Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Cermin yang Menyimpan Arwah

Pagi itu, Desa Ngadirejo tidak seperti biasanya. Awan gelap bergantung rendah di langit, meski matahari seharusnya sudah tinggi. Burung-burung diam, dan angin membawa bau anyir yang hanya bisa dijelaskan sebagai campuran bunga kenanga dan darah kering.

Di rumah Pak Lurah, warga berkumpul membicarakan kejadian semalam. Tidak ada yang tahu pasti apa yang terjadi di balai desa, tapi kabar bahwa gamelan kembali berbunyi sendiri menyebar cepat. Anak-anak dilarang keluar rumah. Semua yang punya cermin, disuruh membalik dan menutupi permukaannya dengan kain.

Dan di sudut rumah tua milik Bu Jumini, di bawah tumpukan kain batik lawas, Kantil menemukan benda yang selama ini ia cari—cermin kecil berbingkai kayu jati, dengan ukiran bunga melati dan garis melingkar seperti matahari.

Cermin itu milik almarhum Mbah Sindir, sinden pertama yang dikenal di desa mereka. Konon, cermin itu menyimpan roh para sinden yang pernah “dipilih” oleh Srimpi. Mereka tidak pernah mati. Mereka hanya... terperangkap.

Dan kini, giliran Kantil untuk memutus lingkaran itu.

---

Kantil duduk di depan cermin itu malam harinya. Di sekelilingnya, dupa menyala, dan kain putih menutupi seluruh ruangan. Ia mengenakan kebaya hitam, rambutnya disanggul tinggi, dan wajahnya tanpa polesan.

Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Kantil ingin menatap wajah aslinya—wajah seorang perempuan yang dulu hanya gadis penjual kembang di pasar, sebelum ia mengenal dunia sinden dan susuk.

Cermin itu tampak biasa. Tapi saat Kantil mulai menembang pelan, permukaannya mulai berkabut. Uap tipis muncul dari dalam, dan perlahan... wajah lain muncul di baliknya.

Bukan Kantil.

Tapi perempuan lain. Muda. Cantik. Rambutnya panjang menyentuh lantai. Dan matanya... kosong.

Kantil mengenalnya.

Sulastri.

Sinden generasi sebelum dirinya. Hilang secara misterius saat pentas wayang di daerah Kaliboyo sepuluh tahun lalu. Tidak ditemukan jejaknya, hanya suara gamelan yang terus berbunyi meski acara telah usai.

Kantil menatapnya, menahan napas.

“Sulastri... apa kau mendengarku?”

Sulastri tidak menjawab. Tapi dari matanya, air mata mengalir pelan. Dan tiba-tiba, dari belakangnya, muncul lagi wajah lain. Kali ini tua. Berkeriput. Wajah yang sudah Kantil hafal: Ni Srimpi.

“Anak pintar... kau berhasil menemukan rumahku,” ucap Srimpi dari balik cermin. “Sayangnya, itu hanya membuka pintu. Bukan menutupnya.”

Cermin mulai bergetar. Suara dari dalamnya seperti ribuan orang berbisik, bertengkar, menangis, bahkan tertawa. Suara-suara itu memekakkan telinga, membuat Kantil gemetar.

“Aku datang bukan untuk menyembahmu, Srimpi,” kata Kantil lirih tapi tegas. “Aku datang untuk mengakhiri semua ini.”

Srimpi menyeringai. “Kau pikir bisa? Kau pikir kau bukan bagian dariku? Kau telah memanggilku bertahun-tahun lewat suara indahmu. Setiap tepuk tangan dari penontonmu, setiap kagum dari lelaki, adalah bahan bakar untukku.”

Tiba-tiba, dari cermin itu muncul asap pekat. Asap itu melayang dan masuk ke dalam tubuh Kantil.

Kantil terjatuh, tubuhnya mengejang. Matanya terbuka lebar, tapi seluruh bola matanya kini putih. Dari mulutnya, suara tembang keluar sendiri—tanpa ia sadari. Tembang yang bukan ia nyanyikan. Suara yang berasal dari Srimpi.

Sementara itu, jauh dari sana, di rumah Pak Lurah, Ragil mendadak bangun dari tidur panjangnya. Ia berjalan pelan, keluar rumah, seperti digerakkan oleh sesuatu yang tak terlihat.

Ia menuju rumah Bu Jumini.

Menuju tempat Kantil kini sedang kerasukan.

---

Wira datang tepat saat itu.

Ia melihat Kantil mengambang beberapa senti di atas lantai, wajahnya putih seperti mayat, dan dari mulutnya keluar asap hitam. Cermin di hadapannya memantulkan wajah Srimpi yang tertawa.

“LEPASKAN DIA!!!” teriak Wira sambil melemparkan kendi tanah liat ke arah cermin.

