Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 5

BAB 5

HAPPY READING

__________

Keesokan harinya,

Stella tidak hanya sibuk membersihkan kamar Francis, tapi kini dia terbiasa memilihkan setelan kerja untuk pria itu dan jam tangan. Jemari Stella dengan anggun menggantungkan jas navy di sisi lemari, lalu mengambil jam tangan silver klasik dari estalase kaca. Semua terasa seperti rutinitas, tapi jujur jantungnya tidak pernah benar-benar tenang setiap mereka berada di ruangan itu bersamanya.

Francis keluar dari kamar mandi dengan rambut basah, dan hanya handuk melilit di sisi pinggangnya. Stella menunduk cepat, mencoba tidak memandang. Tapi pikirannya tidak sekaku itu, karena memang dia sudah sering melihat tubuh Francis. Dan dia tahu kalau pria itu sengaja membiarkannya melihat. Jujur godaan itu menjalar seperti racun, dia ingin sekali menyentuh dada bidang itu. Dia juga kadang ingin tahu bagaimana pria itu menghujami tubuhnya dengan kejantanannya.

Francis mengenakan semua pilihan Stella, lalu dia berdiri di depan cermin. Matanya menatap pantulan Stella yang berdiri di belakangnya.

“Saya mulai berpikir kalau kamu seharusnya berhenti mengenakan seragam itu,” ucap Francis.

“Tapi pakaian ini wajib saya kenakan di sini,” ucap Stella lagi.

“Saya ingin melihat kamu pakai pakaian selayaknya wanita.”

Stella menarik napas, “Kamu bisa melihat itu, saat saya libur kerja di hari Minggu.”

Francis mendekat, tapi kali ini Stella menahan posisinya.

“Biasanya hari Minggu kamu ke mana?” Tanya Francis seketika.

Stella menarik napas, “Pulang, ke rumah saya.”

Francis mengangguk perlahan, dia masih ingat di mana posisi rumah Stella, karena dulu enam tahun lalu dia pernah membuntuti wanita itu dan berakhir bertengkar di sana.

“Saya ingat, kamu punya saudara.”

“Lauren?”

“Iya.”

Stella tersenyum samar, “Dia sekarang tinggal di Melbourne. Sudah enam tahun lalu.”

“Kenapa kamu tidak ikut dia?”

“Karena dia punya kehidupan sendiri, lebih pelik dari saya. Saya tidak ingin kehadiran saya menjadi beban buat dia.”

Francis memandang Stella, “Kamu pernah ke Melbourne.”

“Setiap tahun ke sana.”

Francis menyungging senyum, “Jadi kalau saya ajak kamu ke luar negri, kamu bisa?”

Stella melirik Francis, bibirnya membentuk senyum, “Tentu saja. Asal semua akomodasi kamu yang tanggung.”

Francis tertawa, “Itu sangat mudah, jangan pikirkan akomodasi, itu sudah jadi tanggung jawab saya. Kamu hanya bawa diri saja.”

Stella membalas senyum pria itu, tapi dia dengan cepat kembali menunduk, seolah menyembunyikan riak di hatinya. Francis melangkah mendekati Stella. Suaranya kini mengendur, menjadi bisikan.

“Saya serius, Stella. Mungkin bukan sekarang, tapi suatu hari nanti, kita akan ke sana bersama,” bisik Francis,

Dan untuk beberapa detik, mereka saling menatap. Waktu seakan membeku, hati Stella sudah goyah sejak lama, kini semakin sulit dikendalikan.

Francis memegang dagu Stella dengan jemarinya. Stella merasakan sentuhannya, tidak kasar tapi juga tidak bisa dianggap lembut. Lebih seperti peringatan dan penguasa dibalut ketenangan. Wajah Stella otomatis mendongak, menatap mata pria itu yang memancarkan dingin sekaligus membara. Mata mereka bertemu. Waktu seakan berhenti berputar di antara detik yang menahan.

