
Ringkasan
21+ UNTUK DEWASA Stella tidak pernah menyangka hidupnya akan kembali bersinggungan dengan pria yang pernah menghancurkan harga dirinya. Setelah kontraknya sebagai pengasuh berakhir, Stella menerima tawaran kerja dari Sharon, mantan majikannya yang ia hormati. Sharon memintanya bekerja sebagai pembantu di rumah salah satu kerabatnya—keluarga Caspian, keluarga kaya raya dan terhormat. "Mereka orang baik," kata Sharon. Tapi kenyataannya jauh dari harapan. Di sana, Stella bertemu kembali dengan Francis Caspian, pria dingin dan arogan yang pernah menuduhnya sebagai penyebab retaknya hubungan Sharon dan Marcel. Sekarang, pria itu justru menjadi tuan rumahnya. Alih-alih melupakannya, Francis justru memanfaatkan posisinya untuk menjadikan Stella pelayan pribadinya. Ia menyuruh Stella membersihkan kamarnya, merapikan lemari pakaiannya, dan memperlakukannya bak budak. Stella menolak. Ia bukan milik Francis. Namun segalanya berubah ketika pria itu mengulurkan segepok uang, dan memintanya untuk "siap melayani kapan pun ia butuhkan." Sebagai wanita yang selama ini berjuang keras demi uang dan hidup yang layak, Stella mulai goyah. Tawaran itu menggiurkan. Tapi di balik tumpukan uang itu, ada luka lama dan harga diri yang kembali dipertaruhkan. Sementara itu, Aletta—tunangan Francis—melihat Stella sebagai ancaman. Bukan hanya karena statusnya yang rendah, tapi karena kecantikannya yang tak terbungkus kemewahan. Aletta mulai menekan Stella, membuatnya sadar: keberadaannya di rumah itu bisa menjadi bencana. Francis dan Stella pura-pura tidak saling kenal. Tapi dalam diam, Francis mulai menatap Stella dengan cara yang berbeda. Ia jatuh hati pada gadis yang dulu ia benci. Dan Stella, meski benci pada pria itu, mulai melihat sisi Francis yang tak pernah ia kenal sebelumnya. Di antara cinta yang terlarang, kesenjangan status, dan ikatan masa lalu yang belum selesai—akankah cinta mereka menemukan jalan? Atau semua akan hancur saat rahasia masa lalu kembali menyeruak?
BAB 1
BAB 1
HAPPY READING
____________
Suara koper yang digeret pelan mengisi lorong rumah megah itu. Stella menoleh sekali lagi ke balik pintu kamar yang selama ini menjadi tempat tidurnya, di mana tempat dia pulang seharian bermain dengan anak kecil yangs udah dia anggap adik sendiri. Kini kosong, sepi sama seperti hatinya.
Hari ini kontraknya sebagai pengasuh telah selesai. Ini sudah tiga tahun dia bekerja di rumah ini. Enam tahun bekerja di rumah Sharon membuatnya hampir lupa bahwa pekerjaan seperti ini tidak pernah benaar-benar permanen.
“La …” suara lembut Sharon memanggil-nya dari ruang tamu. Wanita itu berdiri di depan sofa sambil menggenggam kedua tangan Stella.
“La, kamu yakin nggak ingin tinggal beberapa hari lagi sebelum mulai kerja baru?”
Stella menggelengkan kepala, “Saya rasa lebih baik langsung pindah. Kalau lebih lama lagi, saya bisa makin berat untuk pergi,” ucap Stella.
Sharon tersenyum pedih, “Maaf kalau saya tidak bisa memperpanjang kontrak kamu La di sini. Mereka anak-anak, sudah mulai sekolah secara full sampai sore, dan Marcel juga menyarankan sudah ada driver untuk jaga anak-anak. Ada pembantu juga yang urus semua keperluan mereka.”
Stella mengangguk mengerti, dia tahu kalau dia tidak pernah menyalahkan Sharon. Justru dia berutang banyak pada wanita itu. Sharon memperlakukannya bukan seperti pembantu, tapi justru sebagai keluarga.
“Ah ya, pekerjaan baru yang saya tawarkan ke kamu itu bagaimana?” Tanya Sharon.
“Di rumah adiknya papi, namanya Caspian. Mereka butuh pembantu, saya menawarkan kamu kemarin, dan mereka setuju kamu kerja di sana. Mereka sama seperti kami. Bahkan mungkin lebih. Kamu jangan khawatir, keluarga Caspian sangat baik. Kamu akan cocok di sana,” jelas Sharon.
Dia belum pernah mendengar nama Caspian sebelumnya. Kini satu-satunya pilihan yang dia miliki hanyalah menerima tawaran itu. Dia butuh pekerjaan untuk bisa membiayai hidupnya.
Stella mengangguk, “Saya percaya kamu, saya mau.”
Sharon menatapnya, seolah ingin mengatakan sesuatu lagi, tapi kemudian hanya menepuk pundaknya pelan.
“Kalau kamu butuh apa-apa, kamu tahu nomor telepon saya. Jangan ragu hubungin saya.”
