BAB 2
Bab 2
Happy Reading
______________
Sementara di sisi lain, langkah Francis menuruni tangga, dia terhenti sejenak melihat sosok wanita melintas di lorong bawah. Rambutnya hitam panjang sepinggang, langkah cepat, kepala sedikit menunduk, tapi dia melihat sorot mata wanita itu. Meskipun hanya sekilas, dia membawa kembali ingatan beberapa tahun lalu. Dia berhenti lalu mengerutkan dahi. “Stella?”
Tidak.
Tidak mungkin.
Kenapa wanita itu ada di sini?
Francis melanjutkan langkahnya, pura-pura tidak terganggu. Tapi pikirannya terus bergerak. Jika benar itu Stella – mantan pengasuh di rumah Sharon, maka dia harus memastikan apa yang dia lihat hari ini. Tanpa menunggu lama, Francis langsung menuju ruang kerja tempat ayahnya biasa duduk dan membaca dan menerima tamu.
“Pi …” panggil Francis sambil mengetuk ringan pintu yang terbuka.
Pak Caspian menoleh di balik kacamatanya, “Iya, Fran, ada apa?”
Francis masuk ke dalam, memandang ayahnya, “Ada staff baru di rumah ini?” Tanya-nya dengan nada datar.
Pak Caspian mengangguk ringan, “Oh ya. Ada satu. Namanya Stella.”
Francis mengangkat alisnya pelan. “Stella?”
“Dia mantan kerja di rumah Sharon. Sharon merekomendasikan langsung ke papi kemarin. Katanya Stella rajin, jujur, dan dia kerja cukup lama di rumah Sharon. Kebetulan kata bu Ani ada salah satu pembantu kita yang sudah keluar Minggu lalu pulang kampong karena ingin menikah. Jadi ayah pikir, kenapa tidak terima tawaran Sharon.”
Francis diam beberapa detik. Pikirannya menguat, dan memang benar apa yang dia lihat. Wanita itu adalah Stella mantan pengasuh anak Sharon.
Pak Caspian memandang Francis, “Kenapa? Kamu kenal dia?” Tanyanya lagi.
Francis tidak menunjukkan perubahan ekspresi. Dia hanya mengangkat bahu ringan, “Nggak. Fran, tadi hanya melihat ada orang baru saja di rumah. Berpapasan maksudnya.”
Pak Caspian mengangguk dan kembali ke bukunya.
Francis pun berbalik, keluar dari ruangan dengan langkah pelan. Namun saat berjalan di lorong menuju ruang atas, pikirannya kembali menampilkan wajah Stella, dengan tatapan tenang, bibir yang sensual dan ekspresi tenang.
Francis duduk di ruang kerjanya, jari-jarinya mengetuk permukaan meja kayu jati yang mengilap karena sinar sore menyelusup di balik jendela tinggi, tapi pikirannya tidak berada di ruang itu. Dia masih membayangkan wajah Stella.
Dia menatap kosong layar ponselnya, lalu membuka galeri kontak yang jarang dia sentuh. Jempolnya bergerak, mencari nama yang sudah lama dia tidak pikirkan.
Stella Allura.
Masih ada.
Enam tahun lalu dia menyimpan nama itu di kontak ponselnya. Bukan karena dia ingin, karena dulu dia perlu bukti, jejak, jika suatu saat wanita itu terbukti menjadi penyebab rusaknya hubungan Sharon dan Marcel. Dia pernah mencurigainya, sangat mencurigakan.
Dia pikir dulu Stella direkrut oleh Marcel, ternyata Sharon lah yang merekrutnya, karena katanya dulu dia adik dari mantan asisten pribadi-nya. Dan saat itu dia mencari bukti, kalau Stella mempunyai riwayat pernah menjadi simpanan dokter spesialis di rumah sakit tempatnya bekerja. Apalagi Marcel seorang dokter spesialis, semuanya seperti potongan puzzle.
Yang, dia pikir itu dia, akan melakukan hal yang sama lagi terhadap Marcel.
Wanita cantic, muda, tinggal di rumah orang kaya, dan punya masa lalu yang tidak bersih. Tapi apa yang dia duga tidak semua terbukti. Buktinya rumah tangga Sharon dan Marcel berjalan dengan baik selama enam tahun.
