Tanda dari Balik Cermin
Pagi hari di Desa Ngadirejo menyambut dengan embun tipis yang masih menggantung di ujung dedaunan. Suara ayam berkokok bersahutan, dan aroma kayu bakar mulai tercium dari dapur-dapur warga. Namun rumah Bu Marni, tempat Kantil menginap semalam, terasa lebih sunyi dari biasanya.
Kantil duduk di depan cermin besar yang tergantung di kamar tamu. Rambutnya masih digelung rapi, sisa riasan malam tadi belum sepenuhnya luntur. Di tangannya, sebuah sisir kayu tua ia genggam pelan, menyisir rambutnya dengan irama lambat.
Di balik cermin, ada sesuatu yang bergetar.
Bukan pantulan.
Tapi bayangan samar. Seperti kabut yang membentuk wajah lain, menatapnya dari dimensi berbeda.
Kantil tak bergeming. Hanya menutup mata, lalu berbisik pelan:
"Aku sudah memenuhi bagianku. Jangan ganggu anak-anak itu."
Bayangan itu menghilang.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan dari luar.
“Bu Kantil? Sarapannya sudah siap, lho,” suara Bu Marni lembut dari balik pintu.
Kantil segera bangkit, menyembunyikan sisir kayu ke dalam tas kulit tua di sudut kamar. Ia membuka pintu dengan senyum, meski matanya tampak sayu.
“Maaf, Mbok. Tadi kelamaan duduk di depan kaca. Kaya ngelamun.”
Bu Marni tersenyum, tapi wajahnya tampak khawatir. “Gak papa. Tapi Bu Kantil, tadi malam Ragil lho demam. Panasnya tinggi, matanya kayak kosong... katanya lihat sosok perempuan rambut panjang di balik gong...”
Kantil terdiam. Ia tidak langsung menjawab. Hanya duduk di bangku kayu dekat dapur dan mengambil segelas teh panas.
“Kadang, anak-anak muda belum kuat lihat yang tidak seharusnya terlihat,” ujarnya akhirnya, pelan.
Bu Marni menelan ludah. Ia tahu Kantil bukan perempuan biasa. Sejak dulu, warga hanya berani membicarakan Kantil dari jauh. Dulu Kantil sering diundang ke desa-desa, tampil di acara penting, tapi selalu sendiri. Tak pernah terlihat dengan suami, apalagi anak. Ia seolah milik panggung, dan hanya panggung.
Setelah sarapan, Kantil meminta diantar ke sendang desa—mata air keramat yang dipercaya warga sebagai tempat leluhur desa bersemayam. Lokasinya cukup jauh, harus melewati jalan setapak yang dikelilingi rumpun bambu.
“Sendiri wae, Bu? Tak anterin juga gak papa,” tawar Bu Marni.
“Sendang itu sakral. Kadang, lebih baik pergi sendiri. Biar yang menunggu tahu aku datang bukan untuk pamer, tapi untuk menghaturkan sesuatu,” jawab Kantil tenang.
Sesampainya di sendang, Kantil berdiri lama di tepi batu besar yang licin oleh lumut. Ia membuka kain kecil dari dalam tas, isinya sesajen sederhana: kembang setaman, dupa, dan secuil nasi putih.
Ia duduk bersila, membakar dupa, dan mulai menembang dengan suara lirih.
Bukan untuk manusia.
Tembang itu bukan tembang Jawa biasa. Nadanya asing, lambat, berulang, seperti doa yang ditarik dari masa lalu yang jauh. Angin di sekitar sendang mendadak berhenti. Burung-burung di atas pohon ikut diam. Daun yang biasanya bergoyang pun seperti membeku.
Di permukaan air sendang, muncul lingkaran riak halus.
Dan dari kedalaman bening itu, sesosok bayangan perempuan muncul samar. Tak berwajah jelas, tapi tubuhnya tinggi, rambutnya panjang menjuntai hingga ke kaki, dan ia diam... menatap Kantil.
Kantil membuka mata, dan berkata lirih, “Aku menepati janjiku. Tapi jangan ambil anak itu. Jangan buat dia sakit.”
Bayangan itu bergeming. Hanya sebuah suara yang tak terdengar keluar dari mulutnya, tapi Kantil mendengarnya di dalam hati:
"Janji lama harus ditebus. Keindahan tak pernah gratis, Kantil..."
Setetes air mata jatuh dari mata Kantil, tapi ia cepat menghapusnya.
“Kalau waktuku sudah tiba, ambillah aku saja.”
Bayangan menghilang, riak di air lenyap, dan angin kembali berembus.