Stella mengangguk, berusaha tersenyum meski matanya berkaca-kaca. Dia bukan tipe wanita melankolis, tapi hari ini terasa berat. Seperti sedang meninggalkan sesuatu bagian hidupnya untuk masuk ke lorong gelap yang tidak tahu akan membawanya ke mana.
Setelah berpamitan dengan staff rumah lainnya. Stella naik taxi yang sudah menunggunya di gerbang. Dia masuk ke dalam mobil, lalu mobil meninggalkan area rumah.
Jakarta sore itu terasa lebih lengang. Mungkin pikirannya terlalu ramai. Dia saat ini masih tinggal di Cempaka Putih. Keluarganya hidup sederhana, tapi penuh tawa. Ayah dulunya seorang karyawan dan ibunya juga sama. Tapi beliau sudah pension setelah menyekolahkan dia dan Lauren hingga perguruan tinggi, di keluarganya tidak ada kekayaan, tapi selalu ada kehangatan di dalamnya. Kedua orang tua mereka selalu mendukung apapun yang telah menjadi keputusan mereka pilih. Mereka makan di meja makan, tapi di penuhi tawa.
Lalu tiga tahun lalu ayah jatuh sakit. Jantungnya melemah, dan hanya dalam hitungan minggu, beliau pergi.
Belum sempat luka itu mongering, ibunya menyusul. Entah karena kesedihan, atau mungkin kerena tubuhnya terlalu lelah. Dia bahkan tidak ingat apa yang lebih menyakitkan, kehilangan atau kesendirian setelahnya.
Rumah orang tuanya, kini dia yang tinggalin. Dia tinggal sendiri di sana, tapi setiap malam terasa sepi, seperti dinding yang menyempit. Tidak ada tawa, tidak ada suara, hanya diam. Makanya dia memilih bekerja. Bukan di rumah sakit – dia cukup lelah dengan dunia medis yang kaku dan dingin. Dia ingin rumah, kehangatan, sekalipun sebagai pembantu di rumah konglomerat.
Dan kini, dia menerima tawaran Sharon menjadi pembantu di rumah keluarga Caspian. Stella menatap keluar jendela mobil. Melihat bayangan dirinya di kaca.
“Semoga saja mereka orang baik,” gumamnya lirih nyaris tidak terdengar.
________
Kini dia tiba di Menteng, semua orang tahu kalau Menteng di kenal sebagai kawasan bergengsi dengan hunian mewah dan gaya hidup kelas atas. Banyak pejabat, konglomerat dan artis memilih tinggal di sini. Gerbang besi besar itu terbuka secara perlahan, memperlihatkan halaman luas dengan taman yang rapi dan ada air mancur di tengah. Mobil yang membawa Stella melaju pelan di atas jalan berlapis batu alam. Rumah itu lebih mirip istana menurutnya, megah, tinggi dan mewah dengan kaca-kaca besar yang memantulkan langit langit Jakarta yang mulai menguning senja.
Stella menelan ludah, jujur ini bukan pertama kalinya dia bekerja di keluarga kaya, tapi rumah ini berbeda. Terlalu megah, terlihat sunyi, seperti menyimpan rahasia dalam di setiap sudutnya. Begitu mobil berhenti tiba di depan tangga utama. Dia menatap seorang wanita setengah baya dengan seragam abu-abu menghampirinya. Dia melihat driver menurunkan kopepr dari bagasi.
“Selamat datang. Stella ya?” ucapnya dengan suara ramah dan terkontrol dengan baik. Karena tadi pak Caspian tadi memberitahunya bahwa hari ini dia hire untuk pembantu baru di rumah ini.
Stella mengangguk, “Iya, bu. Saya Stella,” ucapnya.
Wanita itu tersenyum, “Saya Ani, kepala rumah tangga di sini. Mari ikut saya. Kamar dan ruang staff ada di belakang,” ucapnya.
Stella menarik kopernya dan mengikuti langkah tegas wanita itu. Mereka melewati pintu besar yang terbuat dari kayu jati, memasuki lorong dalam rumah yang dingin dan tenang. Lantai marmer berkilau di bawah kakinya. Lampu gantung Kristal menggantung megah dari langit-langit tinggi. Semua terlihat sangat sempurna.
Staff-staff lain yang dia temui di sepanjang lorong menyapanya sopan. Beberapa memberinya senyuman ramah, beberapa hanya anggukan singkat. Tapi terlihat tidak ada satupun yang meremehkannya. Dia tidak tahu seberapa banyak staff bekerja di rumah ini.
Dia melihat bu Ani membuka sabuah kamar, dia menyuruhnya menaruh koper sederhana namun bersih. Lalu bu Ani kembali membawanya menuju ruang lantai bawah.
“Tuan Caspian ingin langsung bertemu denganmu,” ucapnya.
Stella hanya mengangguk, ini merupakan pertemuan penting. Karena kalau sang pemilik rumah tidak menyukainya, dia bisa kehilangan kesempatan sebelum sempat membuktikan diri.