Stella bekerja enam tahun di rumah Sharon. Dia sayang sama anak-anak Sharon, di percaya penuh oleh Sharon mengurus anaknya. Lebih dari segelanya, tidak pernah sekalipun menunjukkan tanda-tanda sebagai perusak rumah tangga orang lain.
Francis mulai meragukan dirinya sejak saat itu, mungkin dia salah menilai. Mungkin juga dia terlalu cepat menghakimi wanita itu hanya karena dia sangat cantik yang tidak sesuai dengan profesinya. Dan kini, dia kembali melihatnya di rumah ini.
Dan tetap, terlalu cantik untuk berada diposisi itu.
Francis menghembuskan napas panjang. Entah apa yang menganggu pikirannya. Kecantikan Stella masih dalam ingatannya. Dia masih berdiri tegak, tetap tenang, seolah masa lalu yang kelam tidak pernah menyentuhnya.
“Kenapa dia mau bekerja posisi rendahan seperti ini?” batinnya, padahal dia lulusan perawat, dia bisa saja menjadi seorang model busana, atau paling tidak mengandalkan kecantikkanya menjadi simpanan pejabat atau pengusaha di luar sana.
Francis yakin kalau Stella tidak sepolos itu, dadanya terasa tidak nyaman, setiap kali mengingat wanita itu. Apa yang dia cari sebenarnya di rumah ini?
_________
Malam itu bu Ani turun pelan dari tangga. Lampu-lampu gantung berkilau lembut di lorong, menerangi kesunyian yang hampir menyerupai kehampaan. Di lantai dua, pintu ruang kerja Francis terbuka sedikit. Ketukan pelan terdengar.
“Masuk,” ucap Francis terdengar berat namun tenang.
Bu Ani melangkah masuk ke dalam, dia membungkuk kecil sebagai bentuk hormat. Dia duduk di meja kerjanya, mengenakan kemeja gelap dengan lengan tergulung. Memperlihatkan urat-urat tegang di lengan bawahnya. Matanya tajam menatap layar leptop, sebelum akhirnya menutupnya secara perlahan.
“Tuan Francis panggil saya?” Tanyanya.
Francis menyandarkan tubuhnya di kursi, dia mengangguk dan menatap wanita setengah baya itu.
“Iya, silahkan duduk,” ucap Francis.
“Terima kasih pak.”
Bu Ani duduk di hadapan Francis. Francis menarik napas beberapa detik, “Saya ingin ruang pribadi saya dikerjakan satu orang saja mulai besok.”
“Ruang pribadi, maksud tuan …”
“Kamar, kamar mandi, ruang kerja saya dan seluruhn wadrobe-saya. Termasuk pakaian, saya ingin satu tangan yang mengurus semua.”
Bu Ani mengangguk, mencatat dalam ingatannya, “Baik tuan.”
“Saya dengar ada staff baru.”
“Ada tuan, namanya Stella.”
“Okay, suruh dia saja yang bertugas.”
“Tapi dia masih baru tuan.”
“Justru dia masih baru, saya ingin lihat kinerja dia bekerja.”
“Baik tuan.”
“Pastikan hanya satu orang, dia. Paham?”
“Paham tuan.”
Suara Francis tidak meninggi, tidak juga menekan. Tidak butuh alasan. Tidak ada ruang bertanya kenapa. Bu Ani menunduk hormat,
“Baik tuan, mulai besok Stella yang bertanggung jawab penuh.”
Francis mengangguk pelan, tangannya mengambil gelas whiskey di samping laptopnya, menyesap sedikit lalu kembali menatap ke arah jendela. Entah apa yang dipikirannya hingga membuatnya seperti ini.
“Dan tolong, pastikan tidak ada yang menggantikan dia. Saya tidak suka ruangan saya dimasuki banyak orang.”
Ada jeda hening. Bu Ani mengangguk sekali lagi lalu pamit. Saat pintu ditutup perlahan, Francis menghela napas. Matanya menatap kosong ke arah luar jendela, dia lalu tersenyum penuh arti.
_____________
Keesokan paginya,
Stella baru saja menyelesaikan tugas menyapu di ruang tamu, aroma kopi dan roti panggang tercium dari dapur, bertanya aktivitas mulai berjalan. Ketika itu bu Ani memanggilnya ke ruang dapur. Stella menghampiri beliau.
