Panggung Terakhir di Dunia Nyata
Malam merambat pelan seperti arwah penasaran. Hujan tipis turun sejak sore, membasahi tanah desa Ngadirejo dan mengaburkan pandangan. Di rumah tua tempat Kantil tinggal, suasana hening tak biasa menyelimuti tiap sudut ruangan. Setelah upacara penutupan roh Srimpi, segalanya memang terlihat tenang. Tapi seperti air sungai yang tampak jernih di permukaan, arus deras tetap mengalir di dalam.
Dan Kantil tahu: ini belum akhir.
Ia baru saja bangun dari tidurnya ketika suara gamelan kembali terdengar. Bukan dari luar. Tapi dari dalam rumah. Dari ruang tengah, tempat cermin dahulu dipasang, tempat ia dulu menari seorang diri sambil menatap bayangannya yang bukan miliknya.
Kantil menoleh. Tubuhnya masih lemas, tapi rasa penasaran mengalahkan takut. Ia berjalan pelan, membiarkan kakinya yang telanjang menyentuh ubin dingin.
Sesampainya di ruang tengah, ia berhenti.
Di sana, berdiri sebuah panggung kecil dari kayu jati. Tak pernah ada sebelumnya.
Panggung itu berdiri sendiri, tanpa dibangun, tanpa suara, seolah tumbuh dari lantai. Di atasnya, lampu minyak menggantung dari langit-langit, berayun pelan. Dan duduklah seseorang di tengah panggung itu: seorang sinden dengan wajah ditutupi selendang hitam.
Kantil mematung. Suaranya tercekat.
Bukan Srimpi.
Bukan pula dirinya.
Tapi sosok yang sangat mirip ibunya.
Bu Surtini.
---
Kantil tahu, ibunya telah lama meninggal. Tapi sejak kecil, ia tak pernah tahu bagaimana kematiannya. Yang ia tahu, tubuh Bu Surtini ditemukan di dasar sumur tua desa, dengan mulut terbuka dan gigi yang seluruhnya rontok. Warga bilang itu kutukan karena ibunya menolak pesugihan yang ditawarkan kelompok sinden gaib dari daerah Gunung Srandil.
Kini, Bu Surtini—atau sosok yang menyerupainya—menembang di hadapan Kantil. Suaranya dalam dan menyayat.
> Tembang duka kang ora rampung...
Tembang warisan kang kudu diterusna...
Kantil, turunan pungkasan...
Nada suara itu... memanggil. Mengajak.
Kantil melangkah maju tanpa sadar. Kepalanya pusing. Di sekelilingnya, ruangan berubah. Dinding rumah berganti jadi tirai panggung. Lantai rumah menjadi papan kayu. Ia tidak lagi di rumah.
Ia berada di panggung yang tak pernah ada. Panggung antara dunia nyata dan dunia roh.
---
Di seberang panggung, deretan kursi kayu mulai terisi.
Bukan manusia.
Melainkan sinden-sinden dari masa lalu. Perempuan berkebaya lusuh, rambut penuh bunga melati kering, mata kosong namun mengawasi. Salah satu dari mereka bahkan tampak tak memiliki mulut—hanya kulit dijahit rapi.
Kantil gemetar.
Bu Surtini—atau makhluk yang mengaku sebagai Bu Surtini—berdiri dan menunjuknya.
“Tembangmu belum selesai. Kau belum menyerahkan suaramu.”
Tiba-tiba, suara gamelan bergemuruh. Telinga Kantil berdarah. Jantungnya berdebar cepat, seperti disesaki suara yang ingin keluar. Tapi ia tak ingin menyanyi. Tidak sekarang. Tidak untuk roh-roh ini.
Namun lidahnya bergerak sendiri.
Suara meluncur dari tenggorokannya, nyaring dan merdu, tapi bukan miliknya. Ia menyanyi dalam bahasa yang bahkan tidak ia mengerti.
