BAB 4
BAB 4
HAPPY READING
______________
Malam itu Stella nyaris tidak bisa tidur, matanya menatap langit-langit kamar kecilnya. Tapi pikirannya sibuk memutar ulang kejadian tadi pagi. Francis menawarkannya uang dengan jumlah yang cukup besar. Pria itu ingin dirinya. Kenapa dirinya? Dia yakin bahwa dia bukanlah tercantik yang dia temui. Dia hanya seorang pembantu. Tidak ada darah bangsawan. Tidak ada nama keluarga besar. Yang ada hanyalah rumor masa lalu masih berbekas.
Pagi ini Stella kembali ke rutinitas. Jam tujuh tepat dia sudah berdiri di depan kamar Francis. Dia menarik napas panjang, lalu mengetuk pelan.
“Masuk,” suara terdengar dari dalam.
Saat Stella membuka pintu, dia mendapati Francis sudah ada di sana. Pria itu duduk di sofa, dengan kaos polo putih dan celana panjang, rambutnya sedikit lembab. Dia yakin kalau pria itu baru selesai mandi. Tatapannya singkat menatapnya, lalu kembali menatap ponselnya.
Stella masuk ke dalam, dia bersyukur kalau tidak ada pembahasan tentang kemarin. Dia melakukan ini seolah tidak terjadi apa-apa diantara mereka. Stella memilih menyibukkan dirinya. Dia membersihkan area kamar, merapiikan pakaian yang baru dikirim dari laundry, menata parfum dan jam tangan mahal Francis yang sempat dia kagumi kemarin. Lalu masuk ke ruang kerja kecil pria itu. Dia menyusun kembali kertas dan map penting, mengecek tempat sampah dan mengelap permukaan meja kerja dari debu.
Saat dia kembali ke area kamar utama, suara itu terdengar di telinganya.
“Saya mau sarapan di kamar,” ucap Francis.
Stella menatap Francis, pria itu memandangnya balik. Stalla hanya mengangguk, “Baik.”
Stella turun ke dapur, meminta satu piring roti panggang dengan telur rebus, potongan alpukat, dan secangkir kopi hitam. Menu itu yang katanya biasa disantap oleh Francis di pagi hari. Dia kembali ke atas dengan nampan di tangannya, lalu perlahan meletakkan di atas meja tepatnya di hadapan pria itu.
Francis meletakkan ponselnya di meja, lalu menatapnya.
“Duduk,” ucap Francis memberi perintah.
Stella ragu, tapi tubuhnya menurut dia duduk perlahan di kursi seberang pria itu. Kali ini mereka saling berhadapan. Francis menyentuh sendok, dan memakan makanannya. Lau menatapnya lagi.
“Kamu belum jawab pertanyaan saya kemarin.”
Stella menelan ludah, memandang tatapan tajam Francis.
“Saya sebenarnya tidak tahu mau menjawab apa.”
Francis tersenyum penuh arti, “Biasanya wanita langsung menjawab iya untuk uang sebanyak itu.”
Stella memandang Francis dengan berani.
“Dan saya bukan ‘biasanya’.”
Francis mengangguk tenang, dia memandang Stella. Bisa-bisanya wanita itu menjawab ucapannya dengan tepat.
“Boleh saya tanya sesuatu?” Tanya Stella.
Alis Francis terangkat, menatapnya sambil melipat tangannya di dada.
“Tentu.”
Stella menarik napas, lalu menatap mata pria itu dengan keberanian.
“Kenapa saya? Kenapa menawarkan semua itu kepada saya?” Tanya Stella.
Francis lalu menyandarkan punggungnya di kursi, “Karena saya penasaran, bagaimana rasanya tidur dengan kamu.”
Udara dalam kamar seolah membeku. Stella menahan napas, jantungnya berdetak tidak karuan. Tapi dia tidak ingin tampak lemah. Dia tetap menatap wajah pria itu dengan tegas.
“Kalau begitu, setelah rasa penasaran kamu hilang, semuanya selesai?”
Francis tersenyum tipis, “Bisa iya, bisa juga tidak.”