Braaak!

Cermin pecah.

Asap hitam berhamburan. Kantil terjatuh. Ruangan hening sesaat.

Tapi dari cermin yang pecah, muncul puluhan suara perempuan menangis. Jiwa-jiwa sinden yang terperangkap dalam cermin itu melayang ke langit-langit, mencari jalan keluar.

Dan di tengah-tengah mereka, Srimpi berdiri, separuh tubuhnya masih dari kabut, tapi wajahnya murka.

“Kalian pikir bisa lepas dariku?!!!” jeritnya.

Kantil membuka mata. Kini matanya normal.

Ia meraih sisa cermin pecah yang berkilau, menggoreskan pada telapak tangannya, dan menorehkan darahnya ke permukaan sisa kaca.

“Aku tak akan menyerahkan tubuhku... tapi aku akan menjadi pintumu. Aku akan memanggilmu... tapi hanya untuk menutupmu.”

Ia menembang keras. Suaranya menggema ke segala arah. Tapi kali ini bukan tembang pemanggil. Ini tembang penutup—tembang larangan yang hanya diketahui satu orang: dirinya.

Srimpi berteriak.

Kabut hitam melingkar, mencoba menyerang Kantil. Tapi Wira berdiri di depan Kantil, membacakan doa, menangkis kabut itu dengan air dari kendi suci.

Dan perlahan, satu per satu roh sinden mulai tersenyum.

Mereka menghilang.

Srimpi mengerang... tubuhnya meretak... lalu menghilang dalam pusaran angin.

Cermin itu hancur seluruhnya.

---

Subuh datang dengan tenang.

Kantil duduk lemas, wajahnya pucat, tapi matanya tenang.

“Aku sudah tidak bisa lagi menembang,” katanya pada Wira.

Wira menatapnya.

“Tidak apa-apa. Kau sudah bernyanyi cukup lama. Kini... saatnya didengar sebagai manusia.”

Kantil tersenyum. Ia memandang ke luar rumah. Matahari pertama muncul dari balik bukit. Udara terasa baru. Tapi di dalam hatinya, ia tahu... belum selesai.

Karena dari retakan kecil di lantai tempat cermin itu pernah berdiri, angin lembut masih berdesir... membawa satu baris tembang...

> Suaraku abadi...

Lewat sinden yang haus pujian...

Lewat tepuk tangan... dan keinginan...

Malam itu, meski cermin sudah dihancurkan dan Srimpi telah terhempas ke dalam pusaran angin, namun suasana tak benar-benar kembali seperti semula.

Ada yang berubah dari Kantil.

Ia bisa merasakannya di kulitnya sendiri—keringatnya lebih dingin, kulitnya lebih pucat, dan mimpi-mimpinya... bukan lagi miliknya. Setiap malam, ia melihat bayangan panggung, suara tembang menggema, tapi tidak dari mulutnya—melainkan dari perempuan-perempuan lain. Ratusan, bahkan ribuan, bersanggul, berkebaya, menari dan menembang dengan mata kosong.

Dan selalu ada satu yang memandangi Kantil dari kejauhan. Srimpi.

Kini Srimpi tidak hanya hidup di cermin. Ia telah masuk ke dalam pori-pori rumah ini, menjadi bagian dari udara yang dihirup, bahkan suara gamelan yang dibunyikan anak-anak kecil di sore hari.

Kantil tak pernah tahu bahwa menghancurkan cermin bukanlah akhir—itu hanya memutus jembatan. Tapi roh kuat seperti Srimpi... bisa mencari jalan lain. Ia bisa berpindah... ke darah. Ke tubuh. Ke keturunan.

---

Di sudut desa, seorang anak kecil, perempuan, usia tujuh tahun, bernama Raras, bermain di halaman rumah. Ia menyanyi pelan sambil menyusun pecahan genteng jadi pola-pola.

Ibunya, Surti, memanggil dari dapur. Tapi Raras tidak menjawab.

Ia hanya terus menyanyi. Suaranya... terlalu merdu untuk anak seusianya. Matanya menatap kosong, dan di depannya, dari pecahan genteng itu, terbentuk simbol matahari bermahkota.

“Raras! Masuk, Nak, sudah magrib!” teriak Surti.

Raras menoleh. Tapi saat itu, matanya tidak memperlihatkan pancaran anak kecil—melainkan seperti mata perempuan dewasa. Matanya... seperti milik Srimpi.

---

Sementara itu, Kantil menelusuri buku-buku tua yang diwariskan Bu Jumini sebelum meninggal. Salah satunya adalah Primbon Sindhen Waningit, kitab langka yang tidak sembarang orang boleh membaca. Buku itu berisi peringatan, ramalan, dan kode-kode lirik tembang yang memiliki makna tersembunyi.