“Stella sini sebentar,” ucapnya.
Stella mendekat, “Ada apa bu?” Tanyanya.
Bu Ani menatapnya, “Kamu jangan nyapu di ruang tamu ya.”
“Ah ya, baik bu.”
“Itu semua tugas Siska, kamu jangan kerjakan, kalau kerjaan kamu sudah beres baru boleh bantu yang lain.”
“Baik bu. Jadi saya ngerjain apa ya bu.”
“Mulai pagi ini, kamu akan bertanggung jawab penuh atas ruangan milik tuan Francis.”
Stella lalu terdiam, “Maksudnya?”
“Mulai dari area kamar, kamar mandi, ruang kerja, hingga merawat semua pakaiannya, itu akan menjadi tanggung jawab kamu.”
Hening sejenak, napas Stella tertahan di dada. Dia tidak langsung menjawab, otaknya justru memproses kalimat itu secara perlahan.
“Saya.”
“Iya, kamu.”
“Di ruangan pak Francis. Beliau hanya mau satu orang yang mengurus semua. Dan itu akan menjadi tugas dan tanggung jawab kamu.”
Stella menunduk sejenak, dia mengepalkan tangannya. Dia yakin kalau Francis mulai tahu keberadaanya di sini. Dan dia mulai di bawah perintahnya. Membersihkan area pribadi ini bukanlah hal biasa. Ini permintaan personal menurutnya.
“Kamu keberatan? Kalau keberatan saya bisa bicara cari solusi kepada beliau. Soalnya kamu anak baru juga kan, nggak enak langsung dikasih tugas berat seperti itu.”
Stella menggelengkan. Matanya menatap lurus. Dia tidak punya pilihan, dan hidup tetap terus berjalan.
“Tidak apa-apa bu, saya bisa kok,” jawabnya, meski dalam hatinya gemuruh tidak tenang.
Bu Ani mengangguk pelan, “Baik. Kamu mulai setelah sarapan. Dan satu lagi. Tuan Francis tidak suka barangnya dipindah-pindah tanpa izin. Jaga sikap dan jangan terlalu banyak tanya.”
Stella mengangguk.
Dalam diam, dia menarik napas panjang. Apa yang Francis inginkan darinya? Permainan apa yang sedang dia mulai? Dan tanpa dia sadari, hari ini menjadi awal baru menghadapi Francis. Ini merupakan dua dunia bertabrakan antara kuasa dan perintah.
_____________
Jarum jam di dinding sudah menunjukkan angka tujuh tepat. Stella berdiri di depan pintu kamar besar di ujung koridor dua lantai. Tangan kirinya mengenggam lap kering, sementara tangan kanannya masih ragu memutar kenop pintu. Napasnya terasa sedikit berat. Bukan karena lelah, tapi karena tekanan yang tidak bisa dijelaskan.
Tadi saat sarapan di dapur bersama staff lain, salah satu dari mereka sempat membisikkan sesuatu kepadanya.
“Tuan Francis bangun pukul enam, saat itu dia olahraga pagi, lalu mandi jam tujuh. Sarapan jam delapan dan berangkat kerja jam Sembilan. Semua waktunya teratur. Kalau kamu mulai kerja di kamarnya, pastikan kamu nggak bikin suara.”
Stella hanya mengangguk waktu itu. Tapi sekarang, saat ini dia benar-benar berdiri di depan pintu, peringatan menggema di kepalanya seperti mantra. Jangan bertanya, jangan memindahkan barang, jangan ganggu privasinya.
Perintah itu jelas, tapi yang menekan lebih adalah rasa, diam-diam dia seperti diawasi.
Perlahan, Stella membuka pintu yang tidak terkunci itu. Cahaya matahari menyelinap dari sela gorden tebal yang belum sepenuhnya ditarik. Ruangan kamar ini luas, nyaris dingin. Perabotan modern dengan sentuhan klasik. Semua tampak mahal, steril, kaku dan misterius.
Napak kaki Stella berjalan ke arah kamar mandi terlebih dahulu, memastikan tidak ada tanda-tanpa kehadiran pria itu. Suara air sudah berhenti, mungkin benar, pria itu sudah selesai dari ruang olahraga. Stella tanpa sengaja menatap penampilannya di cermin, dia mengenakan seragam kerjanya berwarna hitam abu-abu. Rambut panjangnya dia gulung menggunakan hairnet.