Lauren mengobservas ruang kerja, berpanel kayu tua, dengan rak buku yang menjulang dan jendela lebar menghadap taman belakang. Di balik meja kayu gelap itu, duduk seorang pria berusia sekitar enam puluh tahun. Wajahnya tegas, alisnya tebal, dan sorot matanya tajam, tapi sama sekali tidak mengintimidasi.
“Selamat sore, Stella,” ucapnya, suara berat itu tenang, tedengar ramah.
“Sore juga, Tuan Caspian,” ucap Stella.
“Saya mendengar banyak hal dari keponakan saya Sharon tentang kamu,” ucapnya sambil mengamati Sharon dengan cermat.
“Dan saya percaya atas pilihan dia.”
Stella mengangguk kecil, “Terima kasih pak, sudah percaya saya.”
Tuan Caspian tersenyum tipis, “Di sini tidak menuntut kesempurnaan, hanya kejujuran dan kesetiaan. Di rumah ini, semua pekerja dianggap bagian dari keluarga.”
“Kamu bisa mulai besok kerja. Bu Ani akan menjelaskan tugas harian kamu. Hari ini, beristirahatlah dulu.”
“Terima kasih pak.”
Saat dia berjalan keluar dari ruang kerja, beban di dadanya sedikit terangkat. Karena ini merupakan awal yang baik. Tapi ketenangan itu tidak bertahan lama. Ketika Stella ke lorong meja kamarnya, dia tidak sengaja berpapasan dengan seorang pria yang baru saja turun dari tangga atas.
Langkahnya terhenti dan napasnya tercekat. Dia kenal betul siapa sosok pria itu. Dia adalah Francis. Sosok itu juga menatapnya dengan tatapan dingin. Rahang pria itu tajam yang tidak berubah. Mata gelapnya yang pernah menatapnya dengan tuduhan dan kemarahan.
Pria yang dulu pernah menyebutnya pembohong dan perusak. Dunia Stella mendadak senyap, seolah waktu berhenti berputar. Dan saat mata mereka saling bertemu. Satu hal yang tidak jelas. Mereka tidak lagi orang asing.
Stella bergegas kembali ke kamarnya, dadanya naik turun. Dia tidak salah lihat? Dia Francis sepupunya Sharon yang dulu dia temui di pesta rumah Sharon lalu menuduhnya ingin merusak hubungan Sharon dan suaminya? Kenapa dia baru sadar sekarang kalau ini adalah rumahnya Francis. Jelas terlihat tadi pria itu juga memandangnya.
Stella duduk di tepi ranjang, mencoba menenangkan pikirannya yang kalut. Dunianya terasa seperti berhenti berputar lebih cepat. Kenapa hidup membawanya kembali ke rumah ini? Kenapa harus Francis?
Dengan langkah hati-hati, Lauren keluar dari kamarnya dan berjalan menuju dapur. Dia harus paham peta rumah ini. Dia mencari secangkir air untuk menenangkan tenggorokannya. Di sana, dia bertemu dengan Ani yang sedang mencatat kebutuhan dapur di buku besar.
“Bu Ani …” sapa Stella dengan suara pelan, tapi masih terdengar.
Wanita itu menoleh kepadanya, “Iya, Stella?”
Stella ragu sejenak, “Maaf, tadi pria yang barusan turun dari tangga itu siapa ya?”
Bu Ani menutup bukunya perlahan, menatap Stella dengan ekspresi lembut, “Itu tuan Francis.”
Stella pura-pura mengerutkan dahi, “Tuan Francis?”
“Iya, tuan Francis Caspian. Putra sulung tuan Caspian. Sekarang beliau bertanggung jawab atas perusahaan atas rumah ini, sejak tuan Caspian mulai pension beberapa tahun lalu.”
Stella mengangguk pelan, dia mencoba menelan kenyataan itu. Jadi, pria itu bukan hanya sekedar penghuni rumah ini. Dia juga adalah pewarisnya. Penguasa rumah ini.
“Kenapa?” Tanya bu Ani heran.
“Ah, tidak. Saya pikir saya pernah melihat wajahnya di TV,” ucap Stella mulai berdalih.
“Orangnya terlihat kharismatik.”
Bu Ani tersenyum kecil, “Memang begitu adanya. Tuan Francis itu, agak dingin memang. Tapi dia orangnya tegas, teratur. Tidak banyak bicara. Hanya bicara seperlunya saja.”
Stella tersenyum miris, Tegas? Dingin? Itu bahasa halus dari Arogan dan menyebalkan.
“Tapi jangan khawatir, selama bekerja di sini dengan baik. Tidak akan ada masalah. Tuan Francis memang tipe yang segalanya rapi dan sesuai aturan.
Stella hampir saja tertawa. Dulu pria itu menuduhnya sembarangan, tanpa memberikan kesempatan menjelaskan tuduhan kejam itu.
“Baik, bu. Terima kasih penjelasannya,” ucap Stella.
Stella kembali ke kamar. Tapi kali ini dia tahu satu hal pasti, hidupnya di rumah ini tidak akan mudah yang dia bayangkan, karena pria itu adalah Francis. Mungkin dia tidak akan bertahan lama bekerja di rumah ini.
_________