“Bisa jadi jutsru berlanjut, karena manusia kadang terikat oleh tubuh.”
Stella menelan ludah. Bagian dari dirinya ingin pergi, tapi bagian lainnya tetap duduk di situ.
“Saya belum bisa menerima tawaran kamu,” ucap Stella pada akhirnya, walau dalam pikirannya ingin mengiyakan, melihat uang sebanyak itu di tangannya. Tentu saja dia tidak perlu repot-repot bekerja hanya karena gaji UMR yang dia terima setiap bulan.
“Kenapa?”
“Karena saya tidak bisa tidur dengan pria yang belum saya kenal.”
“Saya tahu itu terdangar klise, tapi bagi saya bukan hanya tubuh. Tapi jiwa saya yang merasa, apa enaknya tidur dengan pria yang tidak saya kenal.”
Francis memiringkan kepalanya, matanya menyipit pelan, “Kita sudah kenal sejak enam tahun lalu, Stella.”
“Mungkin perkenalan yang cukup buruk, penuh prasangka dan saling benci. Tapi itu tetap sebuah kenalan menurut saya. Kita bukan orang asing sepenuhnya.”
“Tapi menurut saya kenal bukan soal waktu. Tapi apa yang dilakukan.”
Francis mengangguk pelan, dia menatap Stella yang sepertinya sedang mempertimbangkan ucapannya. Francis berdiri, dia meraih cangkir dan menyesapnya secara perlahan.
“Baik. Saya tidak akan memaksa.”
“Tapi tawaran saya tetap berlaku untuk kamu. Sampai kamu siap.”
“Dan jika saya memutuskan tidak akan pernah?”
Francis lalu memandang Stella, kata-kata wanita itu seolah menghantamnya.
“Saya akan tetap membiarkan kamu kerja di rumah ini. Tapi saya tidak akan pernah lupa, bahwa saya pernah menginginkan kamu.”
Pria itu lalu berdiri berjalan keluar kamar, meninggalkan Stella yang kini duduk sendirian dengan napas yang tidak menentu dihatinya yang baru saja marathon hebat. Bisa-bisanya dia menolak tawaran Francis.
___________
Hari-hari berikutnya berjalan seperti biasa, Stella masih melaksanakan tugasnya dengan disiplin. Membersihkan kamar Francis, merapikan ruang kerja, menata kembali barang-barang pria itu yang menurutnya tidak pernah berantakkan tapi selalu punya celah untuk diperbaiki. Namun, ada sesuatu yang berubah semenjak dia bekerja di sini, dia selalu terngiang-ngiang dengan ucapan Francis. Kata-kata itu terus menghantuinya.
Tawaran pria itu, cara dia memandangnya, kalimat terakhir sebelum meninggalkan kamarnya tempo hari, semuanya menyisakan tanda tanya di hati Stella yang selama ini dia kira sudah kebal oleh logika.
Pagi ini, seperti biasa Stella masuk ke dalam kamar Francis. Langit masih berwarna jingga pucat dan udara pagi mengalir pelan dari celah jendela. Dia menarik horden perlahan, membiarkan cahaya masuk ke dalam ruangan.
Francis keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah, handuk melingkar di sisi pinggangnya. Tatapan mereka bertemu, Francis tidak bisa berkata apa-apa. Dia lalu melangkah menuju walk in closet.
Beberapa detik kemudian, suara berat Francis terdengar,
“Stella, ke sini sebentar,” ucap Francis.
Stella meletakan lap yang dia pegang ke meja, lalu berjalan masuk ke ruang ganti Francis. Dia menatap Francis berdiri di depan rak kemeja, jas dan dasi dengan palet warna maskulin. Mereka saling menatap satu sama lain.
“Tolong pilihkan baju kerja untuk saya.”
Stella menelan ludah, dia sebenarnya agak bingung dengan perintah Francis. Dia dia tetap melangkah masuk ke dalam, dan mulai menyisir rak pakaian dengan matanya. Tangannya bergerak hati-hati, mengambil satu kemeja biru gelap dengan bahan yang halus dan sepasang celana abu-abu tua yang berpotongan slim fit. Dia juga bergerak mengambil jam tangan kulit dari koleksi pria itu.
Francis hanya memperhatikan gerakkan tangan Stella tanpa rasa terganggu. Setelah selesai Stella menyodorkan kepadanya.
“Ini?” ucap Francis ragu.
“Iya, coba saja.”
Francis mengambilnya, lalu tersenyum tipis. Dia lalu mengenakan pakaian itu di hadapan Stella. Stella berbalik badan ketika pria itu mengenakan pakaian di hadapannya.
“Kamu tahu tentang fashion?”
Setelah itu Stella berbalik arah memandang Francis,
“Ibu saya dulu bekerja sebagai stylis di salah satu majalah mode. Waktu kecil saya sering lihat ibu saya memadupadankan baju untuk pemotretan. Dari situ, ilmunya menular sedikit kepada saya.”
Francis menatap Stella lebih lama dari biasanya. Bukan karena pilihan pakaian yang dia berikan, tapi karena dia baru tahu bagian dari masa lalu Stella yang tidak pernah dia duga.
“Ibu kamu masih ada?”
“Kedua orang tua saya sudah tidak ada sejak tiga tahun lalu.”
“Maaf, saya tidak tahu,” ucap Francis mengancingi kemejanya.
“Tidak apa-apa.”
“Kamu sering ingat ibu kamu?”
Pertanyaan itu membuat Stella terdiam sejenak. Dia lalu mengangguk.
“Setiap hari.”
Francis tidak berkata apa-apa lagi. Dalam keheningan ini keduanya menyadari satu hal, mereka mulai mengenal lebih dari sekedar nama dan masa lalu.
Francis sudah berpakaian rapi, Stella berdiri tidak jauh darinya, menunggunya jika ada yang perlu dibantu. Dia mengambil jam tangan kulit pilihan Stella.
“Mulai besok kamu siapkan baju kerja untuk saya.”
Stella mengangguk, “Baik,” jawab Stella.
Francis menyodorkan jam tangan kulit pilihan wanita itu, “Pasangkan,” ucapnya.
Stella maju beberapa langkah mendekati Francis, tangan Stella bergerak ragu saat mengambil jam tangan itu. Untuk pertama kalinya dia berdiri sangat dekat dengan pria itu. Detak jantungnya mulai tidak beraturan. Dia bisa menciuim aroma prafum Francis dari dekat, maskulin, dingin tapi meninggalkan sensasi hangat yang menggoda.
Dengan perlahan dia memasangkan jam itu di pergelangan tangan Francis. Untuk pertama kalinya kulit mereka bersentuhan. Saat Stella menarik tangannya perlahan, Francis tidka bergerak. Dia justru memperhatikan Stella. Dia mengangkat dagu Stella dengan dua jarinya. Otomatis Stella mendongakkan wajahnya, wajah mereka kini hanya berjarak beberapa senti.
“Mulai besok, saya ingin kamu mengurus semua kebutuhan saya di pagi hari,” bisik Francis pelan.
“Termasuk hal-hal kecil yang tidak biasa dilakukan pembantu lain.”
Napas Stella tertahan.
“Kenapa?”
Francis menatap mata bening itu, tatapan tajam dan dalam.
“Saya ingin kita tidak ada jarak.”
“Dan satu lagi, saya masih tidak ingin kamu menolak tawaran saya.”
Stella merasa seperti tidak bernapas, suara berat itu, kedekatan mereka saat ini, dan napasnya seolah bisa membius pikirannya. Francis menurunkan tangannya, tapi dia tidak mundur.
“Pikirkan lagi tawaran saya, Stella,” ucapnya, kali ini lebih tenang dan dalam.
“Saya yakin kamu mempertimbangan ucapan saya. Tapi jangan terlalu lama, pintu saya hanya terbuka sebentar.”
Stella merasakan jemari Francis menyentuh bibirnya secara perlahan. Lalu pria itu meninggalkannya begitu saja. Stella yang berdiri sendiri antara napasnya yang tidak teratur dan pikirannya mulai kacau. Dan pagi ini, untuk pertama kalinya, dia tidak yakin apakah dia masih bisa kuat menghadapi Francis.
__________