Suara itu memanggil roh.
Dan satu per satu sinden di kursi itu bangkit... lalu menari. Mereka menari dengan gerakan patah, tidak wajar, seperti boneka kayu digerakkan paksa. Mereka mengelilingi panggung, membentuk lingkaran. Di tengah, Kantil hanya bisa menatap sambil menangis.
Ia disiapkan untuk dikorbankan. Bukan sebagai korban roh—tapi sebagai penerus utama.
Penerus panggung antara dua dunia.
---
Tiba-tiba—“BRAK!”
Seseorang mendobrak pintu rumah.
Kantil tersentak dan terlempar dari pusaran mimpi. Wira berdiri di depan pintu, wajahnya panik, tubuhnya basah kuyup karena hujan. Di belakangnya, Pak Lurah dan dua tetua adat.
“Kau tadi menembang! Suaramu terdengar sampai balai desa!” teriak Wira.
Kantil hanya bisa terduduk. Rumahnya berantakan. Tidak ada panggung. Tidak ada Bu Surtini. Tapi tubuhnya basah seperti habis mandi kembang. Dan di tangannya... ada setangkai melati.
Melati layu, dengan darah mengering di kelopaknya.
Pak Lurah menatapnya tajam.
“Sudah waktunya kau tahu semuanya, Kantil. Tentang ibumu, tentang susuk yang ia tolak, dan perjanjian yang belum lunas. Srimpi bukan akhir. Ia hanya pelayan.”
Kantil menggigil.
“Pelayan?”
Pak Lurah mengangguk.
“Penguasa sebenarnya... belum bangkit.”
Dan semua yang dilakukan Srimpi, semua kutukan, semua cermin, hanyalah bagian dari satu rencana besar: membangkitkan sosok bernama Nyai Lodra.
Sang ratu panggung gaib.
Satu malam setelah kejadian itu, Kantil tak bisa tidur. Matanya terus terpaku pada langit-langit rumah. Aroma melati yang samar masih melekat di udara, seperti bisikan halus yang menari di balik tembok.
Pak Lurah sudah pulang, begitu pula Wira. Namun sebelum meninggalkan rumah, Pak Lurah meninggalkan sepucuk surat tua yang ia simpan selama tiga dekade. Surat itu ditulis tangan oleh Bu Surtini—ibunya Kantil—pada malam sebelum kematiannya. Kertasnya rapuh, tulisannya luntur, namun bisa dibaca dengan teliti.
> “Jika kau membaca ini, berarti perjanjian yang kugagalkan dulu sedang mencarimu. Dengarlah, anakku... Susuk bukan sekadar pesona. Ia adalah pintu. Dan jika pintu itu dibuka oleh suara seorang sinden, maka roh-roh yang terjebak akan bebas—dan ratu mereka, Nyai Lodra, akan bangkit lewat tubuhmu.”
Kantil tertegun.
Nyai Lodra. Nama itu menggema di kepalanya. Ia bukan sosok biasa. Menurut cerita rakyat yang hanya dibisikkan diam-diam oleh para sinden tua, Nyai Lodra adalah sinden pertama yang dipuja, bukan karena kecantikannya, tapi karena suaranya bisa memanggil hujan, angin, bahkan roh.
Konon, Nyai Lodra memilih mengorbankan dirinya dalam ritual murwa danyang, dan suaranya disimpan di alam arwah, menjadi tembang suci yang tak boleh dinyanyikan oleh siapapun.
Tapi... suara itu kini menggema dalam tubuh Kantil.
---
Tengah malam. Jam dinding berdetak pelan. Di luar, suara angin melolong seperti seruling. Dan dari kamar belakang, terdengar suara langkah... pelan... berirama.
Kantil terbangun. Ia berjalan menuju kamar itu. Dulu, kamar ini milik ibunya. Kini dikunci dan tak pernah dibuka. Namun malam ini pintunya terbuka sedikit, menampakkan cahaya lilin dari dalam.
