Bab. 7 Lamaran
"Aku seperti Naruto. Menyukai Sakura bertahun-tahun, endingnya, nikah sama Hinata."
- Yandi -
Pagi yang indah, tidak mendung atau pun panas. Alam semesta seperti sedang bersahabat, menyambut janji baru yang akan segera diikat oleh dua insan manusia yang memutuskan untuk saling mengingat diri dalam komitmen sakral bernama pernikahan. Meski hari ini, mereka baru saja melangsungkan lamaran pernikahan, belum akad.
Yandi sudah selesai bersiap, dengan setelan jas, rambut tersisir rapi dan sepatu hitam menutupi kaki. Beberapa kali dipandang pun, lelaki itu tidak bisa menutupi kegugupan, tergambar jelas di wajahnya. Ajeng, adiknya, datang, memberikan segelas air. Lelaki dengan tinggi 170 cm tersebut segera meraih air dari Ajeng lantas meminumnya dua-tiga teguk.
"Segugup itu emang, Kak Yan?" Ajeng bertanya, bingung. Karena tadi malam Yandi sama sekali tidak terlihat gugup atau grogi. Akan tetapi, pagi ini kakaknya itu terlihat sangat gugup. Tangan dan kaki Yandi terasa dingin. Bahkan, sempat gemetaran.
Yandi tidak menjawab, sibuk mengatur detak jantungnya yang berdetak tidak karuan. Rasa gugup menguasai sejak pagi tadi, teringat kalau lamaran ini bukan main-main. Dia benar-benar akan menikahi Ghea sebulan setelah proses lamaran hari ini usai. Meskipun setuju dengan permintaan nikah dadakan Ghea, dia tidak menyangka seorang Ghea akan membuatnya kalang-kabut begini.
"Yan, sudah siap belum? Buruan, tetangga udah pada datang!" Bari setengah berteriak, memasuki kamar dan menepuk pundak anak lelaki satu-satunya. "Mau lamaran juga anak mama. Nggak nyangka, kamu udah gede ternyata. Haha." Tawa Bari terdengar renyah. Wanita itu memang sudah lama ingin Yandi menikah, meskipun tidak pernah menyuarakan isi hati agar tidak membuat anak lelakinya stress ataupun depresi.
Yandi tidak memerdulikan ocehan ibunya, sibuk mempersiapkan diri agar suaranya tidak terdengar gemetar saat acara inti berlangsung. Setelah siap, Yandi dan Bari segera menuju ke tempat acara, tepat di rumah Ghea, tetangga sebelah rumah.
Tenda telah terpasang sejak semalam. Jejeran kursi untuk para undangan maupun tuan rumah sudah tertata rapi, berikut dengan dekorasi sederhana yang dibuat mendadak. Beruntung, Kang Sugeng, paman Yandi, menyanggupi saat diminta mempersiapkan dekorasi untuk proses lamaran mendadak keponakannya. Budget-nya harga wajar, bukan nawar. Walaupun keluarga, tidak ada diskon-diskonan. Bisnis adalah bisnis.
Para undangan dan keluarga sudah berada di tempat. Bu Ama, selaku MC juga sudah memulai acara. Serangkaian acara dilakukan, mulai dari pembukaan, sambutan dari pihak keluarga sampai pembacaan doa. Sampailah kemudian pada acara inti. Ghea, sang calon tunangan, pada akhirnya menampakkan diri. Perempuan berusia dua puluh sembilan tahun 8 bulan, muncul dengan anggun.
Ghea datang, ditemani Fara, ibundanya tercinta. Senyuman tipis di wajahnya saat bersitatap dengan Yandi nyaris membuat jantung lelaki itu seperti berhenti berdetak. Selain karena penampilan Ghea yang 100% berbeda dari biasanya, hari ini perempuan berambut ikal tersebut terlihat sangat memikat. Tubuh langsingnya terbalut gaun kebaya putih dengan rok batik berwarna cokelat. Wajah Ghea semakin cantik dengan riasan. Bibir tipisnya berwarna kemerahan, dengan perona pipi berwarna merah muda dan matanya terlihat lebih besar dengan bantuan bulu mata palsu dan lainnya, Yandi tidak terlalu tahu soal make up wanita.
Yandi memasangkan cincin di jari manis Ghea. Perempuan itu nyaris tertawa terbahak saat Yandi hendak melakukannya, tetapi berhasil menahan diri. Ini suasana canggung untuk Ghea dan Yandi. Walaupun Ghea yang memaksa untuk dinikahi.