Dengan gerakan cepat dan terlatih selama enam tahun bekerja di rumah Sharon. Dia mulai membersihkan permukaan meja kerja, dia tidak berani menyentuh barang-barang kecil. Semua tetap pada tempatnya. Hanya debu yang dia bersihkan, itupun debu tidak terlihat. Karena mungkin dibersihkan setiap hari oleh staff.
Kemudian, perlahan dia membuka pintu lemari pakaian. Setumpuk jas tergantung rapi. Warna-warna netral, hitam, abu-abu, navy. Semua seperti pemiliknya, tegas, dingin dan tanpa kompromi. Stella menunduk, mengatur sepatu-sepatu mahal dengan jarak persisi.
Namun ketika hendak menutup pintu lemari itu kembali, suara pelan terdengar dari balik pintu.
“Kamu cepat juga bekerja pagi ini.”
Suara itu terdengar dalam, dan berat. Begitu familiar di telinganya dan membuat tubuh Stella reflek menegang. Stella membalikkan badan, dia memandang Francis Caspian berdiri tidak jauh darinya. Rambutnya sedikit basah, dia mengenakan handuk melingkar di sisi pinggangnya. Dia menelan ludah memandang tubuh bidang pria itu. Tubuhnya sempurna, ototnya terlihat, sepertinya sengaja memamerkan tubuh itu di hadapannya. Tatapannya menusuk, seperti sedang menilainya.
“Kamu sudah mulai membersihkan ruangan pribadi saya, tanpa izin?”
Nada suara itu terdengar datar, tapi tekanan itu jelas terasa. Stella menelan ludah pelan, dia memberanikan diri menatap mata tajam itu.
“Saya hanya menjalankan tugas. Bu Ani bilang saya ditugaskan membersihkan ruangan anda mulai hari ini.”
Francis melangkah masuk ke dalam walk in closetnya. Kakinya menyentuh lantai seperti hembusan angina dingin yang tidak terdengar, tapi sangat terasa.
“Saya lumayan terkejut, kamu bekerja di rumah saya,” gumam Francis, dia mengambi handuk kecil di lemari dan mengeringkan tubuhnya sambil memperhatikan Stella yang berdiri mematung di sana. Walau dengan makeup tipis, wajah cantik itu tetap terlihat.
Stella memilih diam, dia tidak menjawab ucapan pria itu. Stella menahan degup jantungnya yang mulai tidak stabil.
“Kenapa kamu berhenti kerja dari rumah Sharon.”
Stella menarik napas, “Karena kontrak saya sudah berakhir. Kedua anak Sharon sudah besar, keduanya sekolah fulltime. Jadi tidak memerlukan pengasuh lagi, mereka punya supir pribadi dan pembantu yang bisa mengurus pekerjaan rumah.”
“Saya bekerja di sini, karena rekomendasi dari Sharon. Jadi saya mengiyakan permintaanya,” jelas Stella.
Francis memandang Stella lagi, dia memperhatikan wajah itu. Dia memiliki kulit putih pucat, rambut hitam tergulung, dan seragam staff itu dia kenakan.
“Kamu masih ingat, terakhir kita bicara?” Ucap Francis seketia, dia mengambil pakaian dalamnya, lalu menarik handuknya. Stella dengan cepat menoleh ke samping tanpa melihat apa yang dilakukan Francis.
Stella menarik napas, berusaha tenang, dia tidak ingin terpancing emosi,
“Tugas saya hari ini bukan mengingat masa lalu, tuan Francis. Tapi saya memastikan ruangan anda bersih dan rapi.”
Mata Francis menyipit sedikit, bibirnya terangkat tipis. Dia mengambil kemeja dan celana. Dia mengenakan pakaiannya. Setelah berpakaian, Francis memandang Stella yang masih di posisi yang sama.
“Okay, kerjakan seluruh ruangan saya. Semoga kamu betah bekerja di sini,” ucap Francis, lalu keluar dari ruangan melewati Stella.
Stella bernapas lega, dia mulai membersihkan bagian yang lain.
_________