Tatapan Francis beralih ke mata bening itu, lalu setelahnya ke bibir. Bibir penuh yang sejak lama mengganggu pikirannya. Jemarinya bergerak, mengelus bibir itu secara perlahan.

Satu sentuhan yang membuat Stella memejamkan mata. Napasnya tidak setabil. Jantungnya berdebar. Tapi dia tetap berdiri di tempatnya, membiarkan rasa itu meresap perlahan, masuk ke setiap kulit dan hatinya.

“Saya ingin merasakan bibir kamu,” bisik Francis, suaranya nyaris seperti desir angina yang menggetarkan.

Stella membuka matanya secara perlahan, menatap mata pria itu, dengan jarak dekat dan dalam.

Stella menelan ludah, entah dorongan apa dia mengangguk. Tidak ada kata, tidak ada pertanyaan lagi. Tidak ada alasan untuk menyangkal. Saat itu, semua jawaban ada dalam keheningan. Francis menunduk secara perlahan. Tidak terburu-buru. Seperti menunggu Stella berubah pikiran. Tapi wanita itu tidak kunjung menjauh, diam, nyaris tanpa bergerak.

Dan dalam sekejap, bibir mereka bertemu. Bukan ciuman tergesa-gesa. Ini merupakan ciuman penuh rasa penasaran, hasrat terpendam sejak lama dan ledakan emosi yang selama ini dia tahan. Bibir Francis menekan bibir Stella, Stella nyaris kehilangan keseimbangan. Dengan reflek memegang dada Francis, Francis menarik pinggang ramping itu lebih dekat, dan ciuman itu menjadi lebih dalam dan berani.

Francis menghisap bibir bawah dan atas secara bergantian, lidahnya menelusup ke dalam rongga mulut. Mereka bertukar saliva, bibir saling membelit. Ciuman awalnya perlahan kini berubah menjadi lebih ganas. Bibir mereka saling berpangutan.

Francis mengangkat tubuh Stella, otomatis kaki Stella melingkar di sisi pinggang Francis. Francis membawa tubuh itu ke meja dan mendudukan tubuh Stella di sana. Stella membalas ciuman Francis tidak kalah ganasnya. Mereka tahu kalau saat ini hanya ada mereka berdua saja disini.

Dua orang dari dunia berbeda, dua hati yang awalnya saling menolak, kini tenggelam dalam sebuah rasa yang tidak bisa dihindari.

________

Di kantor Caspian Group, di lantai 20. Ruang meeting sunyi, semua perhatian tertuju pada layar presentasi, dan suara manajer proyek yang menjelaskan perkembangan pembangunan property di kawasan elite Jakarta Selatan. Namun Francis yang sedang duduk di situ, tidak mendengar apapun. Pikirannya melayang masih pada Stella.

Masih pada ciuman tadi pagi yang mereka lakukan. Wanita itu mengijinkan dia menciumnya. Bibir wanita itu terasa sangat lembut, begitu nyata dan begitu menggila. Tangannya terkepal di bawah meja, jantungnya memompa lebih cepat dari biasanya. Rasanya sangat tidak masuk akal, dia sudah mencium banyak wanita dalam hidupnya. Tapi tidak pernah seperti ini.

Dia sialnya lagi, dia ingin lagi melakukannya. Dia merasakan bagaimana Stella berdiri di sana, dengan bibir terbuka, matanya terpejam menikmati bibir bermain dan tubuhnya menggoda untuk di sentuh. Dia nyaris gila menahannya.

Begitu meeting selesai, dia berdiri. Dia melihat jam melingkar di tangannya menunjukkan pukul 16.00. sekretarisnya tidak sempat bertanya ke mana dia akan pergi, dia ke ruang kerjanya mengambil kunci mobil. Dan dia pulang saat ini juga.

___

Mobil sport hitam memasuki halaman rumah. Francis turun tanpa kata, langsung melangkah menuju pintu utama. Langkahnya cepat, matanya mencari sosok – hanya satu. Tapi Stella tidak ada di sana. Yang ada hanyalah bu Ani.