Kantil masuk.
Di dalamnya, kamar masih seperti dulu: tempat tidur kayu, lemari tua, dan... wayang golek.
Puluhan. Mungkin seratus.
Semua berjajar rapi di dinding, tapi yang aneh adalah wajah-wajah wayang itu—semuanya perempuan. Semuanya berwajah mirip Kantil. Satu wayang bahkan memiliki bekas darah kering di sudut bibirnya.
Dan di tengah ruangan... sebuah panggung mini. Lengkap dengan kelir dan dalang dari kayu.
Tiba-tiba, lampu lilin padam.
Gelap.
Namun di tengah gelap, ada suara yang tak asing.
> “Anakku... Kantil... Kau siap untuk tembang warisan?”
Suara itu dari belakang. Lembut. Menyayat.
Kantil berbalik.
Sosok perempuan mengenakan kebaya hitam berdiri di dekat jendela, wajahnya tak terlihat jelas, tapi suaranya menggema, dan rambutnya terurai sampai ke lantai. Di lehernya tergantung liontin hitam berbentuk gamelan kecil.
Ia bukan Srimpi.
Ia bukan Bu Surtini.
Ia adalah Nyai Lodra.
---
Tubuh Kantil membeku. Keringat dingin merembes dari pelipis, sementara lututnya terasa lemas. Tapi entah kekuatan dari mana, ia bertanya,
“Kenapa aku?”
Nyai Lodra melangkah pelan, setiap langkahnya mengeluarkan bunyi nyaring seperti petikan siter.
> “Karena hanya kau yang lahir dari dua suara: suara sinden yang menolak dan suara sinden yang menyerah.”
> “Kau anak dari darah pengkhianat dan pewaris tembang lama. Suaramu—bukan milikmu.”
Kantil mencoba mundur, tapi bayangannya sendiri menahannya. Ya, bayangannya sendiri. Bayangan yang biasanya mengikuti kini berdiri di depannya. Matanya merah. Mulutnya bergerak sendiri.
Bayangan itu menembang.
> “Tembang sukma, tembang jiwa, tembang waris turuning wanita...”
Suara dari bayangan itu membuat ruangan bergetar. Wayang-wayang perempuan mulai bergerak sendiri. Mereka menari. Pelan. Gemulai. Tapi matanya kosong. Wajah-wajahnya kini bukan lagi mirip Kantil, melainkan berubah jadi wajah-wajah yang kesakitan. Tangan mereka berdarah. Leher mereka melilit melati.
Kantil menjerit.
Namun jeritannya tak terdengar.
Karena... tubuhnya sendiri sudah menembang. Bukan dirinya. Tapi bagian dalam dirinya yang bukan dirinya. Suara itu bukan miliknya. Ia merasa seperti boneka yang digerakkan oleh kekuatan lain. Suaranya menyatu dengan suara Nyai Lodra, menggema ke seluruh rumah, lalu ke seluruh desa.
Dan di kejauhan, terdengar anjing menyalak. Bayi menangis. Orang-orang mulai menggigil dalam tidur.
Malam itu, desa Ngadirejo tak bisa tidur.
Malam itu, pangkal takhta arwah dibuka.
---
Pagi harinya, Wira datang lagi, wajahnya panik. Ia menemukan warga yang semalam bermimpi menonton pertunjukan wayang di langit-langit rumah mereka. Di mimpinya, sang dalang adalah seorang sinden muda, dan wayang-wayangnya menari... sambil menangis.
Di halaman rumah Kantil, tertancap boneka wayang perempuan—memegang melati merah darah.
Dan di dalam rumah, Kantil hanya duduk diam, menatap lurus ke arah jendela.
> Matahari pagi tidak menyentuh wajahnya.
Karena wajahnya... bukan lagi wajah manusia biasa.