Tepuk tangan para undangan dan keluarga terdengar sesaat setelah cincin berhasil dipasangkan. Yandi dan Ghea pun menghadap undangan, berpose untuk pemotretan sembari menunjukkan cincin pertunangan. Meskipun hanya Ghea yang mengenakan. Yandi tidak.
Acara kemudian dilanjutkan sampai selesai. Satu per satu para tamu undangan pun pulang, sampai hanya tinggal pihak keluarga saja di tempat acara. Ghea dan Yandi duduk bersama, sedang makan. Perempuan dengan pakaian dan riasan lengkap tersebut langsung meminta makan begitu acara selesai. Perutnya keroncongan karena tidak boleh makan sejak subuh oleh Fara.
"Kamu lapar atau kelaparan? Lahap amat kayak belum makan dua hari," sindir Yandi saat melihat makanan Ghea sudah hampir habis setengah. Padahal baru lima menit berlalu.
"Aku nggak boleh makan sejak subuh, Yan. Ini semua demi dandan cantik, biar kamu klepek-klepek kata Bunda." Ghea menjawab dengan jujur. "Gimana? Kamu terpesona nggak sama aku?"
Ghea sengaja mengedipkan matanya beberapa kali, berharap Yandi mengiyakan.
"Nggak. Kamu sama kayak biasanya, nggak ada bedanya. Tetap jelek." Yandi membantah.
Ghea mengerucutkan bibir, kecewa dengan jawaban calon suaminya.
"Jangan berdusta, anak Tua. Aku lihat tadi matamu nyaris keluar saat ngeliat aku keluar. Jantungmu pasti dokidoki saseru kan?" Ghea tidak terima dengan bantahan Yandi, yakin kalau teman masa kecilnya itu berbohong.
"Nggak, kok. kamu salah lihat, Ghe." Yandi masih bersikukuh.
Ghea mencebikkan bibir, "Akatsuki!"
Kening Yandi berkerut. "Akatsuki? Usotsuki kali, Ghe. Salah kamu," protesnya sambil tertawa geli.
"Bodo amat." Ghea agak ngambek membuat Yandi mengelus pucuk kepala perempuan itu, gemas.
"Jangan marah. Mau cantik atau jelek, tetap saja aku nikahnya sama kamu kan?" Yandi mengulas senyuman tipis membuat Ghea teringat soal waktu itu.
"Yan, soal mantan pacar, apa..."
"Nggak penting, Ghea." Yandi mencubit gemas pipi kiri calon bininya. "Itu masa lalu. Sebulan lagi, kita akan nikah. Sudah siap?"
Ghea mengerucutkan bibir, "siap nggak siap, tetap harus nikah kan?"
Yandi mengangguk, "Iya, dong. Tanggungjawab! Kan kamu yang maksa." Senyuman jail tersungging di bibir Yandi membuat Ghea mendengus sebal.
"Puas? Senang?" Ghea terlihat keki.
Yandi mengangguk, "Senang. Soalnya bisa jailin kamu sesuka hati," sahutnya lantas tergelak.
Ghea cemberut, BT. Namun, sudah terlambat untuk mundur. Dia harus terus maju. Menikah dengan Yandi jauh lebih baik daripada harus kerja serabutan ataupun menikah dengan orang lain yang sama sekali tidak dikenal atau mengenalnya.
"Jangan bengong, cepat makan! Nanti kamu kurus aku didemo bundamu," tegur Yandi membuat Ghea semakin manyun.
"Kamu sedang mengejekku, nih? Dengan kata lain, barusan kamu bilang aku gemuk kan?" Ghea sebal.
Yandi menggeleng pelan, "Nggak, kok. Kalau kamu ngerasa gitu, ya alhamdulillah." Tawanya meledak di udara membuat Ghea ingin menjitak Yandi, tapi tidak berani karena sedang di depan banyak orang.
"Kak!"
Ajeng datang, membawakan ponsel Yandi. "Daritadi handphonemu bunyi melulu. Ada yang nelpon."
Yandi menerima telpon dari Ajeng, melihat nomer yang menghubunginya lalu terdiam beberapa saat.
"Ghea, aku masuk dulu. Ada urusan." Lelaki itu tidak menunggu jawaban, segera pergi dengan ekspresi marah, sedih dan perasaan lain yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
"Siapa, Jeng?" Ghea kepo.
Ajeng mengedikkan bahu, "Nggak tahu, Kak. Mungkin dari kantor."
Tebakan yang masuk akal, pikir Ghea. Sebab, sepertinya hanya urusan kantor yang akan membuat Yandi buru-buru pergi.
Ajeng pun berlalu pergi, sementara Ghea melanjutkan makan. Perutnya masih membutuhkan asupan makanan. Otak tidak akan mau diajak berpikir kalau sedang kelaparan.
