-apa, Le?” bisik Kantil pelan, suaranya rendah tapi penuh tekanan.

Ragil mengangkat wajahnya, matanya merah dan bibirnya gemetar.

“Aku... aku lihat sesuatu di balik gong...” bisiknya.

Kantil menarik napas panjang. Ia lalu menoleh ke belakang panggung, ke arah tempat gong besar tergantung. Di baliknya, hanya gelap. Tapi ia tahu, Ragil tak sedang berhalusinasi.

Ia membungkuk, membisikkan doa kecil ke telinganya, lalu menepuk bahu Ragil.

“Tenang wae. Sabar. Ndang lungguh wae sik, ya?”

Ragil mengangguk, masih gemetar.

Penonton mulai ribut. Kantil kembali ke tempatnya, mengambil mic, dan dengan tenang menyanyi tanpa aba-aba. Tembang pembuka yang tak seharusnya dinyanyikan malam itu, tapi ia nyanyikan juga.

Tembang Dandanggula—tembang pemanggil dan peneduh suasana.

“Gambuhing tyas kang sinuba rasa...”

Suara Kantil meluncur seperti kabut tipis yang menenangkan. Perlahan, suasana panggung kembali stabil. Gamelan menyusul, para niyaga kembali menabuh dengan lebih hati-hati. Dan penonton pun lupa akan insiden tadi.

Tapi di antara sawah gelap, jauh di balik bayangan, seekor burung hantu bertengger di tiang bambu. Ia tak berkedip, kepalanya menoleh ke arah panggung. Dari kerongkongannya, terdengar suara "kuk!" pelan. Tiga kali.

Tanda.

Kantil tahu betul artinya.

Malam ini, panggungnya bukan hanya untuk manusia.