Kantil berdiri perlahan. Kakinya sedikit gemetar, tapi ia tetap berjalan meninggalkan sendang dengan langkah mantap.
Di belakangnya, bayangan perempuan itu muncul sejenak di permukaan sendang... dan tersenyum samar.
Kantil berjalan pulang dari sendang dengan tubuh lelah dan hati berat. Matahari mulai meninggi, menyinari jalan setapak yang lengang. Tapi di matanya, cahaya itu seperti kabur, terhalang bayangan masa lalu yang belum juga sirna.
Setiap langkah membawanya pada kenangan—kenangan akan seorang lelaki muda yang dulu pernah berdiri di panggung yang sama, memandangnya penuh kekaguman.
Namanya Wira.
Gambang dan kendang adalah nafas Wira. Tapi hatinya, dulu, hanya untuk Kantil.
Dua puluh tahun lalu, mereka pernah berjanji di bawah langit malam yang sama. Bahwa suatu saat mereka akan meninggalkan dunia panggung, dan hidup sebagai pasangan biasa. Menanam padi. Membesarkan anak. Tapi semua berubah ketika Kantil memilih jalan yang berbeda—jalan yang dipenuhi kemilau, tepuk tangan, dan... sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang pernah Wira bayangkan.
Susuk.
Kantil masih ingat malam ketika ia pertama kali mengenalnya. Bukan dari dukun pasar seperti yang dibayangkan orang-orang. Tapi dari seorang sinden tua yang tak lagi dikenal siapa pun. Namanya Ni Srimpi. Ia muncul begitu saja di balik tirai usai pentas, menawarkan sesuatu yang lebih dari sekadar kecantikan.
"Kamu punya suara, Kantil. Tapi panggung butuh lebih dari itu. Panggung butuh pesona... dan pesona, anakku, tak datang dari bedak atau gincu."
Saat itu Kantil masih 21 tahun. Terlalu muda untuk mengerti makna pengorbanan. Ia hanya tahu satu hal: ia ingin bertahan di panggung. Ingin terus jadi bintang. Dan susuk emas putih itu—yang ditanamkan tanpa darah, tanpa luka, tapi dengan mantra panjang—mengubah segalanya.
Sejak itu, suara Kantil tidak hanya enak didengar. Tapi memabukkan. Memikat. Memanggil. Orang-orang jatuh cinta pada suaranya, bahkan sebelum wajahnya terlihat.
Namun setiap pesona ada harganya.
Dan harga itu... mulai ditagih.
Sesampainya di rumah Bu Marni, Kantil melihat kerumunan kecil di depan rumah. Ia mempercepat langkah.
“Kenapa ramai, Mbok?” tanyanya, sedikit panik.
Bu Marni keluar dari tengah kerumunan, wajahnya cemas. “Ragil... anak itu tadi pagi pingsan. Katanya dia jalan sendiri ke balai desa, lalu teriak-teriak bilang lihat wajah ibu di dalam kendang…”
Kantil tertegun. “Wajahku?”
Bu Marni mengangguk. “Iya, tapi bukan wajah Ibu sekarang. Wajah Ibu katanya... penuh darah.”
Suasana mendadak dingin. Bahkan udara siang pun tak mampu mengusir hawa aneh yang kini mengendap di sekitar mereka.
Tanpa banyak bicara, Kantil masuk ke dalam rumah dan mengambil tas kulit tuanya. Ia membuka bagian terdalam, mengeluarkan sebuah kantong kain hitam yang selama ini hanya ia buka ketika benar-benar terdesak.
Isinya bukan jimat. Bukan benda pusaka.
Melainkan sehelai kain putih bergambar simbol kuno, bertuliskan aksara Jawa halus yang tak bisa dibaca sembarangan. Di tengahnya, ada goresan merah seperti tinta—tapi bukan tinta.
Darah.
Darah dari malam ketika ia pertama kali menerima susuk itu. Malam ketika ia menandatangani perjanjian tak tertulis, dengan entitas yang hanya dikenal lewat suara dan bayangan.
Kantil menatap kain itu lama.
“Apa kau yang mulai bermain, Srimpi?” bisiknya pelan.
Di luar, suara tangis Ragil terdengar samar. Ia sedang mengigau. Suaranya lemah, tapi jelas:
“Aja melu aku... ojoo... ojooo... Wajahmu anget, tapi matamu... matamu kosong... Bu Kantil... kowe dudu manungsa...”
Kantil memejamkan mata. Air matanya mengalir. Bukan karena takut.
Tapi karena ia tahu... waktunya hampir tiba.
Waktu untuk membayar semua.