Salah satu halaman menampilkan kutipan berikut:

> Sinden kang nyawiji karo tembang, ora bakal mati, nanging bakal dikandani...

(Sinden yang menyatu dengan tembang, tidak akan mati, tapi akan dikendalikan...)

Di bawahnya, gambar sosok perempuan dengan rambut menjuntai ke tanah, dikelilingi oleh lingkaran roh—semua menunduk padanya. Dan di bagian paling bawah halaman, ada catatan tangan dari seorang sinden tua:

> Srimpi dudu mung wong, nanging daya. Dheweke butuh dalan kanggo bali. Yen dudu cermin, bakal digoleki awak sing ringkih... utawa anak sing durung suci.

(Srimpi bukan hanya sosok, tapi kekuatan. Dia butuh jalan kembali. Jika bukan lewat cermin, maka melalui tubuh yang lemah... atau anak yang masih suci.)

Kantil membekap mulutnya. Ia sadar: jika bukan dirinya... maka anak-anak perempuan di desa yang akan jadi korban.

---

Hari berganti. Desa Ngadirejo semakin aneh. Beberapa anak kecil mulai menyanyikan tembang lama yang bahkan orang tua mereka tak mengenalnya. Satu per satu ibu-ibu mulai mengeluh anak mereka bermimpi menari di pendapa besar, dan saat bangun, mereka selalu menyebut nama yang sama:

“Ibu Srimpi...”

Wira, yang kini selalu di sisi Kantil, mendesaknya untuk pergi dari desa, agar tidak memperparah keadaan. Tapi Kantil tahu—ia bukan penyebab. Ia kunci.

“Kita tak bisa lari dari ini, Ra...” ucapnya pelan sambil menatap kendi berisi air kembang tujuh rupa. “Aku yang memanggil Srimpi bertahun-tahun lewat tembang. Aku juga yang harus mengembalikannya.”

Wira menatap gadis itu penuh kekhawatiran.

“Kalau kau mati?”

Kantil tersenyum kecil. “Kalau aku mati... paling tidak aku mati sebagai sinden yang tahu akhir dari lagunya.”

---

Malam berikutnya, upacara kecil dilakukan.

Kantil memilih tempat di punden keramat, di tengah hutan kecil belakang desa. Tempat itu dipercaya sebagai tempat Srimpi pertama kali menari sebelum menghilang.

Ia menyiapkan panggung kecil dari tikar, gamelan tua dari balai desa, dan menyalakan obor di empat penjuru.

Ia memakai kebaya putih.

Tanpa susuk. Tanpa pupur. Tanpa riasan.

Ia akan menembang bukan untuk memanggil—melainkan untuk mengubur. Tapi kali ini, bukan hanya Srimpi yang mendengarkan.

Satu per satu roh sinden lama muncul, berdiri di sekeliling Kantil, mengenakan kebaya dari berbagai zaman. Mata mereka penuh harap.

Kantil memejamkan mata.

Mulai menembang.

Suara gamelan mulai berdenting sendiri. Tak ada penabuh, tapi suara tetap keluar. Tanah bergetar. Api obor bergoyang tak menentu. Daun-daun gugur seperti hujan.

Dan dari dalam tanah, asap hitam muncul—Srimpi.

Tapi kali ini, tubuhnya tak sebesar dulu. Ia tampak lemah. Mata cekung. Pakaiannya compang-camping. Ia berusaha menarik suara Kantil, tapi tembang itu mengikatnya.

Kantil menyanyikan lirik yang hanya diketahui satu orang—Tembang Panutup. Lirik ini bukan hanya menutup roh. Tapi juga menutup sejarah. Menutup panggung untuk selamanya.

Srimpi berteriak.

Tapi kali ini, roh-roh sinden membantu. Mereka ikut menembang. Serentak. Suara mereka menyatu, menjadi tembok tak kasat mata yang memenjarakan Srimpi.

Akhirnya, Srimpi berlutut.

Dan perlahan, tubuhnya larut menjadi butiran cahaya... kemudian hilang.

Tembang selesai.

Gamelan berhenti.

Hutan tenang.

Kantil jatuh pingsan.

---

Ia bangun di rumah Pak Lurah, dijaga Wira dan beberapa warga. Mereka bilang, saat tubuh Kantil ditemukan di tengah hutan, udara hangat terasa. Dan sejak malam itu, tak ada anak-anak yang menyebut nama Srimpi lagi.

Cermin-cermin tak lagi berkabut.

Dan suara gamelan... tak lagi berbunyi sendiri.

Tapi sebelum Kantil menutup matanya kembali untuk istirahat, ia melihat sosok perempuan muda berdiri di ujung pintu—rambut panjang, mata sayu, mengenakan kebaya biru.

Sulastri.

Ia mengangguk pelan, tersenyum.

Dan menghilang perlahan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel