BAB 3
BAB 3
HAPPY READING
_____________
Stella bersyukur Francis pergi dari hadapannya. Dia menarik napas pelan, karena ruang ini kini menjadi tanggung jawabnya sepenuhnya. Kamarnya bisa dua kali luas rumah masa kecilnya. Dindingnya di cat abu-abu muda, langit-langit yang tinggi dengan lampu gantung elegan yang menyebar cahaya keemasan. Tempat tidur king size itu berdiri kokoh di tengah ruangan, dengan headboard tinggi berlapis kulit. Rapinya terlalu rapi, seolah tidak pernah disentuh.
Stella menurunkan pandangannya ke seprai berwarna cream lembut yang tampak bersih, tetapi tetap harus diganti. Katanya, linen tempat tidur diganti tigahari sekali, dan Stella tahu kalau seprai baru ada di ruang laundry, sudah terlipat rapi di dalam lemari penyimpanan bersih. Karena yang bertugas mencuci ada beberapa orang. Kalau dikatakan rumah ini seperti hotel, beberapa staff memiliki tugas masing-masing sesuai sectionnya. Bertugas membersihkan ruangan kamar, halaman, laundry, mobil, dan dapur. Itu yang harus diketahu kalau bekerja di rumah konglomerat.
Saat dia menarik selimut tebal dan mulai melipatnya, pikirannya mulai bermain. Berapa banyak wanita yang sudah tidur di sini? Stella mendesah pelan mengusir pikirannya. Dia menarik tirai tebal, membiarkan sinar mataha masuk dan menyapu lantai marmer yang mengilap. Ruangan itu mendadak lebih hangat. Dia lalu beralih ke sofa, merapikan bantal-bantal kecil menata sudut yang tergeser. Setelah itu dia mengambil vacuum cleaner kecil dan membersihkan karpet.
Langkah terakhir, kamar mandi.
Kamar mandi ini lebih luas dari ruang tamu rumahnya. Ada bathtub putih mengkilap di tengah ruangan, dengan dinding kaca di sisi shower. Lantai dingin menyambut telapak kakinya saat dia melangkah masuk. Membersihkan bathtub memerlukan tenaga. Stella mengangkat bagian bawah dressnya agar tidak basah. Lututnya sedikit menekuk, punggunngnya membungkuk saat menggosok bagian dalam bathtub dengan serius. Uap sabun mulai mengisi udara.
Yang Stella tidak tahu, di balik pintu yang sedikit terbuka, Francis berdiri di sana. Membisu, diam dan memperhatikannya.
Matanya jatuh ke sosok Stella yang sedang bekerja. Dress abu-abu gelap itu menempel pada tubuhnya yang lentur. Saat wanita itu mengangkat ujung roknya agat tidak menyentuh lantai, terlihat kaki jenjang dan mulus yang sekilas tidak sesuai dengan profesinya.
Francis memejamkan mata sebentar. Apa yang telah dia lakukan? Kenapa dia memperhatikan kulit mulus itu? Dia tahu kalau tindakkanya ini tidak pantas, tapi ada sesuatu dari Stella yang sulit dia jelaskan. Bukan hanya penampilannya, tapi sikapnya.
Francis menarik napas dalam, lalu membalikkan badan. Dia kembali ke ruang kerjanya, meninggalkan bayangan di ambang pintu. Untuk pertama kalinya, dia bergairah hanya melihat paha seorang wanita. Dia ingin sekali menyentuh kulit itu. Bagaimana rasanya? Ada aroma sabun yang lembut, ada sinar matahai yang hangat. Dan ada seseorang yang membuatnya terlalu sadar akan kehadiran lain di ruangannya.
___________
Hari-hari berlalu, Stella mulai terbiasa bekerja dengan ritme kehidupan di rumah Caspian. Dia bangun pukul lima pagi, mandi menggunakan pakaian, membantu di dapur kecil milik staff, lalu sarapan bersama para pekerja lainnya dan obrolan santai seputar pekerjaan.
Di sini tidak ada yang mencurigakan atau mencibir keberadaanya. Semua staff di rumah ini ramah dan bersahabat. Mereka menyambut Stella layaknya keluarga baru, tidak peduli dari mana dia berasal atau bagaimana masa lalunya.
Namun Stella tidak bisa lupakan, tugas utamanya adalah merawat semua milik Francis Caspian. Dan itu bukanlah pekerjaan yang ringan. Ruangannya luas dan harus rapi, tapi ada aura tidak terjamah yang selalu merasa canggung. Seolah ruangan itu tidak benar-benar kosong, meski kadang tidak ada siapa-siapa.
Hari ini, pukul Sembilan pagi, Stella kembali ke kamar Francis untuk mengganti handuk kamar mandi dan merapikan tempat tidur. Dia sudah hafal gerakan tangannya, tahu di mana sudut ruangan yang selalu harus dia sapur bersih. Namun langkahnya terhenti saat melihat Francis duduk di sofa dekat jendela besar. Dia mengenakan kemeja linen abu-abu dan celana santai. Wajahnya menatap leptop di pangkuannya, namun setelahnya pandangannya berpindah ke arahnya.
Mereka saling menatap satu sama lain, Stella menunduk sebentar dan lalu masuk ke dalam kamar mandi ingin menaruh handuk.
“Apa kamu selalu diam seperti itu saat bekerja?”
Stella berhenti di dekat tempat tidur, menatap Francis sekilas.
“Saya hanya tidak ingin menganggu, anda tuan.”
Francis menutup leptopnya lalu berdiri, “Tapi kadang, diam itu menganggu juga.”
Stella tidak menjawab, dia menarik selimut dari tempat tidur dan mulai merapikan bagian bawah Kasur.
“Kamu sudah berapa lama kerja di sini?” Tanyanya lagi, dia memperhatikan Stella beberapa Minggu ini wanita itu memang mengusik pikirannya.
“Dua Minggu, tuan.”
“Dan dalam dua Minggu itu, kamu belum sama sekali bertanya, kenapaq saya menugaskan kamu di ruangan ini?”
Stella menoleh menatap Francis, dia menarik napas, “Itu bukan hak saya untuk bertanya.”
Francis tersenyum miring, dia berdiri melangkah ke arah Stella yang masih berdiri dengan tangan menggenggam seprai.
“Kamu penasaran kan?”
Stella mengangkat dagunya sedikit, dan mencoba bertahan. Jantungnya berdesir memandang Francis.
“Saya hanya bekerja di sini. Bukan siapa-siapa.”
Francis menatapnya dalam, seolah sedang menelanjangi pikirannya. Francis memperhatikan Stella, kali ini rambutnya tidak tergulung menggunakan hairnet, tapi diikat seperti cepol kuda. Hingga contur wajahnya terlihat jelas. Dia masih ingat bagaimana melihat kaki jenjang wanita itu. Dia memandang bibir itu, bibirnya sensual, lehernya jenjang.
“Kamu ganti seprai?”
“Iya.”
“Oke, saya akan ke bawah sebentar. Kamu jangan sentuh laci kanan itu.”
“Baik tuan.”
“Jangan keluar sebelum saya pulang.”
“Baik.”
Tapi sebelum Francis keluar dari ruangan, dia menoleh menatap Stella.
“Kamu takut pada saya?” Tanya Francis.
“Tidak tuan.”
“Kamu tenang saja, saya tidak akan mengigitmu. Kecuali kamu sendiri yang memintanya.”
Pintu lalu tertutup, tapi napas Stella tercekat. Apa yang Francis ucapkan? Yang benar saja dia berka Untuk pertama kalinya bekerja di rumah ini, dia merasa tidak ada yang beres dengan Francis. Dia hanya takut pria itu jauh lebih berbahaya dari yang dia pikirkan.
________
Stella baru saja merapikan lipatan terakhir pada selimut tebal ranjang king size milik Francis saat mendengar pintu kamar dikunci dari dalam. Dia mendengar kata-kata Francis penuh perintah, “Jangan keluar dulu. Tunggu saya kembali.”
Tidak ada penjelasan. Tidak ada alasan. Dan seperti biasa, Stella tidak berani bertanya.
Dia mengalihkan rasa gelisahnya dengan menyibukkan diri. Kakinya melangkah menuju walk in closet. Dia melangkah menuju tempat penyimpanan dasi-dasi yang sebelumnya sudah tersusun warna, menata ulang sepatu-sepatu kulit mahal yang berkilat seperti baru dibeli kemarin.
Tangannya berhenti ketika pandangannya tertarik pada estalase kaca di sudut ruangan. Dia melangkah mendekat, menatap tidak percaya pada barisan jam tangan mewah, kaca mata hitam bermerek, dan puluhan kunci mobil dari merek ternama dunia. Lamborghini, Ferrari, McLaren, bahkan Bugatti. Satu sudut kecil, tapi memamerkan kekayaan yang tidak akan dia temukan di dunia yang dulu dia kenal. Dia memilih mengelus kaca dingin etalse itu, dunia ini terlalu jauh dari dia berasal.
Tepat saat dia hendak memalingkan wajah, pintu kamar terbuka. Francis dengan langkah tenang menatap Stella. Mereka saling menatap satu sama lain.
“Kamu melihat koleksi saya?”
Nada suara itu terdengar datar, tidak menuduh, tapi cukup membuat Stella gugup.
“Iya, saya hanya melihat.”
Francis menghampiri wanita itu. Kemeja putih yang dia kenakan tampak sedikit terbuka di bagian dada. Napasnya stabil, sikapnya tenang, tapi aura dominan pria itu sangat nyata.
“Semua orang melihat, tapi hanya segelintir tahu harganya,” ucap Francis.
Stella hanya menunduk, tidak berani menatap Francis yang berada di sampingnya.
“Maaf, kalau saya lancang.”
“Tidak,” gumam Francis.
“Saya justru ingin tahu, apa yang kamu lihat ketika menatap semua itu.”
Stella menatap Francis, jarak mereka berdampingan. Mereka lalu terdiam beberapa detik.
“Kekayaan,” jawab Stella pada akhirnya. “Hal yang bisa membeli apa saja, termasuk manusia.”
Francis tersenyum tipis melihat Stella, “Termasuk kamu?”
Hening. Stella hanya diam memandang Francis.
“Setiap orang punya harga. Saya hanya belum tahu berapa harga kamu.”
Stella menatap Francis, tidak tahan menahan campuran emosinya.
“Jadi saya di minta untuk menunggu di sini. Hanya kamu ingin bertanya berapa harga saya?” Tanya Stella.
“Tidak. Tapi alasan lain.”
“Apa?” Tanya Stella.
Francis mengambil jam tangan di estalase kaca, dia mengambil salah satunya, “Saya ingin memberimu tawaran.”
Stella terdiam, dia memandang Francis.
“Saya ingin kamu. Saya akan membayar kamu, dan bayarannya sepadan.”
Stella melangkah mundur seketika, dia paham apa yang dikatakan Francis. Pria itu ingin membayar tubuhnya dengan uang. Pria itu menatapnya penuh.
Tiba-tiba Francis melangkah menyentuh panel kecil di dinding wardrobe, dan klik, sebuah berangkas tersembunyi terbuka secara otomatis. Stella bergeming menatap Francis masuk ke dalam. Napasnya tertahan. Tidak menyangka bahwa ada sesuatu tersembunyi di balik lemari mewah itu. Francis memasukan angka pin, lalu membuka pintu besi, dia masuk ke dalam ruangan rahasia kecil. Beberapa detik kemudian, dia keluar membawa bundle uang tunai yang masih tersegel rapi. Uang ratusan juga rupiah, setidaknya bisa dia taksir dalam satu lirikan.
“Apa segini cukup untuk kamu?” Tanya Francis, suara tenang, tapi menusuk.
Stella membeku di tempatnya, matanya menatap bundelan uang di tangan Francis, lalu berpindah ke wajah pria itu. Dia masih terlihat dingin, tampan dan tidak terbaca maksudnya. Jantungnya berdegup kencang, bukan karena takut. Tapi campuran emosi yang tidak bisa dijelaskan. Kagum, syok dan tergoda.
Francis melangkah mendekat, hanya tinggal satu langkah dari posisinya berdiri. Dia memang tidak memaksa. Tapi tetap mendominasi seluruh ruangan.
“Kalau kamu mau …” ucapnya menggantungkan kalimatnya.
Stella menarik napas, tangannya mengepal, tubuhnya kaku. Tapi otaknya terpacu. Uang sebanyak itu bisa membuat rumah warisannya di renovasi. Dan uang itu belum tentu dia dapatkan bekerja setahun di sini. Ini bisa jadi jalan keluar segala rasa sepi yang dia sembunyikan selama ini.
“Saya tidak menjual diri, tuan,” ucap Stella tenang.
Francis tersenyum tipis.
“Saya tidak bilang kamu menjual diri. Saya hanya membayar, waktumu, kesediaan kamu, selama kamu masih di rumah ini.”
“Itu sama saja,” gumam Stella.
Stella menelan ludah, masih tidak percaya, dunia pria itu begitu mudah membeli semuanya dengan uang.
Francis kembali melangkah ke arah lemari, menyimpan kembali uang itu dengan tenang. Tidak tergesa, seolah dia tahu wanita itu butuh waktu. Tapi dia sudah melempar umpannya.
Francis kembali menatap Stella, “Pikirkan saja. Tapi jangan lama-alam. Dunia tidak menunggu orang yang ragu.”
Francis lalu meninggalkan Stella yang masih berdiri di sana. Di tengah kamar yang megah kini terasa terlalu sempit, terlalu sunyi. Dan terlalu penuh pilihan yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya.
______________