“Bu Ani!” panggil Francis.

“Iya, tuan,” ucap wanita itu muncul dari arah dapur, dia membungkuk sopan.

“Panggil Stella ke kamar saya ya.”

Bu Ani mengangguk. “Baik tuan.”

Francis berpikir cepat, “Ada pakaian kotor saya yang tertinggal di rak laundry.”

“Baik tuan.”

Francis melangkah naik ke atas, masuk ke dalam kamarnya. Berdiri di tengah ruangan. Lalu menatap tempat yang sama, di mana tempat Stella berdiri tadi pagi. Tempat wanita itu menari horden, tempat mereka saling dekat, dan meja itu menjadi pertama kali mereka berciuman.

Francis memejamkan mata sejenak. Dan ketika membuka matanya lagi, dia tahu kalau dia menginginkan lagi. Tapi kali ini bukan sekedar bibir, tapi lebih dari itu.

____

Stella yang sedang berada di kamarnya sore itu seketika mendengar pintu diketuk. Stella lalu membuka pintu kamar.

“Bu Ani.”

“Tuan Francis memanggil kamu ke kamarnya.”

Stella mengerutkan dahi, bingung. Matanya langsung membulat.

“Saya?”

“Iya, kamu. Kamu di suruh ambil baju kotor di rak laundry kamar atas.”

Biasa dia mengambil pakaian kotor itu di pagi hari, dan tidak perlu di suruh dia tahu tugasnya. Dan ini baru pertama kalinya dia di suruh oleh Francis hanya mengambil pakaian kotor.

“Baik, saya ke atas sekarang.”

Stella mencabut setrika di kamarnya. Dia menatap penampilannya di cermin, rambutnya sudah tersisir rapi dan dia menyemprot parfum di tubuhnya. Di dalam dadanya, sesuatu melonjak tidak tentu arah. Jantungnya berdetak cepat, padahal ini bukan pertama kalinya dia ke kamar pria itu. Apa mungkin pria itu menuntut ciuman mereka tadi pagi?

Stella berdiri di depan pintu kamar Francis sebelum benar-benar membukanya. Hatinya berdegup lebih cepat, dan langkahnya terasa berat dari biasanya. Pikirannya tidak berhenti memutar ulang pristiwa pagi tadi. Ciuman, sentuhan, dan tatapan pria itu. Apakah Francis memanggilnya karena itu?

Pintu terbuka secara perlahan dan aroma khas kamar itu langsung menyergapnya, campuran dari wangi aftershave mahal, linen bersih dan entah apalagi yang kini sudah akrab di hidunngnya.

Francis berdiri di sana. Diam di dekat jendela. Dengan tangan menyelip di saku celana. Cahaya matahari senja jatuh di bahunya, membuat siluet tubuhnya terlihat tajam dan hangat sekaligus. Tatapannya lurus menembus Stella, seolah pria itu sudah menunggunya sejak tadi.

“Masuklah,” ucapnya tenang.

Stella melangkah masuk ke dalam kamar. Lalu pintu tertutup di belakangnya. Untuk beberapa detik, tidak ada pembicaraan. Suasana ruangan terasa berat, menekan napas mereka berdua. Hanya suara jam dan detak jantung Stella yang terasa terlalu keras di telinganya sendiri. Francis tidak bergerak dari tempatnya, hanya menatapnya dari jauh.

Stella akhirnya membuka suara, “Tuan memanggil saya, mengambil pakaian kotor?” Stella mengakui kalau itu pertanyaan konyol , dia sadar bukan itu yang dimaksud Francis. Tapi dia butuh sesuatu untuk memecah keheningan ini.

Francis tidak langsung menjawab. Dia justru menoleh, matanya menatap Stella secara dalam. Lalu dia melangkah perlahan ke arahnya. Hingga jarak mereka hanya tinggal sehela napas.

“Saya memanggilmu karena ingin membahas apa yang telah kita lakukan tadi pagi,” ucap Francis pelan, suaranya dalam dan berat.

Stella menahan napas, matanya membelalak sedikit, tapi tidak yakin harus menjawab apa. Francis menunduk sedikit, menatap mata Stella yang bening dan tegang.

“Kamu pasti sadar apa yang telah kita lakukan tadi pagi.”

Stella mendongakan wajahnya menatap tatapan tajam pria itu. Dia mengangguk.

“Apa kamu menyesalinya?”

“Saya tidak tahu, karena itu terjadi begitu saja. Lain kali jangan lakukan lagi,” ucap Stella pelan.

“Tapi kamu tidak menolak saat saya mencium kamu, dan kamu mencium saya balik.”

Stella kembali terdiam, wajahnya memanas tapi tidak menunduk. Francis memandang bibir Stella, kali ini tidak ada sentuhan. Hanya tatapan yang dalam, menyiratkan banyak rasa ingin tahu.

“Saya tidak suka setengah-setengah. Saya ingin kamu menerima tawaran saya.”

“Dan saya belum siap,” timpal Stella.

Francis tersenyum kecil, “jelaskan apa yang membuat kamu tidak siap. Tadi pagi saja kamu membalas ciuman saya, dan tidak menolak saat saya sentuh.”

Stella menelan ludah, dia tidak menjawab apapun. Stella menguatkan dirinya, napasnya pendek, jantungnya berdetak liar. Tapi dia berdiri tegak di hadapan pria itu.

Francis mendekat sedikit lagi,

“Jelaskan Stella,” ucapnya pelan tapi tajam, “Apa yang membuat kamu tidak siap?”

Stella menghindari tatapannya, dia menggenggam jemarinya sedikit erat.

“Saya, tidak tahu. Karena saya merasa belum siap.”

Stella menelan ludah, matanya bergerak gelisah, “Saya rasa tadi refleks.”

“Refleks?” Nada suara Francis terdengar setengah mencemooh. Dia menyipitkan matanya, memperhatikan setiap gerakan Stella.

“Kalau begitu, sekarang saya bisa dong cium kamu lagi, kamu pasti akan reflek membalas saya.”

“Tentu tidak,” potong Stella cepat, “Kalau kamu melakukan itu tanpa persetujuan saya itu namanya pelecehan.”

Francis terdiam, mulutnya membentuk senyum tipis, bukan karena senang, tapi karena tertantang. Dia menoleh sebentar ke arah jendela, lalu kembali menatap wanita di hadapannya.

“Kalau begitu, lebih baik kamu terima tawaran saya Stella,” ucap Francis pada akhirnya.

“Kamu akan punya uang. Saya akan punya apa yang saya inginkan. Saling munguntungkan, bukan?”

“Apa yang kamu inginkan dari saya?” Tanya Stella dengan suara bergetar.

Francis menatap Stella dalam-dalam, tanpa kedipan.

“Tubuh kamu,” jawabnya tegas.

“Bukan cinta, bukan janji. Hanya tubuh kamu. Karena saya menginginkannya.”

Stella menatap lama, dadanya naik turun.

“Saya bukan barang,” ucap Stella.

“Saya tahu.”

“Dan kamu juga bukan Dewa, tuan Francis.”

Francis tersenyum tipis.

“Semua orang tahu kalau saya cuma manusia biasa, Stella. Terlalu tinggi menjadi dewa. Tapi saya terbiasa mendapatkan apa yang saya mau.”

Stella menghela napas panjang, dia hendak membalikan badan ke arah pintu.

“Saya akan pikirkan,” ucap Stella tanpa menoleh memandang Francis. “Tapi, kamu harus tahu. Saya mungkin tidak akan memberi jawaban yang kamu suka.”

Stella lalu keluar dari kamar Francis, meninggalkan Francis sendirian, menatap pintu yang sudah tertutup pelan.

__________

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel